PDI Perjuangan Bagian Sangat Penting dalam Sejarah Negeri Ini

Ilustrasi: Kampanye PDI Perjuangan pada Pemilu 1999/Reuters

Partai politik yang jatuh bangun bersama Indonesia itu berulangtahun ke-20 jika dihitung sejak jatuhnya reformasi lalu. Bagian sangat penting dalam sejarah negeri ini.

Koran Sulindo – Di atas panggung, Megawati Soekarnoputri dituntun Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mereka lalu berjalan perlahan menuju meja penuh. Megawati memotong nasi tumpeng dan membagikannya ke para petinggi negeri yang hadir saat perayaan ulang tahun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke-45 tahun di Jakarta Convention Centre, Senayan, setahun lalu.

Hari itu Megawati memang diperlakukan sangat istimewa. Presiden RI dan Wakil Presiden RI, baik yang masih menjabat hingga yang sudah paripurna, duduk mengeruyuk berkisar di sekitarnya.

Hari itu juga sebenarnya perayaan hadirnya sebuah partai politik yang mempunyai sejarah panjang hingga jauh sebelum Indonesia merdeka; bahkan jauh sebelum negeri ini dikenal sebagai negara bangsa yang terletak di zamrud khatulistiwa.

Jika harus dipilih hari yang persis sudah pasti pada 4 Juli 1927, malam hari, di sebuah paviliun sebelah selatan rumah di Regentsweg no. 22 Bandung, Jawa Barat. Di rumah yang terletak tak jauh dari alun-alun Bandung itu, sekarang jalan itu bernama Jalan Dewi Sartika, 6 anak muda dan seorang tua yang sedang dalam perjalanan ke pengasingan oleh kolonialis, membayangkan sebuah alat untuk melawan penjajahan Belanda. Anak-anak muda terdidik itu memikirkan partai politik.

Ir Soekarno, Mr. Iskaq, Mr. Sartono, Mr. E.S. Budyarto Martoatmodjo, Mr. Sunario, Dr. Samsi Sastrowidagdo, Ir. Anwari, dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Tujuh satria itu kelak tercatat sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), kecuali Dr. Tjipto yang menolak diikutsertakan atas alasan keamanan.

Seperti dikutip buku karya Soenario SH, ‘Banteng Segitiga’, pembentukan PNI terjadi secara tidak sengaja. Saat itu pemerintahan di Hindia Belanda sedang menggeram. Setahun sebelumnya, mereka menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), membubarkan partai itu, menggiring semua kadernya ke pengasingan di antah berantah Papua jauh di timur sana. PKI dipakai menjadi senjata menakut-nakuti anak-anak negeri yang berjuang.

Sudah setahun ini tak ada satupun partai politik di negeri jajahan itu. Hingga 6 anak muda dan seorang pensiunan bertemu malam-malam di rumah yang siang harinya menjadi kantor arsitek itu.

Semua diawali karena kantor arsitek Soekarno dan Anwari (anak terkecil Tjipto Mangunkusumo) terletak dekat dengan kantor advokat milik Mr. Iskaq yang sama-sama berada di sepotong jalan di ibukota Priangan itu.

Pertemuan terus terjadi hingga 4 Juli 1927 malam itu, selalu dengan gagasan pokok membangun partai nasional yang tak mau bekerja sama dengan penjajah. Awalnya memang sempat debat serius mengenai prinsip non koperasi yang akan diusung partai ini. Soekarno dengan mempesoona mempertahankan keyakinannya atas prinsip tersebut.

“…Kita tidak lagi berjalan perlahan-lahan, 350 tahun sudah cukup perlahan,” kata Soekarno, sebelum pemilihan yang menunjuknya sebagai Ketua PNI dengan Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai sekretaris merangkap bendahara.

Tahu bahwa kolonialis sedang gerah dan marah-marah, pada awalnya mereka menamai partai itu sebagai Perserikatan Nasional Indonesia sebelum kemudian diubah menjadi Partai Nasional Indonesia pada kongres pertama di Surabaya pada 1928.

“Pokok maksud pembentukan PNI adalah mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia. Yang hendak diakui hanyalah pemerintahan yang disusun dan dibangun oleh rakyat. Bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda ditolal, tapi hendak dibangunkan suatu bentuk tata negara nasional, di dalam lingkaran perhubungan-perhubungan yang berlaku sekarang.”

Kharisma Soekarno dalam tiap-tiap rapat umum memberikan sumbangan besar bagi perluasan pengaruh PNI. Pada awal 1929 anggota PNI tercatat baru sekitar  6 ribu orang, seperempatnya berada di Bandung.

Dalam rapat-rapat yang sering dihadiri ribuan orang, terpampang simbol-simbol “banteng segitiga” dan semboyan-semboyan revolusioner. Sejak diperkenalkan pada event kongres pemuda II tahun 1928, Indonesia Raya menjadi lagu wajib yang diputar pada setiap rapat PNI.

“Kami tidak mempunyai pengeras-suara, karena itu aku harus berteriak sampai parau. Di waktu sore aku memekik-mekik kepada rakyat yang menyemut di tahah-lapang. Di malam hari aku membakar hati orang-orang yang berdesak-desak sampai berdiri dalam gedung pertemuan. Dan di pagi hari aku memekik urat leher dalam gedung bioskop jang penuh sesak dengan para pecinta tanah air,” kata Soekarno, seperti dikutip Cindy Adams dalam bukunya, ‘Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’.

Dalam 2 tahun kemudian setelah didirikan, pemerintah kolonial merasa harus melakukan penangkapan-penangkapan besar-besaran. Soekarno, Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata dijebloskan ke penjara Banceuy. Proses pengadilan mereka yang dilakukan di gedung Landraad Bandung menghasilkan pleidoi legendaris Soekarno, “Indonesia Menggugat”. Dalam 2 tahun kemudian Soekarno dipenjarakan dan PNI dibubarkan.

PNI sebagai Partai Rakyat telah tak ada. Tetapi sebagai pergerakan rakyat dengan semboyannya “Indonesia Merdeka Sekarang” dan banteng sebagai lambang perjuangannya telah berhasil bersama-sama seluruh rakyat Indonesia mengantarkan rakyat Indonesia memasuki pintu gerbang Kemerdekaan Bangsa Indonesia, ruh-nya tetap selalu ada.

PDI Perjuangan 1999

Sekitar 70 tahun kemudian, sebuah partai baru tapi lama dideklarasikan di Stadion Utama Senayan. Pada 14 Februari 1999 itu, sepanjang hari, Jakarta merah total. Ratusan ribu pendukung partai yang terus-menerus dihantami pemerintahan Jenderal Soharto itu mau tak mau harus berganti nama karena perintah undang-undang.

Para kader dan pecinta berpawai dan arak-arakan ke arah Senayan. Sejak pagi, meski hujan deras mengguyur, massa berkaos merah itu tak henti-henti berdatangan dari segala penjuru.

Di dalam, massa memenuhi stadion berkapasitas 120.000 ribu orang tersebut. Ketika Megawati Soekarnoputri berpidato ribuan mulut itu bersorak-sorai menyambut.

Ilustrasi/John Stanmeyer-viiphoto.com

“Partai kita dikatakan sebagai parpol baru, tapi jangan berkecil hati karena siapapun di muka bumi ini mengetahui bahwa perjuangan kita bukanlah sesuatu yang baru….PDI Perjuangan bukan ujug-ujug hadir tanpa sebab-musabab. Partai ini lahir dari proses panjang, penuh hiruk-pikuk, demi menegakkan demokrasi dan hukum,” kata Megawati.

Pada Pemilu 1999 itu PDI Perjuangan tetap meneruskan citra sebagai partai wong cilik dan kerakyatan dan mengungguli 47 partai lainnya yang menjadi peserta pemilu. Suara yang diraih PDI Perjuangan mencapai 35,7 juta atau 33,7% dari keseluruhan jumlah pemilih. Dengan perolehan suara itu, PDI Perjuangan berhasil menempatkan 153 kadernya di DPR, perolehan suara terbesar sepanjang sejarah di era reformasi.

Persentase suara ini bahkan lebih besar dari yang pernah dicapai PNI selama Pemilu.

Dalam pidato kemenangan pada 29 Juli 1999, Megawati menyatakan kemenangan PDI Perjuangan itu merupakan kemenangan rakyat Indonesia.

“Pada hari ini, saya mengundang dan sekaligus mengajak Saudara-Saudara sesama warga bangsa untuk bersama PDI Perjuangan membangun kesadaran baru. Kesadaran baru yang saya maksud ialah kesadaran untuk mendudukkan kedaulatan rakyat di tempat paling terhormat di negeri ini. Inilah saat untuk menyatakan bahwa penistaan terhadap kedaulatan rakyat sudah harus diakhiri. Sebagai gantinya, mari kita sambut era pemberdayaan rakyat yang lahir dari kesadaran baru seluruh rakyat Indonesia,” kata Megawati.

Hari itu hanya puncak dari perkelahian anak perempuan Soekarno itu melawan kezaliman yang berkuasa sekitar 33 tahun sebelumnya, kezaliman yang mungkin lebih jahat daripada pemerintah kolonialis.

Baru beberapa tahun sebelum itu Megawati harus berpindah bis kota dan kendaraan darat, mengkonsolidasi para pendukungnya melawan pemerintahan ‘Orde Baru’ Jenderal Soeharto.

Ibu rumah tangga itu memiliki biografi hidup yang lebih dramatik daripada sinetron. Pada 1986 ia masuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI), pada 1993 ia sudah di pucuk tertinggi partai itu, dan serangan baik halus dan keji diterimanya dengan tenang.

Perjuangannya menegakkan demokrasi ketika negaranya dalam keadaan terpasung Orde Baru  memicu keberanian tokoh-tokoh lainnya ikut dalam gerbong reformasi.Tanpa putri pertama Bung Karno tersebut reformasi di Indonesia belum tentu terjadi.

Masih segar dalam ingatan bagaimana di awal-awal reformasi para pengikutnya sukarela menorehkan cap jempol darah, menjelang penyelenggaraan pemilihan umum 1999: Pejah Gesang Nderek Mega. Hidup mati tetap bersama Megawati. Masih terbayang juga bagaimana sudut-sudut kampung, sudut-sudut kota, penuh dengan posko-posko PDIP yang swadaya dan swadana, hanya karena seruan Megawati.

Tapi kata kuncilah tetaplah ia lebih mementingkan partai daripada dirinya sendiri. PDI Perjuangan adalah segalanya.

“Berjuang untuk membebaskan rakyat dan bangsa dari penjajahan dalam bentuk apa pun yang menyebabkan ketertindasan, kemiskinan, dan kebodohan. Bagi kita, partai adalah alat pembebasan. Itulah motif dan orientasi otentik pendirian partai yang seharusnya selalu kita sadari, kita yakini, dan selalu kita pegang teguh,” kata Megawati.

Perjuangan Belum Selesai

Jakarta Convention Centre, Rabu 10 Januari 2018, Megawati memotong tumpeng dan memberikan kepada para pemeimpin negeri yang hari itu tumplek di Senayan. Presiden Joko Widodo salah satu yang menerima potongan tumpeng itu sebelum naik ke podium dan berpidato.

“Perjalanan 45 tahun ini telah menorehkan catatan kebesaran PDI Perjuangan. Rintangan berat berhasil dilalui, semangat perjuangan tidak pernah padam, kekompakan tidak pernah pudar, kepemimpinan yang kuat tidak ada yang menyangsikan, dan gotong royong selalu memperkukuh partai,” kata Presiden Jokowi.

“Indonesia beruntung memiliki PDI Perjuangan yang merupakan gambaran kebinekaan Indonesia, yang ketunggalikaannya selalu memperkuat semangat persatuan Indonesia, yang selalu mendukung perjuangan melawan kemiskinan, keterbelakangan, dan ketimpangan,” kata Jokowi.

Namun perjuangan belum selesai. Masih ada tugas sejarah menjadikan Indonesia sebagai negara maju yang terbebas dari kemiskinan. Menjadi bangsa pemenang.

Dalam 45 tahun perjalanannya PDIP mengukuhkan diri sebagai partai yang konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat kecil. PDIP juga selalu menjadi yang terdepan untuk memperkukuh kebinekaan dan memegang teguh ideologi bangsa.

Jokowi memuji PDIP sebagai partai yang memiliki kader militan namun demokratis dan visioner tanpa melupakan sejarah bangsa. PDIP adalah pendukung penting visinya dan pembangunan Indonesia-sentris dan pendukung pelaksanaan Nawacita di seluruh nusantara.

“Gotong royonglah yang membuat kita bisa bersatu dalam satu rampak barisan, yang membuat kita yakin bahwa kita akan mampu berjuang untuk satu tujuan mulia, dan yang membuat kita yakin bahwa PDI Perjuangan akan terus menerus menjadi wadah perjuangan rakyat Indonesia,” katanya.

Kerja keras seluruh kader PDIP dinantikan sebagai sumbangsih dalam membangun bangsa ini.

“Kita semuanya bangga PDI Perjuangan telah membesarkan banyak tokoh lokal maupun nasional, telah menyumbangkan berbagai gagasan-gagasan pembangunan, telah bekerja nyata untuk bangkitnya Indonesia Raya,” kata Jokowi.

Tahun ini perjalanan itu akan memasuki tahun ke 46. Perjalanan yang sebelumnya mengokohkan PDI Perjuangan sebagai partai yang memperjuangkan kepentingan wong cilik, memegang teguh cita-cita pendiri bangsa, meneruskan kiprah besar Bung Karno, memperkokoh Bhinneka Tunggal Ika, dan memegang teguh ideologi bangsa Pancasila.

Selamat ulang tahun. Teruslah berjuang. Indonesia masih membutuhkanmu. Namun, tetap harus diingat, semakin tinggi pohon akan semakin kencang pula angin yang menerpa. PDI Perjuangan harus tetap menjaga roh dan aksinya sebagai partai pelopor, sebagaimana dikonsepsikan oleh Bung Karno, yang bertugas membangun, mengelola, dan menyatukan segenap kekuatan rakyat. Partai pelopor adalah partai politik yang menjadikan rakyat sebagai sumber sekaligus muara perjuangannya.

Selamat ulang tahun. Teruslah berjuang. Indonesia masih membutuhkanmu. [Irwansyah dan Didit Sidarta]