PDIP dan Fusi Nasionalis 45 Tahun Lalu

Tepat pukul 00.00, Selasa (7/12/1993), Megawati Soekarnoputri menyatakan dirinya secara de facto sebagai Ketua Umum DPP PDI di hadapan para wartawan dalam dan luar negeri serta para pendukungnya yang masih tetap bertahan di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, sampai waktu penyelenggaraan KLB habis. Megawati sedang memberikan keterangan pers di ruang sidang. (Kompas/Hasanuddin Assegaff)

Koran Sulindo – Ide untuk menyederhanakan sistem kepartaian telah digulirkan Soeharto di awal-awal membangun Orde Baru. Gagasan itu pertama kali dilontarkan tanggal 7 Januari 1970 ketika Soeharto memanggil sembilan pimpinan partai politik untuk berkonsultasi secara kolektif.

Di hadapan para pemimpin partai, ia ‘menyarankan’ agar mereka dikelompokan menjadi tiga golongan saja, nasionalis, spiritual dan golongan karya. Gagasan utama Soeharto tentu saja soal kontrol asumsinya sederhana, makin sedikit partai makin gampang ‘diatur’

Gagasan itu mula-mula ditangkap oleh PNI dan Partai  Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Sementara Djarnawi Hadikusmo, ketua Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) juga segera mengakui ide itu cocok.

Selain ketiga partai itu, Subchan ZE yang merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) menyebut pengelompokan sangat bermanfaat untuk simplifikasi proses pengambilan keputusan. Menurutnya, penggolongan bisa memperkecil alternatif pendapat yang berkembang di masyarakat.

Pertemuan berlanjut pada 27 Februari 1970, ketika Soeharto mengundang pimpinan lima partai politik yaitu Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia(Parkindo), Partai Katolik, dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia(IPKI), dan Murba.

Namun, meski setuju bergabung dalam satu wadah politik, perjalanan mewujudkan itu ternyata tak mudah. Pertemuan maraton digelar untuk membahas nama, sifat, pengorganisasian dan program berlangsung dengan perdebatan alot.

Melalui tarik ulur alot akhirnya terbentuklah Kelompok Demokrasi Pembangunan pada tanggal 9 Maret 1970 yang merupakan aliansi PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Murba.

Menyusul kemenangan mutlak Golongan Karya (Golkar) pada pemilu 1971 dengan perolehan suara 62,8 persen, desakan pemerintah agar partai politik melakukan fusi makin gencar.

MPR hasil pemilu 1971 bahkan ikut-ikut mengancam bahwa pemilu selanjutnya hanya akan ada tiga kontestan yang diizinkan bertarung.

Tanpa mengantongi pilihan lain, partai berhaluan nasionalis yang bernaung di Kelompok Demokrasi Pembangunan akhirnya berembuk dengan serius. Nama partai menjadi persoalan paling serius yang dibicarakan.

Setelah diskusi yang berlarut-larut akhirnya disepakati tiga nama yakni masing-masing, Partai Demokrasi Pancasila, Partai Demokrasi Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia.

Semangat untuk menemukan ‘persamaan’ itulah yang akhirnya membuat mereka cepat bersepakat. Nama Partai Demokrasi Indonesia dipilih karena dianggap mencerminkan keyakinan bahwa partai baru itu harus menjadi cermin bagi bentuk ‘demokrasi yang Indonesia’.

Akhirnya setelah melalui proses panjang, pada 10 Januari 1973 tepat pukul 24.00 WIB, di Kantor Sekretariat PNI di Jalan Salemba Raya 73 Jakarta, lima parpol itu sepakat mendeklarasikan partai baru bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Deklarasi itu secara ideal merupakan, “Pernyataan kelahiran PDI, sekaligus dijadikan sebaga landasan dan sumber bagi kehidupan serta gerak dan kegiatan partai selanjutnya.”

Dalam pembukaan deklarasi disebut bahwa pembentukan PDI merupakan langkah strategis menuju sistem kepartaian yang terbuka untuk setiap warga negara Indonesi tanpa membedakan ras, suku, dan agama dengan berciri kebangsaan, kerakyatan, serta keadilan sosial.

Deklarasi itu juga menyepakati empat butir penting yakni pertama, memfusikan diri dalam kesatuan kegiatan politik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, kedua mengubah nama kelompok demokrasi pembangunan menjadi Partai Demokrasi Indonesia, ketiga pembentukan tim untuk menyusun anggaran dasar, struktur organisasi, dan prosedur yang diperlukan, keempat penyelesaian hal-hal kerumahtanggan masing-masing partai bersangkutan.

Deklarasi pendirian tersebut diteken lima wakil-wakil partai yakni PNI oleh MH Isnaeni dan Abdul Madjid,  Parkindo oleh A Wenas dan Sabam Sirait, Partai Katolik yakni Beng Mang Rey Say dan FX Wignyosumarsono, Partai Murba oleh S. Murbantoko R.J. Pakan sedangkan IPKI oleh Achmad Sukarmadidjaja dan Drs M. Sadri.

Abdul Madjid dalam memoarnya, sebelumnya berlangsung perdebatan keras antar-wakil partai politik, terutama berkaitan dengan pembahasan soal proporsi wakil partai di kepengurusan DPP PDI.

“Waktu itu, anggota PNI sekitar 80 persen dari total anggota lima partai yang berfusi tersebut. Tidak dapat proporsional karena perwakilan tiap-tiap partai dua orang, namun PNImemperoleh keistimewaan untuk menempati posisi Ketua Umum PDI. Jadi, keputusannya: ketua umum dari PNI, sekjen dan bendahara lepas. Tentunya, PNI tidak puas, tapi itu sudah keputusan, apa boleh buat,” kata Abdul Madjid.

Disepakati juga susunan Dewan Pimpinan Pusat terdiri dari tiga orang wakil PNI sedangan partai lain mendapatkan jatah dua orang dengan ketua ditunjuk Mohammad Isnaeni dan Sabam Sirait sebagai sekjen koordinator.

Berdirinya PDI sekaligus menandai berakhirnya eksistensi lima partai dengan latar belakang sejarah yang berbeda, basis masa, dan ideologi menjadi sebuah partai baru.

Sepanjang masa pemerintahan Orde Baru, PDI terus saja mengalami berbagai konflik internal dan intervensi penguasa. Partai gagal berkembang dan susah mempertahankan eksistensinya.

Setelah putra-putri Bung Karno seperti Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputa menjadi anggota PDI, partai mulai menunjukkan perkembangannya.

Keputusan terjun ke politik bukannya tanpa risiko. Nama besar Bung Karno dipertaruhkan. Keputusan itu sempat dipertanyakan oleh para sesepuh PNI, partai yang didirikan dan dibesarkan Bung Karno.

Megawati dipanggil dalam sebuah pertemuan para sesepuh nasionalis. Pertemuan digelar di rumah Supeni tokoh PNI di Jalan Daha, Kebayoran Baru, Jakarta.

Mangara Siahaan yang kala itu menemani Megawati mengingat, suasana langsung hening saat Megawati bertanya, “Ada apa saya di panggil Om-om dan Tante-tante.”

Supeni yang menjawab bahwa mereka berkumpul mereka ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Megawati. Untuk itu disepakati Manai Sophian sebagai juru bicara. Sejenak kemudian, Manai Sophian mengajukan pertanyaan, “Anak kami, kami mau dibawa kemana kok masuk PDI?”

Mendengar pertanyaan tersebut, sembari tersenyum Megawati menjawab, “Aku naar Merdeka Utara.”

Menampilkan simbol- simbol Bung Karno yang diwakili putra-putrinya rupanya menjadi faktor kunci keberhasilan PDI mendulang suara. Dari 85.8 juta suara yang sah, PDI menggaet lebih dari 9.3 juta suara atau 10,87 persen. Jumlah itu setara dengan 40 kursi di DPR, naik 16 kursi dibanding perolehan suara pada Pemilu 1982.

Peningkatan perolehan suara PDI itu berlanjut pada pemilu 1992. Megawati dan Guruh Soekarnoputra kembali menjadi andalan untuk meraih dukungan massa khususnya kawula muda. Meski tetap di urutan ketiga, pada pemilu itu suara PDI naik menjadi 14,9 persen dan berhak atas 56 kursi di DPR.

Di bawah kepemimpinan Megawati yang dipilih Kongres Luar Biasa Surabaya pada 6 Desember 1993, PDI terus menuai dukungan rakyat. Dukungan itu membuat Orde Baru gerah dan khawatir. Megawati dan PDI harus dihentikan.

Meski upaya-upaya penjegalan tetap gencar dilakukan kelompok-kelompok yang anti, angin politik sudah berbalik arah memihak Megawati. Gerakan massa rakyat dan arus bawah yang mendukung tak terbendung bak gelombang pasang. Megawati terpilih secara aklamasi oleh peserta Munas PDI yang berlangsung di Hotel Garden Kemang, 22 Desember 1993.

“Hari-hari yang saya alami adalah pergulatan lahir batin yang ingin saya ungkapkan di sini. Hasil yang dicapai saat ini merupakan hasil maksimal yang visa saya berikan kepada warga PDI di manapun berada,” kata Megawati dalam pidato sambutannya.

Meningkatnya dukungan rakyat kepada PDI itulah yang membuat Orde Baru gerah. Megawati dan PDI harus dihentikan. Faktor eksternal itulah yang belakangan menjadi tema utama berlarut-larutnya krisis di partai berlambang banteng.

Memanfaatkan kaki tangannya di PDI, rezim Soeharto terus menerus memicu perselisihan termasuk pada KLB di Surabaya yang berpuncak pada penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro 27 Juli 1996. (TGU)