KASUS pelanggaran etik yang menimpa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini membuat masyarakat mulai menyoroti integritas lembaga anti rasuah itu. Muncul harapan kasus etik akan jadi pelajaran untuk memperbaiki kelembagaan KPK agar mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Etika dalam pengertiannya adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika, secara etimologi berasal dari “Ethos”, bahasa Yunani yang berarti karakter, watak, kesusilaan dan adat kebiasaan.
Dalam kehidupan sosial di masyarakat, etika kemudian menjadi semacam pedoman untuk dalam tingkah laku manusia baik secara personal, maupun kemudian menjadi nilai yang dipegang secara kolektif. Inilah yang kemudian membuat kita mengenal macam-macam etika, mulai dari etika sosial, etika komunikasi, etika profesi hingga etika bisnis.
Standar etika inilah yang kemudian harus menjadi pegangan meskipun sifatnya personal. Tetapi etika sendiri ada yang menjadi sifat dan sikap kolektif dan lebih mengikat. Terutama dalam kolektif atau lingkungan tertentu, seperti dalam komunitas tertentu atau bahkan lingkungan kerja.
Pendek kata, etika bisa sekedar pedoman moral tetapi bisa juga memiliki implikasi atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang baik karena dianggap melanggar prinsip etika dan moral sosial, komunitas maupun lingkungan lain.
Pelanggaran etik pimpinan
Kemudian urusannya dengan etika, rakyat, beberapa kali kita disuguhkan bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menggelar sidang etik untuk “yang ironisnya” pimpinan mereka.
Salah satu yang mungkin menjadi lakonnya adalah Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar. Lili Pintauli sudah menjabat Wakil Ketua KPK kurang lebih selama tiga tahun. Dalam kurun waktu tersebut, paling tidak ada beberapa perkara kontroversial yang dilakukan oleh Lili sehingga harus membuatnya berhadapan dengan sidang etik KPK.
1. Berkomunikasi dengan Walikota Tanjungbalai
Lili terbukti melanggar etik karena melakukan komunikasi dengan Walikota Tanjungbalai M. Syahrial. Padahal saat itu M. Syahrial sedang dalam penyelidikan KPK dalam kasus jual beli jabatan.
Dewan Pengawas (Dewas) KPK juga menemukan bukti jika Lili menyalahgunakan kekuasaanya terhadap Syahrial untuk kepentingan keluarganya. Padahal ada larangan keras dalam etik dan peraturan KPK yang melarang pegawai KPK untuk berhubungan dengan pihak yang berperkara.
Dalam sidang 30 Agustus 2021, Dewan Pengawas memutuskan jika Lili terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Dewas KPK kemudian menetapkan sanksi berupa pemotongan gaji sebesar 40 persen selama setahun untuk Lili Pintauli.
2. Kebohongan Publik
Lili juga terbukti melakukan kebohongan publik ketika dengan menyangkal melakukan komunikasi dengan mantan Bupati Tanjungbalai M. Syahrial. Hal tersebut dilakukan Lili saat konferensi pers KPK dalam kasus suap Tanjungbalai 30 April 2021.
Belakangan dikatahui jika Lili melakukan komunikasi dengan mantan Bupati tersebut. Dewan Pengawas KPK juga membenarkan pelanggaran etik berat yang dilakukan Lili tersebut.
Sayangnya Dewas KPK tidak menjatuhkan sanksi apapun terhadap perempuan kelahiran 6 Februari 1966 tersebut. Dewas beranggapan Lili sanksi terhadap Lili telah satu paket dengan pemotongan gaji yang diterima Lili.
3. Fasilitasi dalam motoGP Mandalika dan dugaan suap terhadap Dewan Pengawas KPK. Kasus ini kemudian berimbas dengan mundurnya Lili Pinatuli sebagai Wakil Ketua KPK.
Lili diduga melakukan pelanggaran etik berupa sejumlah fasilitas yang diterima dari PT Pertamina untuk menonton MotoGP di Mandalika pada awal Maret 2022. Lili menerima tiket gratis beserta akomodasinya di Amber Lombok Beach. Fasilitas tersebut digunakan untuk Lili bersama 10 orang untuk selama sepekan, nilainya mencapai Rp 90 juta.
Seharusnya sidang etik untuk Lili dilakukan pada Selasa (5/07/22). Namun Dewas menundanya karena Lili masih berada di Bali untuk menjadi pembicara di forum antikorupsi negara-negara G-20.
Sidang etik oleh Dewan Pengawas kemudian dilakukan pada tanggal 11 Juli 2020. Namun belum selesai sidang memutuskan nasibnya, Lili kemudian diketahui mengundurkan diri. Akibatnya sidang Dewan Pengawas dinyatakan gugur.
Bau busuk soal kemudian sempat bertambah dengan munculnya dugaan upaya Lili menyuap Dewas KPK. Suap tersebut bertujuan untuk meloloskan Lili dari sidang kode etik.
Dalam Koran Tempo edisi 2 Juli 2022, suap dari Lili disebutkan berasal dari dana yang dihimpun Lili dengan bantuan dari Pertamina. Total ada sekitar 200 ribu dollar Amerika atau setara Rp 3 miliar agar Lili lolos dari sidang etik KPK.
Kabarnya pihak Dewas KPK menolak uang suap tersebut dan memilih akan tetap melakukan sidang kode etik terhadap Lili.
Baik Lili maupun perwakilan Pertamina belum ada klarifikasi atau bantahan meskipun berita ini telah beredar. Bahkan pihak Dewas KPK telah meminta pihak-pihak yang memiliki informasi tersebut untuk membuka dan membuktikannya kepada publik.
Kasus kasus-kasus etik ini menambah beban terhadap KPK. Karena selain Lili Pinatuli, masalah etik juga beberapa kali menimpa pimpinan KPK lainnya. Termasuk juga ketua KPK Firli Bahuri yang paling tidak terkena etik, mulai dari masalah penggunaan helikopter untuk urusan pribadi hingga ketika Firli bertemu dengan mantan Gubernur NTB M Zainul Majdi pada 2018. Saat itu M Zainul Majdi sedang dalam penyelidikan KPK terkait dugaan korupsi kepemilikan saham PT Newmont.
Berdasarkan Peraturan KPK Nomor : 05.P.KPK Tahun 2006, KPK menetapkan 5 (lima) nilai dasar pribadi yaitu : Religiusitas, Integritas, Keadilan, Profesionalisme dan Kepemimpinan. Kode etik pegawai KPK berdasarkan prinsipi nilai dasar pegawai KPK tersebut.
Melakukan kebohongon publik, gratifikasi, berhubungan dengan pihak berperkara hingga yang paling kecil penggunaan fasilitas berlebih untuk kepentingan pribadi jelas sekali tidak sesuai dengan turunan nilai dasar pegawai KPK yang telah ditetapkan.
Lembaga KPK dan demokrasi
Lalu kenapa pelanggaran-pelanggaran etik ini terus berulang dan seolah menjadi hal yang begitu gampang dilakukan dan diselesaikan dengan sanksi ringan di lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan moral, hukum dan etika yang anti terhadap segala jenis korupsi dan turunannya?.
Masalahnya kemudian mungkin bisa dilihat pada KPK-nya sendiri yang telah lama dikatakan telah terkooptasi oleh kepentingan politik.
Berkali-kali terjadi pertempuran “cicak vs buaya” hingga puncaknya adalah kasus TWK pegawai KPK yang seolah menggambarkan bagaimana kepentingan atas KPK itu tidak bisa dipandang hanya sekedar melawan korupsi semata, tetapi pada kekuatan yang tidak ingin kekuasaannya dibatasi oleh siapapun termasuk KPK.
Sehingga kemudian KPK sebagai bagian dari kendaraan politik bisa dimaknai bagaimana keadaan KPK saat ini dalam pusaran dan permainan politik yang berkembang.
Banyak pihak menyatakan KPK saat ini telah dilemahkan tetapi tidak sedikit pula yang mengatakan KPK saat ini sudah bagus kinerjanya.
KPK memang sejak awal tidaklah bebas kepentingan. Butuh perjuangan keras bahkan hanya untuk memastikan kinerja KPK ini sesuai dengan kepentingan pemberantasan korupsi, siapapun pelakunya.
Lembaga KPK sendiri lahir dari gerakan demokratis di Indonesia yang menginginkan negara ini terbebas dari praktek demokrasi terbelakang seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang dulu begitu kental mewarnai pemerintahan di Indonesia.
Artinya lembaga itu dibentuk untuk memperkuat pilar demokrasi, agar penguasa tidak bisa sewenang-wenang menyelewengkan kekuasaan untuk memperkaya diri atau memberi keuntungan untuk kelompoknya seperti di masa lalu.
Saat ini kesadaran atas pemberantasan korupsi di negara ini termasuk pandangan atas kinerja KPK masih rendah. Bahkan sebagian masyarakat memandang keberadaan oligarkhi yang begitu kuat mendominasi politik dan ekonomi kita. Maka menjadi momentum yang tepat untuk melakukan perubahan dan kembali mendudukkan KPK sebagai lembaga yang terhormat untuk kemajuan demokrasi di Indonesia [WID]