Koran Sulindo – Megawati Soekarnoputri marah luar biasa hari itu. Pada awal Juli 2014 itu, hanya beberapa hari menjelang pemilihan presiden, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) gencar diserang isu ajaib: dituduh komunis.
Sekitar 4 bulan sebelumnya, pada 14 Maret 2014, PDIP resmi mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden dalam Pilpres tahun itu. Sejak itulah isu ajaib itu muncul dan beranak-pinak di media massa terutama online dan media sosial seperti Facebook dan Twitter.
Sekjen PDIP saat itu, Tjahjo Kumolo, bahkan mengirimkan pesan singkat lewat telepon genggam. Isi sms itu memerintahkan kader-kader partai berlambang Banteng itu bersiaga satu. “Bu Mega marah luar biasa. Partaiku nasionalis kok dikomuniskan,” petilan isi sms itu.
Konon karena sms itu, puluhan orang yang mengatasnamakan relawan Jokowi-Jusuf Kalla mendatangi kantor TV One di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur. Mereka protes pemberitaan stasiun televisi itu yang menyatakan PDIP sarang komunis. PDIP dalam keterangan pers resmi menyatakan pemberitaan TV One yang menyebut PDIP kawan PKI dan musuh Angkatan Darat merupakan fitnah dalam situasi krisis.
Walaupun lawan politik menggunakan strategi yang aneh bin ajaib untuk mendegradasikan Jokowi-JK, namun pasangan itu akhirnya memenangkan pertarungan sengit dalam Pilpres yang baru pertamakali dalam sejarah Indonesia hanya diikuti 2 pasangan kontestan itu.
Dan kini, jauh hari sebelum Pilpres 2019, gorengan isu itu muncul lagi. Tak hanya dituding sarang komunis, isu yang bisanya berbarengan diserukan, atau berganti-gantian, adalah partai nasionalis tersebut juga anti-Islam.
Akan Terus Digoreng
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan isu tersebut akan terus digoreng untuk menyerang PDIP.
“Yang menggoreng isu bangkitnya PKI diduga adalah antek-antek Orde Baru, termasuk tentara, politisi busuk, pengusaha hitam & para radikalis agama,” tulis Syamsuddin, melalui akun Twitternya (@sy_haris) pada 29 September lalu.
Pada hari yang sama, dalam acara Saiful Mujani Research & Consulting, “Isu Kebangkitan PKI Sebuah Penilaian Publik Nasional” di kantor SMRC, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Syamsuddin mengatakan isu komunis maupun Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah fenomena dunia maya di internet, bukan sesuatu yang nyata, tetapi sesuatu yang diciptakan dengan tujuan tertentu.
Ada mobilisasi dari kalangan elite untuk kepentingan kekuasaan eskalasi Pemilu 2019.
“Survey ini menunjukkan bahwa persepsi itu dimiliki pendukung partai tertentu, saya fikir itu sesuatu yang tidak terelakan. Ini menjadi suatu upaya penggalangan untuk satu kelompok menuju pemilu 2019 dan mencari peluang bagaimana di peta politik 2019,” kata Syamsuddin.
Survei yang disebut itu adalah survei SMRC yang dirilis akhir September lalu yang menyatakan isu kebangkitan PKI hanya diyakini oleh sekitar 12,6% populasi Indonesia, sementara mayoritas 86,8% menyatakan tidak setuju.
“Masyarakat yang mempercayai terjadinya kebangkitan PKI “beririsan dengan pendukung Prabowo dan dengan beberapa pendukung partai politik terutama PKS dan Gerindra,” tulis survei itu.
Anehnya, survei juga menemukan yang mempercayai kebangkitan PKI ini persentasenya lebih banyak di kelompok usia kurang dari 21 tahun, berada di perkotaan, mayoritas menjalani pendidikan tingkat perguruan tinggi, paling banyak berada di DKI Jakarta dan Banten, serta lebih banyak mendapat akses informasi lewat internet dan koran. Mereka terutama tinggal di Banten, Sumatera, dan Jawa Barat.
Ini generasi yang ketika peristiwa 30 September 1965 terjadi jelas-jelas belum lahir.
Peneliti SMRC, Sirajuddin Abbas, menyimpulkan opini kebangkitan PKI di masyarakat tidak terjadi secara alamiah, “melainkan hasil mobilisasi opini kekuatan politik tertentu, terutama pendukung Prabowo, mesin politik PKS dan Gerindra”.
Survei SMRC itu berdasarkan wawancara langsung dengan sekitar 1.220 responden yang “proporsional” dari sisi jenis kelamin, agama, suku, dan permukiman di pedesaan dan perkotaan untuk mewakili komposisi penduduk Indonesia. Survei dilakukan 3 hingga 10 September 2017 dengan metode multistage random sampling untuk seluruh populasi Indonesia yang telah berumur 17 tahun atau sudah menikah. Dengan tingkat response rate 87 persen, survei ini memiliki margin of error sekitar 3,1 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Jangan Anggap Enteng
Sementara itu Dosen Komunikasi UI Ade Armando, dalam diskusi “Kebangkitan PKI: Isu Atau Realitas?”, yang digelar di Balai Sarwono, Juni lalu, mengatakan kebenaran kebangkitan PKI tidak terlalu penting, karena hanya sekadar kebohongan yang terus dipropagandakan.
“Yang paling penting apakah isu tersebut menimbulkan ancaman bagi negara atau tidak? Isu komunisme itu hanya dipakai sebagai alat ampuh untuk menghantam lawan,” katanya.
Menurut Ade pada Pilpres 2014, isu yang menyerang Jokowi menggerus popularitas dan elektabilitasnya. Jokowi hanya terpaut 6 persen di atas Prabowo Subianto padahal dalam berbagai survei berbulan-bulan sebelum hari pencoblosan, selisih mereka hingga sekitar 30 persen.
Kasus terbaru terjadi di Pilkada Banten dan Pilkada DKI Jakarta. Dua paslon cagub yang diusung PDIP tersungkur. Pasangan Rano Karno-Embay di Banten kalah tipis, sedangkan pasangan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) – Djarot Syaiful Hadi kalah telak di DKI.
Ahok yang Cina dan protestan dihantam isu menodai agama Islam. Rano dihantam isu komunis di provinsi yang mayoritas muslim itu. Soekarno M Noer, ayah Rano, yang aktivis Lesbumi NU) diopinikan terus-menerus sebagai Lekra PKI.
Ketika calon banteng adalah non muslim pasti dihantam isu SARA, saat calon yang diusung muslim pastilah isu komunis itu muncul lagi. Dari kasus Pilpres 2014 dan dua Pilkada 2017 lalu ini, isu PKI dan anti Islam ini bukanlah hal yang bisa dianggap enteng. [Didit Sidarta]