Pelaku LGBT yang Insaf Berpotensi Tergoda Lagi

Ilustrasi: Donald Trump membentangkan bendera pelangi simbol dukungan pada kaum LGBT, saat kampanye presiden di Greeley, Colorado/quartz.com

Koran Sulindo – Akhir-akhir ini tantangan melawan Lesbian, Gay, Biseksual & Transgender (LGBT) makin besar. Beberapa negara, termasuk negara-negara besar bahkan dengan lantang membela hak-hak kaum LGBT.

“Bahkan di UK (United Kingdom) mereka tidak lagi menggunakan istilah pregnant mother, karena tidak hanya perempuan yang hamil. Istilah yang merujuk kepada jenis kelamin juga mulai dihilangkan, seperti lioness, yang berarti singa betina tidak dipakai demi mengakomodir hak-hak LGBT,” kata

Prof. Dr. Rafidah Hanim Mokhtar/YUK

dari Universiti Sains Islam Malaysia (USIM),  saat berbicara dalam seminar “Deteksi dan Pendampingan LGBT: Konsep dalam Islam dan Pengalaman di Indonesia dan Malaysia”, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rabu (29/3).

Diakui Rafidah, menangani pelaku LGBT memang tak mudah. Sebab, mereka harus diperlakukan dengan baik, didekati secara lembut, tidak menghukum. Dengan kata lain, kita tidak bisa langsung memaksa pelaku LGBT, pelaku gay dan lesbian, misalnya, dipaksa menikah dengan lawan jenisnya.

“Menahan mereka untuk tidak melakukan hubungan sejenis saja sudah baik, selanjutnya terserah mereka,” tutur Rafidah

Diungkapkan Rafidah, berdasarkan pengalamannya menangani pelaku LGBT, para pelaku LGBT yang sudah mulai insyaf masih punya potensi tergoda untuk kembali ke jalan yang lama.

“Mereka bahkan setelah umroh masih rindu pekerjaannya. Rindu mendapat uang dengan mudah, rindu dengan gaya hidup lamanya,” ungkapnya.

Itulah yang, menurut Rafidah, menjadi tantangan. Karenanya, pihaknya selalu mengusahakan untuk terus mengawasi, selalu melakukan silaturahim dan berkomunikasi dengan para pelaku yang dibina.

Di Malaysia, menurut Rafidah, sudah ada lembaga, yakni JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia) – lembaga pemerintah yang mengatur urusan agama Islam –  yang telah membuat modul tentang perlakuan terhadap transgender.

“Kami mencoba untuk menginsyafkan para pelaku transgender tersebut karena banyak yang dibiarkan. Bagaimana mereka nanti statusnya jika sudah meninggal? Apakah mereka laki-laki atau perempuan,” kata Rafidah.

Pada kesempatan itu Rafidah juga mengingatkan pentingnya peran keluarga untuk mencegah anak agar tak terperosok berperilaku LGBT. Ketika seorang anak mendapatkan perlakuan yang kasar atau perlakuan yang tidak baik lainnya, maka pada akhirnya kondisi itu bisa menimbulkan kerenggangan hubungan keluarga serta timbulnya rasa benci si anak pada orang tuanya. Seorang anak juga yang dalam lingkungan keluarganya kurang mendapatkan kasih sayang, perhatian, serta pendidikan baik masalah agama, seksual, maupun pendidikan lainnya sejak dini bisa terjerumus dalam pergaulan yang tidak semestinya.  [YUK]