Kepulauan Nusantara menempati posisi strategis, karena terletak dalam jaringan perdagangan yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Laut Tiongkok Selatan. Di masa lalu Nusantara sangat kuat berkarakteristik maritim. Laut menjadi sarana utama dalam pertukaran budaya, kegiatan ekonomi, bahkan sosial.
Sejak awal abad Masehi, sebagaimana buku “Rempah, Jalur Rempah, dan Dinamika Masyarakat Nusantara” (2016), berbagai pemukiman berupa kota-kota pelabuhan bermunculan di Nusantara. Lokasi yang dipilih tentu saja yang strategis, yakni di teluk-teluk yang terlindung atau di muara-muara sungai. Meskipun tidak semua pemukiman dan kota-kota pelabuhan menjadi pusat kegiatan perdagangan, namun beberapa di antaranya muncul menjadi pelabuhan regional penting yang menjadi pusat pengumpul dan distribusi barang.
Pada 1503 Columbus pernah menulis, “Saya berani mengatakan bahwa Hindia adalah wilayah terkaya di dunia ini. Saya bicara tentang emas, mutiara, batu berharga, dan rempah-rempah…” Itu sebabnya Jack Turner, penulis buku Sejarah Rempah itu, berani menulis dalam bukunya itu bahwa rempah menjadi cita rasa yang melayarkan ribuan kapal.
Rempah banyak dicari karena menjadi komoditas yang langka sehingga amat berharga. Apalagi tingkat kesulitan untuk memperoleh rempah sangat tinggi. Perlu waktu lama dari negara empat musim menuju negara tropis dan kembali lagi ke sana setelah mendapatkan rempah.
Dari semula hanya bersifat lokal, sejumlah pelabuhan berkembang menjadi pusat kegiatan perdagangan maritim regional dan internasional. Kota-kota pelabuhan itu menjadi motor penggerak kegiatan ekonomi untuk wilayah-wilayah yang berada di bawah pengaruh mereka. Kebanyakan kota-kota pelabuhan tersebut terletak di jalur perdagangan maritim, yang telah berkembang sebelum kedatangan bangsa barat.
Malaka menjadi kota dagang bertaraf internasional kala itu. Rempah-rempah yang dihasilkan dari berbagai wilayah Nusantara, sebelum didistribusikan ke seluruh dunia, terlebih dulu singgah di Malaka. Pada 1511 Portugis berhasil merebut Malaka dan menjadikan kota pelabuhan itu sebagai koloni mereka.
Jatuhnya Malaka membuat para pedagang mencari kota-kota dagang lain. Sejak awal abad ke-16 muncul pusat-pusat perdagangan baru di Nusantara untuk menggantikan Malaka. Paling tidak ada tiga pelabuhan utama di Nusantara, yakni Aceh di Sumatera, Banten di Jawa, dan Makassar di Sulawesi.
Dalam perdagangan, peran sungai juga amat penting. Sungai menjadi penghubung untuk mengangkut berbagai komoditas. Peran sungai dalam pelayaran dan perniagaan sepanjang abad ke-10 hingga ke-16, sangat berarti untuk pembentukan jejaring perniagaan dan interaksi antarbangsa di wilayah Nusantara.
Di Jawa jaringan perdagangan internasional sudah terbentuk sebelum abad ke-10. Ketika itu pengaruh Hindu-Buddha masuk ke Nusantara. Hubungan orang Jawa dengan pedagang dari luar diketahui dari beberapa prasasti yang berasal dari abad ke-9 Masehi.
Prasasti Kuti bertarikh 840 Masehi dari Jawa Timur menyebutkan para warga dari sejumlah wilayah seperti Campa, Kalingga, India Utara, Srilanka, Bengali, Tamil, Malayalam, Karnataka, Pegu, dan Kamboja. Adanya para pedagang asing juga disebutkan Prasasti Taji (901 M), Kaladi (909 M), dan Palebuhan (927 M). [DS]
(Bersambung ke bagian 2, 22 September 2021, pukul 22.00 di sini)
Baca juga: