Koran Sulindo – Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menampik tudingan pengajuan nama calon Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan (BG) oleh Presiden Joko Widodo karena dianggap dekat dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
“Budi Gunawan tidak hanya dekat dengan Ibu Megawati namun juga dekat dengan siapa pun sejak masih menjabat sebagai Kapolda. Jadi hemat saya biasa-biasa saja,” kata TB Hasanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (5/9).
Politikus PDI Perjuangan itu juga mengatakan sejauh ini sikap anggota Komisi I DPR terhadap calon tunggal kepala BIN, Komjen Budi Gunawan tidak ada masalah. Dia meyakini proses fit and proper test di DPR nanti akan berjalan baik.
“Dan mohon dicatat ini bukan persetujuan tetapi hanya memberikan pertimbangan,” kata Hasanuddin.
Seluruh anggota Komisi I juga tidak mempersoalkan kasus BG yang sempat mengganjal pencalonan dirinya sebagai Kapolri. Menurutnya, secara hukum kasus tersebut sudah selesai.
Penguatan Intelijen Negara
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR, Bambang Soesatyo berharap pada saatnya BG dilantik, yang bersangkutan mampu menjaga nama baik BIN dan tak dianggap kerap kecolongan. Dikatakan, berbagai masalah terkait intelijen yang wajib menjadi perhatian dan dicarikan solusi oleh pimpinan BIN berikutnya.
Bambang mengingatkan penetrasi jaringan teroris, sindikat narkotika, korupsi, dan pasar gelap menjadi tantangan terkini yang dihadapi Indonesia. Semua kecenderungan itu harus disikapi dengan respons tegas dan lugas demi terjaganya ketahanan nasional.
“Sejumlah kalangan meyakini BG mampu melakukan penguatan intelijen nasional dari waktu ke waktu. Dan itu menjadi pilihan tak yang terelakkan. Inilah garis besar permasalahan yang dihadapi dan harus dikerjakan oleh BG sebagai pimpinan BIN,” ujarnya.
Menurutnya, dalam persepsi kebanyakan masyarakat awam sejumlah peristiwa atau kasus seperti serangan teroris, penyelundupan narkoba, penyelundupan produk manufaktur dan senjata api hingga praktik korupsi, seharusnya bisa ditangkal jika intelijen negara bekerja efektif.
“Sudah begitu sering intelijen negara dipersalahkan dan dituding kecolongan. Hingga kini, masyarakat masih berasumsi bahwa kerja intelijen negara belum cukup efektif,” ujarnya.
Dicontohkan, percobaan serangan bom bunuh diri pada sebuah rumah ibadah di Medan, Sumatera Utara, pada 28 Agustus lalu, menjadi penanda masih tingginya aktivitas sel-sel teroris di dalam negeri. Pada kasus serangan di Medan, muncul indikasi bahwa kelompok teroris Sumatera berafiliasi dengan ISIS. Sebab, pola dan target serangan sama dengan serangan serupa oleh jaringan ISIS pada sebuah rumah ibadah di Nomardy, Prancis, Juli 2016.
“Pada kasus ini, intelijen negara lagi-lagi dituding kecolongan,” imbuh Bambang.
Politikus Partai Golkar itu menilai, kelemahan intelijen negara pun terlihat sangat mencolok pada keberhasilan sindikat narkotika, lokal maupun internasional, melakukan penetrasi dengan membentuk sel-sel mereka dalam tubuh birokrasi negara.
Gambaran umum tentang keberhasilan penetrasi sindikat narkoba itu tercermin pada sejumlah hasil tangkapan petugas Badan Narkotika Nasionak (BNN).
“Termasuk muatan kisah yang dituturkan gembong narkoba, almarhum Freddy Budiman,” kata Bambang. (CHA/DAS)