Koran Sulindo – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan setiap Oktober sebagai bulan inklusi dan literasi keuangan sejak 2019. Diharapkan pemahaman masyarakat Indonesia akan berbagai produk keuangan dan juga investasi semakin baik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Faktanya, meski sejak 2016, pemerintah sudah membuat strategi nasional keuangan inklusif, indeks inklusi keuangan masyarakat Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Tak hanya itu, indeks literasi keuangan masyarakat kita juga masih sangat rendah. Butuh kerja sama berbagai pihak, tak hanya pemerintah tetapi juga pelaku industri jasa keuangan untuk bahu membahu meningkatkan inklusi serta literasi keuagan masyarakat Indonesia.
Pada saat membuka Indonesia Fintech Summit dan Pekan Fintech Nasional, 11 November lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan apresiasi kepada pelaku industri fintech di Indonesia atas kontribusi positif industri ini pada ekonomi Indonesia. Terutama, peran fintech dalam memperluas akses pembiayaan kepada masyarakat.
Mengutip data OJK hingga September 2020, total akumulasi pinjaman yang disalurkan fintech peer to peer lending (P2P) di Indonesia mencapai Rp 128,7 triliun, naik 113% secara tahunan (yoy) dibandingkan posisi September 2019 yang masih sebesar Rp 60,41 triliun. Bandingkan dengan pertumbuhan kredit perbankan. Per September 2020, penyaluran kredit perbankan hanya tumbuh 0,12% yoy.
Dengan potret data seperti ini, jelas fintech memiliki peran yang besar dalam mendukung pendanaan bagi masyarakat selama masa pandemi ini. Pada periode Maret hingga September 2020 saja, jumlah pinjaman baru yang disalurkan oleh fintech P2P mencapai Rp 20,16 triliun.
Namun, dalam sambutannya, Jokowi juga menyampaikan masih ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pelaku industri fintech Indonesia yaitu meningkatkan inklusi keuangan masyarakat Indonesia yang masih rendah dibandingan beberapa negara di Asia Tenggara. Tahun 2019 berdasarkan survei yang dilakukan oleh OJK, indeks inklusi keuangan masyarakat Indonesia masih berada di level 76%. Sementara beberapa negara di Asia Tenggara lebih tinggi, seperti Singapura sebesar 98%, Malaysia 85%, Thailand 82%.
Indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia malah lebih rendah yaitu hanya 38%, jauh lebih rendah dibandingkan indeks inklusi keuangan. Hal ini menunjukkan meski sudah masuk ke dalam sistem keuangan formal, tetapi pemahaman masyarakat akan layanan keuangan masih rendah.
Menurut Peraturan OJK No 76/POJK.07/2016, inklusi keuangan berarti ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan literasi keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan, yang mempengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan dalam rangka mencapai kesejahteraan.
Wakil Dewan Komisioner OJK Nurhaida mengatakan, tingkat literasi keuangan yang lebih rendah dibandingkan inklusi keuangan menunjukkan masyarakat yang sudah masuk ke dalam sistem keuangan formal pun masih memiliki pemahaman yang rendah soal produk dan jasa keuanga itu sendiri.
“Artinya masyarakat Indonesia masuk ke dalam inklusi keuangan tanpa terlalu paham apa itu transaksi keuangan atau masalah keuangan. Ke depan kita perlu melakukan upaya agar masyarakat kita masuk di dalam sistem keuangan dengan betul-beutul paham masalah keuangan,” ujar Nurhaida ketika memberikan sambutan dalam peluncuran Indonesia Fitench Society (IFSoc) di Jakarta pada 9 November lalu.
Seperti disampaikan Jokowi, Nurhaida juga melihat pelaku industri fintech memiliki peran dalam meningkatkan inklusi dan juga sekaligus literasi keuagan masyarakat Indonesia. Dengan dukungan jaringan internet yang kini sudah mejangkau berbagai daerah di Indonesia, fintech memang bisa melakukan peneterasi hingga ke pelosok negeri tanpa harus membuka kantor cabang seperti halnya bank atau perusahaan jasa keuangan konvensional.
Bola Basket
Cuma, Rudiantara mantan Menteri Komunikasi dan Informatika yang kini menjadi Dewan Penasihat Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) mempertanyakan lembaga yang mengorkestrasi gerakan bersama meningkatkan literasi keuangan ini. “Sebetulnya siapa yang lead edukasi keuangan? Di tempat Mas Wimboh ada edukasi keuangan. Di tempat Mas Perry ada edukasi keuangan, di pemerintah juga ada. Tetapi yang mengorkestrasi edukasi ini siapa sebetulnya? Mengapa saya angkat ini? Karena ini penting. Literasi keuangan kita itu masih di bawah 40%. Sedangkan inklusi keuanganya sudah 70%,” ujar Rudiantara saat memandu sebuah diskusi pada Indonesia Fintech Summit yang dihadiri Ketua OJK Wimboh Santoso, Gubernur BI Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Menjawab pertanyaan tersebut, Sri Mulyani mengatakan edukasi keuangan untuk meningkatkan literasi keuangan dilakukan bersama-sama. Seperti permainan bola basket, Sri Mulyani mengatakan literasi keuangan dilakukan dalam semangat tim.
“Kita kayak main bola basket saja. Kadang-kadang bolanya saya oper ke Pak Perry. Pak Perry dribel, terus dilempar ke Pak Wimboh. Pak Wimboh lempar ke saya, dribel terus saya bawa lari ke depan, mudah-mudahan kita bisa masukkan ke keranjang dan gol,” kata Sri Mulyani.
Perry Warjiyo menambahkan Indonesia sudah punya Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang tertuang dalam Peraturan Presiden No 82 tahun 2016. Dalam Perpres ini disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan SNKI ini dibentuk Dewan Nasional Keuangan Inklusif. Lembaga ini diketuai langsung oleh Presiden dan Wakil Ketua adalah Wakil Presiden. Sedangkan Ketua Harian adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Wakil Ketua Harian I dan II adalah Gubernur BI dan Ketua Dewan Komisioner OJK. Sedangkan anggotanya terdiri atas 12 menteri ditambah Sekretaris Kabinet.
Perry mengatakan Strategi Nasional Keuangan Inklusif itulah yang mengorkestrasi upaya meningkatkan literasi keuangan di Indonesia. “Kalau kita bicara melek atau literasi keuangan, itu kan ada berbagai cara. Satu, tentu saja yang selama ini kita lakukan adalah kampanye sosialisasi. Tetapi yang paling dahsyat adalah just do it, artinya melakukan inklusi keuangan sekaligus memberikan literasi keuangan,” ujar Perry.
Bank Indonesia, jelas Perry mengupayakannya melalui elektronifikasi penyaluran bansos. Tahun 2020 ini, BI melakukan elektronifikasi bansos untuk Program Keluargra Harapan (PKH) kepada 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dengan jumlah transaksi mencapai Rp 37,4 triliun untuk PKH. Kemudian program sembako kepada 20 juta KPM dengan nilai transaksi Rp 43,6 triliun. Perry mengatakan dengan elektronifikasi ini, dengan sendirinya para penerima bantuan masuk ke dalam sistem keuangan dan sekaligus BI melakukan literasi.
Literasi keuangan memang problem yang serius di Indonesia. Rendahnya literasi keuangan membuat banyak orang terjerumus dalam invesatasi bodong. Satgas Waspada Investasi Bodong yang dikoordinasi OJK mengungkapkan kerugian akibat investasi bodong pada periode 2009 hingga 2019 mencapai Rp92 triliun.
Sebetulnya, bukan hanya investasi bodong yang mengkhawatirkan. Produk investasi yang legal pun berpotensi melakukan fraud yang merugikan nasabah. Karena itu, pemerintah dan otoritas di bidang jasa keuangan tak hanya giat meningkatkan literasi keuangan kepada masyarakat, tetapi juga memperbaiki tata kelola perusahaan-perusahaan keuangan yang sudah ada agar tak merugikan masyarakat. [Julian A]