“Mutiara Jawa di antara bandar perdagangan,” begitulah Tomé Pires menggambarkan Pelabuhan Gresik dalam laporan perjalanannya di abad ke-16. Kesan mengenai Pelabuhan Gresik ini, tercatat pada masa perdagangan maritim Nusantara sedang mengalami perkembangan pesatnya, di abad ke-15 hingga akhir abad ke-17.
Saat itu, jalur perdagangan antarpulau di Nusantara menjadi titik simpul rute perdagangan internasional, baik dari Eropa maupun Asia Tengah, yang mulai datang ke Nusantara untuk mencari rempah-rempah.
Dari sekian banyak rute pelayaran dan perdagangan di perairan Nusantara, rute yang melintasi Laut Jawa merupakan rute yang paling ramai, karena memiliki ombak yang relatif kecil dibandingkan dengan laut lain yang ada di sekitarnya. Selain itu, daerah ini masuk ke dalam zona maritim Asia yang berpengaruh, karena kedudukannya yang strategis dalam jalur perdagangan dunia yang ramai antara Malaka, Jawa, dan Maluku.
Di sepanjang jalur perdagangan dan pelayaran itulah kemudian berkembang kota-kota pelabuhan yang ramai, khususnya di sepanjang pantai utara pulau Jawa seperti: Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya.
Dari beberapa kota pelabuhan tersebut, Gresik terkenal sebagai pelabuhan terbaik yang banyak didatangi para pedagang dari Gujarat, Kalikut, Benggala, Siam, Liu-Kiu, dan Tiongkok. Gresik berperan sebagai pusat perdagangan antara barat (Malaka) dan timur (Maluku), menggantikan Tuban pada awal abad ke-16 M.
Pelabuhan Gresik dalam aspek ekonomi, berfungsi sebagai terminal tempat menampung surplus dari wilayah pedalaman, untuk didistribusikan ke wilayah kota. Sedangkan dari wilayah laut, pelabuhan Gresik menampung barang-barang impor yang biasanya bernilai jual tinggi.
Pada masa kejayaannya, yaitu pada abad ke-15 sampai 16 M, Gresik disebut sebagai pelabuhan yang dihuni para saudagar kaya. Kehidupan makmur yang ditawarkan pelabuhan Gresik mengundang urbanisasi dalam jumlah tinggi, sehingga tidak mengherankan jika pelabuhan Gresik dinilai sebagai salah satu pelabuhan terbesar dan terbaik di Jawa.
Komoditas Pelabuhan Gresik
Sekitar 60 lebih kapal dengan jenis yang bervariasi datang ke Gresik setiap tahunnya. Sebagian kapal-kapal itu bermuatan rempah-rempah. Orang Banda membawa sendiri buah dan bunga pala mereka ke sana, dan orang Gresik berlayar ke pelabuhan-pelabuhan lain di kepulauan Nusantara untuk menjual rempah-rempah dalam jumlah kecil.
Selain menjadi pasar untuk rempah-rempah, Gresik juga menjadi pelabuhan pengekspor makanan dan produk lain seperti beras, kacang, gula, ikan, hewan ternak, dan binatang buruan.
Produk-produk pertanian yang lengkap menjadikan Gresik sebagai pelabuhan pengisian ulang perbekalan dalam rute ke kepulauan rempah lain di Nusantara. Garam dalam jumlah besar dibawa ke Banten untuk selanjutnya dikirim ke Sumatera. Katun dan benang dari pedalaman juga dibawa ke pasar-pasar di Gresik.
Para pedagang Tiongkok mengimpor sutra, porselen, dan barang-barang lain dalam jumlah besar ke Gresik. Mereka juga membeli kayu cendana dan kayu pewarna dari kepulauan Sunda kecil. Dari sana, dikirim pula produk-produk hutan seperti lilin malam dan madu ke pelabuhan Gresik. Kain India didatangkan dari Barat. Sutra dan bahan beludru, besi, tembaga, timah hitam, dan bahkan emas, intan serta opium dapat pula ditemukan di Gresik.
Pelabuhan Gresik dinilai sebagai bandar transit, sebab komoditas yang ditawarkan pada pelabuhan ini sangat beragam. Walaupun mayoritas dari komoditas yang diperdagangkan bukan merupakan komoditas asli Gresik, namun besarnya daya beli masyarakat dan keragaman barangnya membuat para pedagang dapat dengan mudah membeli persedian barang-barang yang dibutuhkan, sehingga tidak perlu singgah ke pelabuhan lain.
Gresik berfungsi sebagai pusat pelabuhan dan pusat pasar bagi daerah lain di sekitarnya. Kota ini memiliki pelabuhan dan jalur airnya yang sangat baik dengan kedalaman yang cukup hingga pinggir kota. Kapal-kapal yang berlabuh tidak perlu takut akan angin karena layar cucur perahu mereka bisa menempel pada rumah-rumah.
Selain itu, terdapat dua muara sungai besar dari pedalaman yang mengapit kota Gresik, yaitu sungai Bengawan Solo dan muara Sungai Brantas. Dua sungai tersebut merupakan lalu lintas alamiah untuk jalur perdagangan regional.
Kesuksesan Syahbandar dan Akhir Kejayaan Pelabuhan Gresik
Pesatnya perkembangan perdagangan maritim di Pelabuhan Gresik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh para Syahbandar yang sukses memimpin pelabuhan Gresik. Beberapa Syahbandar yang menjadikan Pelabuhan Gresik maju pesat adalah:
- Maulana Malik Ibrahim/Sunan Gresik (1400-1419 M)
- Raden Ali Hutomo (1419-1458 M)
- Nyai Ageng Pinatih (1458-1477 M)
- Sunan Giri/Prabu Satmata (1487-1506 M)
- Sunan Dalem (1506-1545 M)
- Sunan Prapen (1548-1605 M).
Pada paruh kedua abad ke-16, perdagangan maritim di pelabuhan Gresik mengalami perkembangan yang pesat. Kondisi ini berhubungan dengan tampilnya Giri Kedaton sebagai pusat kekuasaan dan keagamaan.
Seiring meluasnya pengaruh Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran Islam pada saat itu, Pelabuhan Gresik semakin ramai didatangi oleh para pedagang dari berbagai wilayah, khususnya Nusantara bagian timur, seperti Lombok, Makasar, Hitu, Tidore, yang juga datang dalam rangka mempelajari Islam di Giri.
Awal kemunduran perdagangan maritim di Pelabuhan Gresik bermula pada tahun 1605, yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan Sunan Prapen dan menurunnya kewibawaan Giri Kedaton. Ini tampak dari penyebutan pemimpin Giri setelah Sunan Prapen yang tidak bergelar Sunan.
Kemunduran ini disusul dengan penetrasi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) lewat monopoli perdagangannya, serta menggeliatnya politik ekspansi Mataram Islam ke berbagai kota di pesisir utara Jawa, yang secara langsung telah mempengaruhi perkembangan perdagangan maritim pada masa itu. [Ahmad Gabriel]
Baca juga:
- Jakarta: Sejarah Panjang dari Kota Pelabuhan ke Kota Internasional
- Buruh Pelabuhan Kolonial, Tak Ada Pilihan Selain Mogok
- Barus, Kaya Sejarah dan Wisata yang Eksotis
- Kota Banda yang Majemuk – Semua Warga adalah Orang Banda