Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto/CHA

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memastikan tidak menginginkan adanya aturan yang mengizinkan jabatan presiden menjadi tiga periode, dan juga menolak penambahan masa kedudukan kepala negara lebih dari sepuluh tahun. PDIP juga menekankan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan diusung pada 2024, tergantung hasil kontemplasi Ketua Umum Megawati Soekarnoputri di masa yang akan datang.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, usulan amandemen terbatas Undang-undang Dasar 1945 yang dilakukan pihaknya hanya menekankan soal Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dia memastikan PDIP dan Presiden Joko Widodo tidak menginginkan jabatan kepala negara ditambah masanya atau bisa diduduki tiga periode.

“PDIP sejak awal taat pada konstitusi dan Pak Jokowi sudah menegaskan berulang kali. Karena, ketika Bapak Jokowi dilantik sebagai presiden, salah satu sumpahnya di jabatan itu menegaskan untuk taat kepada perintah konstitusi dan menjalankan konstitusi dengan undang-undang dengan selurus-lurusnya. Sehingga, tidak ada gagasan dari PDI Perjuangan tentang jabatan presiden tiga periode atau perpanjangan masa jabatan,” ujar Hasto dalam keterangannya, Sabtu (18/9).

Dia menilai bahwa konstitusi negara sudah memuat seluruh landasan falsafah kehidupan berbangsa. Di dalamnya diatur tata pemerintahan yang baik, agar seluruh sendi-sendi kehidupan di dalam mengelola negara tetap mengabdikan diri kepada kepentingan Tanah Air.

Hasto juga menyadari Presiden Joko Widodo merupakan sosok pemimpin yang merakyat, mampu bekerja dengan baik, berprestasi, dan visioner. Namun, pekerjaan rumah PDIP bukan mengenai sosok, melainkan melanjutkan estafet pembangunan yang akan ditinggalkan oleh Presiden Jokowi kelak.

PDIP, kata Hasto, justru ingin meletakkan pembangunan yang dilakukan era Presiden Jokowi bisa menjadi haluan negara. PDIP juga mengesampingkan adanya pembahasan calon presiden di internal partai dengan maksud berkontribusi pada pemerintahan Presiden Jokowi di masa pandemi ini.

“Kita punya jejak sejarah pada abad ketujuh, yaitu pembangunan Candi Borobudur. Itu dibangun seratus tahun. Kami pun menginginkan pembangunan negara berkelanjutan. Kalau dulu bisa, mengapa sekarang tidak bisa. Sekarang karena kita tidak punya haluan, maka ganti kepemimpinan, berganti juga kebijakannya,” ujar Hasto.

Hasto menuturkan, PDIP saat ini fokus pada kaderisasi dan bekerja untuk rakyat. Meski demikian, akan tiba waktunya PDIP untuk menentukan siapa calon presiden atau calon wakil presiden yang diusung. Seluruh kader PDIP tentu akan menyerahkannya kepada Megawati. Hasto meyakini Presiden Kelima RI itu akan memilih pemimpin nasional dengan melakukan kontemplasi, mendengarkan suara rakyat, dan mempertimbangkan banyak aspek strategis.

“Untuk menjadi presiden, wakil presiden, atau menteri sekalipun, keyakinan spritual PDIP selalu ada campur tangan Yang di Atas. Selalu ada suara arus bawah, suara rakyat yang kemudian terakumulasi membentuk keyakinan,” terang alumnus Universitas Gajah Mada itu.

Hasto juga menyadari sejumlah lembaga survei sudah merilis hasil riset mengenai elektabilitas beberapa kader PDIP. Namun, Hasto memastikan partainya tidak akan menjadikan elektabilitas seseorang sebagai alat ukur. Hasto mengingat pesan Megawati bahwa menjadi presiden itu mudah, tetapi menjadi pemimpin yang sangat sulit. Sebab, di tangannya bergantung hajat hidup 270 juta lebih rakyat Indonesia.

“Untuk menjadi presiden, banyak faktornya. Dan bagi Bu Mega hal tersebut juga dilakukan dengan kontemplasi, memohon petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Karena itulah tradisi itu dijalani Bu Mega. Dalam kongres juga disebutkan itu hak prerogatif Bu Mega sehingga pada waktunya pasti diumumkan calonnya,” tutup Hasto. [CHA]

Baca juga: