PDI Perjuangan: Pancasila Sudah Final

Ilustrasi: Bung Karno berpidato di depan BPUPKI pada 1 Juni 1945

Koran Sulindo – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menegaskan Pancasila sudah final dan tidak mungkin bisa diubah sebagai dasar pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pancasila bisa diubah hanya jika NKRI bubar atau ada evolusi politik yang luar biasa.

“Sejak Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara maka Pancasila sudah final. Bahkan MPR sekalipun tidak bisa mengubahnya sebagai dasar negara,” kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR RI, Ahmad Basarah, dalam seminar ‎bertema “Meneguhkan Nasionalis Agamis sebagai Penyokong Utama Pancasila” di Blitar, Jawa Timur, Senin (5/6).

Acara itu dilaksanakan sebagai rangkaian peringatan Hari Lahir Bung Karno (BK).

Menurut Basarah, Pancasila bangsa Indonesia hanya ada satu, yaiitu yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, di mana proses kelahirannya dimulai 1 Juni 1945 oleh Pidato Bung Karno di depan sidang BPUPK; berkembang menjadi naskah Piagam Djakarta pada 22 Juni 1945 oleh Panitia 9; hingga mencapai teks final pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI.

Berdasarkan fakta-fakta historis, dari keseluruhan dokumen-dokumen otentik Pancasila tersebut, Bung Karno memainkan peran yang amat penting.

“Mulai dari naskah Pancasila 1 Juni 1945 adalah pidato Bung Karno, berkembang menjadi naskah Piagam Djakarta tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia 9, Bung Karno adalah inisiator terbentuknya Panitia 9 dan menjadi Ketua Panitia 9 hingga pada teks final Pancasila oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945, di mana Bung Karno juga adalah Ketua PPKI,” kata Wakil Sekjen PDIP tersebut.

Menurut Basarah, Piagam Jakarta yang diklaim sebagai miliknya kelompok Islam itu, pada awalnya karena inisiatif Bung Karno membentuk Panitia 9.

“Jadi tanpa ada inisiatif Bung Karno, takkan ada piagam itu. Inisiatif Bung Karno membentuk Panitia 9 karena keinginan Bung Karno menjaga keseimbangan antara golongan Islam dan golongan Kebangsaan,” katanya.

Berdasarkan penelitian doktoralnya, Basarah menyimpulkan letak Pancasila di atas UUD 1945. Isi aliena keempat Pembukaan UUD 1945 hanya sila-sila Pancasila, tetapi norma dasarnya tidak ada.

“Pancasila di atas UUD 1945. Di mana letak norma dasar Pancasila? Letaknya ada pada isi pidato Bung Karno 1 Juni 1945,” kata Basarah.

Lahirnya Pancasila

Pada pidato 1 Juni 1945, Bung Karno menjelaskan pertama kali soal lima sila Pancasila sebagai dasar kemerdekaan Indonesia. Sila pertama sampai kelima adalah kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, musyawarah mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan.

“Apabila tidak mau lima sila, maka bisa diperas menjadi tiga sila (trisila) menjadi sosionasionalisme, sosiodemokrasi, dan ketuhanan. Apabila ingin diperas lagi menjadi satu sila, jadilah gotong royong,” kata Basarah menyampaikan lahirnya Pancasila di hadapan ribuan peserta seminar.

Pidato di BPUPKI itu dilanjutkan dengan pembentukan Panitia 8 oleh Dr Radjiman. Oleh Bung Karno, karena merasa tidak adil bila dari 8 anggota hanya ada dua perwakilan kelompok agama, maka dibentuk lagi tim bernama Panitia 9. Isinya 4 orang perwakilan kelompok kebangsaan, empat dari kelompok keagamaan Islam, dan Bung Karno sebagai ketua.

Tim inilah yang melahirkan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, di mana sila ketuhanan menjadi yang pertama dengan tambahan kata “berdasarkan syariat Islam”.

“Kalau Bung Karno disebut tidak menghargai ketuhanan, karena pada pidato 1 Juni soal Ketuhanan dijadikan sila kelima, itu salah besar. Kalau sejarah tak dimanipulasi, sila Ketuhanan sebagai penegasan antitesa materialisme komunisme, selalu dimasukkan sebagai dasar negara. Bahkan, pada Piagam Jakarta menjadi sila teratas,” katanya.

Namun, setelah itu, datanglah surat dari Latuharhary kepada Moh Hatta yang memberi catatan soal Piagam Jakarta. Isinya adalah curahan hati non-Muslim, yang merasa berat dengan isi sila pertama dengan kata “berdasar syariat Islam”.

“Bagaimana kami, yang non-Muslim, bisa terlibat dalam membangun Indonesia? Itu catatan yang disampaikan ke Hatta,” kata Basarah, yang menulis disertasinya dengan berbasis penelitian terhadap Pancasila.

Oleh Hatta, catatan itu didiskusikan dengan tokoh bangsa saat itu, termasuk dengan tokoh Islam dari Muhammadiyah dan NU. Para tokoh itu lalu meletakkan kepentingannya demi NKRI. Akhirnya 7 kata di sila pertama piagam Jakarta berubah menjadi sila pertama Pancasila seperti saat ini.

“Itulah ijtihad ulama saat itu, dan itu adalah hadiah terbesar umat Islam kepada Indonesia. Jadi, kalau ada tokoh Islam saat ini yang mempersoalkan kembali Pancasila dengan disebut produk kafir dan thogut, maka mereka dengan sadar telah menistakan para alim ulama saat itu yang mendirikan Pancasila,”  katanya.

PDIP bersikap Pancasila jelas lebih baik dari komunisme, karena Pancasila mempunyai sila Ketuhanan yang Maha Esa. Pancasila lebih baik dari deklarasi kemerdekaan AS karena punya sila keadilan sosial. Pancasila lebih baik dari sistem khilafah islamiyah ala ISIS, karena Pancasila mempunyai sila persatuan Indonesia.

“Pancasila lebih baik dari semua ideologi itu,” kata Basarah.

Ahmad Basarah/DPP PDIP

Kontruksi Pemikiran Islam

Basarah juga membantah peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni merupakan hari lahir Pancasila-nya PKI.

“Tidak ada satupun pimpinan PKI yang terlibat dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara, baik dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), panitia 8, panitia 9, hingga pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),” katanya.

Basarah menolak tegas tuduhan Pancasila adalah produk kafir. Aktivitas Bung Karno yang sejak kecil menjadi murid dari Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Selain itu juga keterlibatan Bung Karno dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah dan pidato Bung Karno yang menegaskan bahwa dirinya adalah Islam. Pemikiran Bung Karno, termasuk saat merumuskan Pancasila, tidak terlepas dari perspektif pemikiran Islam.

“Membicarakan tentang Pancasila, tidak bisa dipisahkan dengan sejarah perkembangan Bung Karno. Sementara berbicara tentang Bung Karno, harus memahami sejarah perkembangan Bung Karno secara utuh. Sejarah pemikiran Bung Karno tidak boleh dipenggal. Konstruksi pemikiran Soekarno adalah konstruksi pemikiran Islam,” kata Basarah. [CHA/DAS]