pilkada serentak
Ilustrasi pilkada serentak 2020 [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Pelaksanaan penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19 berpotensi konflik, sehingga pelaksanaannya harus diawasi secara ketat.

“Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19 emang dilematis, karena di satu sisi kesehatan rakyat menjadi prioritas utama,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Democratic Center C David Kaligis kepada wartawan, Minggu (25/10).

Sementara di sisi lain, kata David, Pilkada serentak harus tetap dilaksanakan sebagai sarana sirkulasi elit politik di tingkat lokal dan juga untuk menghindari kekosongan hukum dan kevakuman kekuasaan di daerah yang dapat berujung pada persoalan ketatanegaraan yang pelik menjadi sebuah keniscayaan politik.

Meski demikian, David mengatakan, ada beberapa hal yang harus serius diperhatikan berkaitan penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 yang tidak bisa dianggap remeh.

Rezim hukum pemilu dalam pelaksanaan Pilkada, lanjut David, tidak akan berjalan efektif kendati penyelarasan regulasi dengan aturan teknis yang mengatur protokol kesehatan dibuat untuk memastikan Pilkada berjalan sesuai dengan protokol kesehatan.

“Hal ini dapat berujung pada konflik di tengah masyarakat di ujung tahapan pilkada dan derasnya arus gugatan,” ungkap David.

Kedua, kata David, potensi terjadinya electoral frauds, yakni penyimpangan-penyimpangan pada proses pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid 19 hampir dipastikan terjadi baik secara kasuistik maupun sporadik, bahkan dapat berkembang menjadi massif.

David mencontohkan dalam pemungutan suara nanti 9 Desember 2020, masyarakat yang akan hadir ke TPS-TPS tempat mereka memilih harus mematuhi protokol kesehatan, seperti menjaga jarak.

“Maka otomatis akan terjadi antrian panjang yang akan mengakibatkan mundurnya waktu dalam proses pemungutan suara di TPS-TPS yang bisa berdampak pada pelanggaran teknis soal rentang waktu sesuai dengan peraturan yang berlaku,” ucap David.

Begitu juga, kata David, tenaga penyelenggara di tingkat bawah pun akan semakin terkuras dengan mundurnya waktu di TPS-TPS. Hal itu, lanjut David, tentu dapat menyebabkan penyelenggara di tingkat bawah kelelahan dan melakukan kelalaian atau lebih jauh lagi tragedi penyelenggara yang tewas akibat kelelahan di Pemilu 2019 terulang kembali.

Kemudian, ruang gerak yang terbatas bagi penyelenggara khususnya pengawas pemilu dalam proses pengawasan Pilkada dan lengahnya perhatian masyarakat karena Covid-19 dapat menjadi peluang oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menghalalkan segala cara.

“Seperti pengerahan aparatur negara, penggunaan fasilitas negara, politik uang (money politics), dan yang paling parah serta sudah terdeteksi adalah penggelembungan suara di proses rekapitulasi suara,” jelas David.

Ketidakpuasan atas kekalahan karena cacatnya penyelenggaraan Pilkada dan tumpulnya penegakkan hukum karena kecurangan-kecurangan yang ‘terang’ di saat masa Covid-19 juga, kata David, bisa mengakibatkan pengerahan atau mobilisasi massa untuk menuntut keadilan elektoral.

“Apalagi sambil menunggangi isu politik nasional yang sedang hangat,” ucap David.

Selanjutnya sebagai elemen dasar dari instrumen pemilu, persoalan hak pilih masyarakat di Pilkada saat pandemi Covid 2019 ini harus dijadikan perhatian bersama.

“Di saat normal saja surat undangan pemilih, yakni form C6 banyak yang tidak sampai ke tangan pemilih atau ditimbun oleh oknum-oknum tertentu, apalagi di tengah Pandemi,” ujar David.

Begitupun persoalan Daftar Pemilih Tetap, khususnya di hari pemungutan suara. “Permasalahan administratif yang dapat berkembang ke arah tindak pidana pemilu, jika tidak ditangani atau dicegah sedini mungkin akan terakumulasi menjadi ‘amarah publik’ yang bergejolak keras,” ucap David. [WIS]