Oleh Denny JA
Suluh Indonesia – Pagi hari ke kantor, saya mendapatkan berkah kiriman dari maestro pelukis Hardi “The Legend.”
Mencolok mata, sebuah lukisan diletakkan di atas sofa ruang tunggu tamu kantor saya.
Tampak di kanvas: kubah masjid. Tiga menara gereja. Pohon yang hijau tumbuh segar. Manusia dan mobil berlalu-lalang.
Sebuah kesan dikirim oleh kanvas itu ke dalam sanubari saya. Ini suasana yang harmoni, sejuk. Hidup sehari-hari yang lancar, normal. Dua simbol agama bersebelahan: Masjid dan Gereja.
Di pojok kiri, teks tulisan tangan: “Selalu Damai.” Hardi 2021.
Wow! Hati saya melonjak. “Ini lukisan sang maestro terbaru di tahun 2021.” Ia kirimkan lukisan ini ke saya langsung.
Lukisan toleransi ini sesuai pula dengan spirit yang sejak lama saya tenggelam di dalamnya: gerakan “Indonesia tanpa Diskriminasi.”
Kepada karyawan yang bertugas, langsung saya minta, agar dia meletakkan lukisan ini di sisi kursi saya. Setiap kali saya merenung di kursi, lukisan ini akan terlihat.
Pikiran dan imajinasi saya akan sering bersentuhan dengan lukisan ini.
Saya juga mendapat beberapa kiriman buku dari Hardi. Ada buku berjudul: “Lintasan Pikiran Hardi.”
Hardi juga seorang penulis yang kuat untuk tema seni, sosial dan budaya. Tulisannya menyebar di Kompas, Aktuil, Tiras, dll.
Saya simak bab “Perjuangan melawan TIM, AJ, dan DKJ.”
Cukup keras Hardi menulis. Ini juga gambaran spiritnya yang tak suka sesuatu yang mapan, tak berubah:
“Akademi Jakarta seperti potret totem yang usang, seperti yg disimbolkan oleh Totem Irian Jaya.”
“Ada suara sebaiknya Akedemi Jakarta dibubarkan saja.”
Saya tak heran dengan sikap Hardi. Sejak tahun 1980an, saya sudah mengenal kiprahnya. Saat itu, saya masih mahasiswa. Hardi sudah acapkali menjadi pusat kontroversi.
Baca juga: Ketika Pembajakan Hak Milik Intelektual Menjadi Industri
Ada buku lain yang juga Hardi kirim: “Art, Politics, Humanism.” Ini buku merayakan 65 tahun Sang Maestro Hardi. Terbaca pandangan banyak tokoh soal Hardi. Juga ditampilkan koleksi lukisan Hardi.
Buku yang luks. Ia terbit di tahun 2016. Halaman pertama terpasang foto besar meminta Setya Novanto, ketua DPR, mundur. Ia terlibat kasus yang diberi nama “Papa Minta Saham.”
Saya baca pula riwayat pameran tunggal Hardi. Ia memulai pameran tunggalnya di tahun 1976, dan terakhir di tahun 2011.
Sudah 10 tahun Maestro Hardi tak pameran tunggal.
Soal penghargaan, juga dituliskan di buku “Lintas Pikiran Hardi.” Ini penghargaan yang tak biasa:
1980: Ditahan Laksusda Jaya karena karya Grafis Presiden RI tahun 2001: Suhardi.
Tahun 1980, ketika Pak Harto di puncak kekuasaan, Hardi berani mengkritik situasi dengan komedi lukisan dirinya sebagai Presiden.
Pagi ini saya mendapatkan pointers aneka segmen dan perjalanan seorang maestro pelukis. Hardi bukan sekedar pelukis dan bukan pelukis sekedar.
Hardi juga penulis. Hardi juga aktivis.
Terbayang, suatu ketika, aneka karyanya perlu digitalisasi, dan ditampilkan di Internet, agar bisa dinikmati generasi mendatang.
Atau bahkan karya Hardi bisa dibuatkan NFT (Non-Fungible Token). Lukisan perihal 40 tahun saya (Denny JA) berkarya bahkan laku 1 milyar rupiah di balai lelang online dunia: Opensea. Dan lukisan ini menjadi pertanda datangnya dunia komersial NFT ke Indonesia.
Hari ini, Sabtu, saya datang ke kantor hanya untuk mengambil buku yang tertinggal di sana. Tapi kiriman Hardi yang saya terima hari ini, mengajak saya berdialog soal hal-hal penting dalam dunia kreativitas.
Agustus 2021. [AT]