Ilustrasi: Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat/Ist

Koran Sulindo – Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Djarot Saiful Hidayat menyatakan tantangan rakyat Indonesia saat ini adalah bagaimana melakukan pengayaan dan pelestarian kebudayaan bangsa sendiri di tengah masifnya arus kebudayaan populer asing.

Hal itu disampaikan Djarot dalam webinar kedua bertajuk “Rakyat Sumber Kebudayaan Nasional” yang digelar dalam rangkaian kegiatan Bulan Bung Karno 2020 yang dimulai sejak 1 Juni lalu. Di acara yang digelar, Selasa (16/6/2020).

Turut hadir sebagai pembicara, di antaranya Anggota DPR RI Rano Karno serta Krisdayanti, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Ulama Gus Muwafiq, dan Tamara Geraldine sebagai moderator.

Djarot yang merupakan Ketua Panitia Perayaan Bulan Bung Karno 2020 menjelaskan bahwa Proklamator RI Soekarno sudah mengingatkan kebudayaan dalam bentuk kreasi kultural, seperti seni musik, lagu, dan tari, jangan dianggap sebagai hiburan semata.

Sebab sesungguhnya merupakan sumber utama dari kerja penguatan jiwa sebuah bangsa. Semuanya merupakan proses esensial dari pembangunan sebuah bangsa dan negara. Itu artinya jika kebudayaan asli sebuah bangsa terkikis, maka negaranya juga bisa.

“Saya bukan bilang budaya asing tak boleh masuk. Namun hendaknya budaya asing perlu disaring dan disesuaikan dengan budaya bangsa sendiri,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Djarot menyanpaikan hal itu tentu bukan isapan jempol belaka di tengah masifnya arus industri budaya pop asing seperti K-Pop, produk-produk dari Hollywood dan Bollywood dalam bentuk film, lagu, dan lain sebagainya.

Menurut Djarot, sudah saatnya bangsa Indonesia menyadari sepenuhnya bagaimana harus mengambil aksi dalam berkebudayaan. Yang jelas, kebudayaan akan bisa lestari jika kesadaran akan situasi yang ada ditularkan lewat proses pendidikan di keluarga dan sekitar kita sendiri. Baik lingkungan sekolah, hingga yang kita temui sehari-hari.

“Dengan melakukan itu, pengayaan budaya lokal kita akan makin lestari dan kita sebagai bangsa takkan terkikis dengan budaya bangsa luar yang belum tentu sesuai budaya bangsa kita,” katanya.

Djarot menuturkan, kekayaan budaya Indonesia sangat luar biasa. Berdasarkan catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Indonesia punya 742 bahasa daerah hingga 7241 karya budaya berbentuk tarian/lagu, gambar, patung, pakaian adat hingga kuliner daerah.

Kekayaan ini menggambarkan betapa kaya dan beragamnya latar belakang masyarakat Indonesia. Maka itu pula, Bung Karno menyatakan dalam salah satu prinsip Trisakti yakni ‘memiliki kepribadian di dalam kebudayaan’. Sebab bentuk kebudayaan itu adalah salah satu ciri khas kebudayaan kita sendiri.

Bagi Bung Karno, kata Djarot, seni budaya menjadi napas sejak jaman kemerdekaan hingga saat ini. Presiden RI pertama itu bukan hanya penikmat seni budaya, tapi juga kreator dengan peninggalan mulai dari seni rupa, teater dengan menulis drama, lagu, hingga tarian.

Sebagai presiden RI pertama, kata Djarot, Majalah Tempo menuliskan Bung Karno memiliki 2200 koleksi seni dan budaya, yang sebagian besarnya masih tersimpan hingga saat ini di Istana Kepresidenan.

“Akibat itu, bahkan ada pengamat dan ahli dari Singapura yang bilan Indonesia harusnya bangga dengan presidennya yang rasa kebudayaannya sangat tinggi,” katanya.

Bung Karno juga mewujudkan prinsip seni budaya sebagai napas perjuangan itu saat dibuang oleh penjajah ke berbagai tempat di Indonesia. Di Ende, Nusa Tenggara Timur, Bung Karno membangun grup tonil bernama ‘Kelimutu’ dengan banyak cerita yang intinya mengajak masyarakat melawan penjajah kolonial Belanda.

“Dari NTT, Bung Karno dibuang ke Bengkulu, dan di sana beliau buat drama Monte Carlo dan Bengkulu,” katanya.

Di bidang pewayangan, Bung Karno banyak diinspirasi oleh para tokoh pewayangan karena dibesarkan dalam kultur Jawa. Putra Sang Fadjar mampu bermain gamelan dan punya kemampuan mendalang. Salah satu dalang favorit Bung Karno adalah Ki Gitosewoko.

“Bung Karno adalah sosok luar biasa dan sangat komplit. beliau juga menciptakan lagu misalnya ‘Bersuka Ria’ yang dilakukan bersama dengan Jack Lesmana,” kata Djarot.

Jati Diri

Sementara itu, Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Rano Karno mengatakan kebudayaan adalah identitas utama sebuah bangsa yang berdaulat, dan memiliki peran strategis dalam ketahanan sebuah negara.

“Kebudayaan itu adalah DNA sebuah bangsa,” kata Rano, saat menjadi pembicara dalam webinar kedua.

Rano yang juga dikenal sebagai aktor dan sutradara itu menguraikan bahwa dunia perfilman adalah salah satu bagian dari ekspresi kebudayaan. Mengingat, sejak zaman perjuangan Indonesia, film menjadi sebuah strategi untuk memajukan sebuah Kebudayaan nasional.

“Jadi film itu bukan hanya sebagai hiburan semata, tapi ada tujuan,” kata aktor dalam dalam film Gita Cinta Dari SMA itu.

Di UU Nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman, diatur bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam meningkatkan ketahanan kebudayaan bangsa.

“Jadi tujuan utamanya adalah menjaga keutuhan Kebudayaan bangsa daripada serangan budaya lain. Itu tujuan utamanya. Dan kesejahteraan rakyat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional. Jadi ini untuk self defense agar ideologi kita tidak terganggu. Karena itu negara bertanggung jawab memajukan perfilman,” katanya.

Berkaitan dengan Bung Karno, Rano juga menyoroti soal sosok Marhaen yang ceritanya menjadi basis dari Marhaenisme di kalangan nasionalis. Rano mengatakan barangkali banyak yang bertanya mengenai seorang Pak Marhaen.

Rano menjelaskan, Marhaen adalah petani sederhana berbaju lusuh yang ditemui Bung Karno sedang bekerja di sawah. Bung Karno menyapanya dan bertanya soal kehidupannya.

“Bung Karno menyebut namanya Marhaen. Marhaen seorang petani kurus kering. Dan dari situ Bung Karno merasakan tercetus ilham. Aku akan menamakan seorang yang bernasib malang seperti dia adalah Marhaein,” kata Rano yang juga putra aktor tiga zaman Soekarno M. Noor itu.

“Bayangkan seorang Bung Karno bertemu seorang petani, tapi dia bisa menciptakan ideologi yang disebut Marhaenisme. Ini adalah hasil sebuah penemuan budaya,” kata Rano. [CHA]