PBB Sarankan Perusahaan Migas dikenai Pajak Besar

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres

PERSERIKATAN Bangsa Bangsa atau PBB melalui Sekretaris Jenderalnya António Guterres meminta negara kaya memberlakukan tarif pajak tinggi terhadap perusahaan minyak dan gas dan batu bara.

Dia berharap agar dari uang pajak itu dapat digunakan membantu negara-negara miskin yang terkena dampak perubahan iklim dan mengatasi dampak lonjakan harga pangan.

Dalam Majelis Umum PBB New York juga ada ajuan proposal dari Uni Eropa untuk memberlakukan pajak windfall pada perusahaan minyak, gas dan batu bara yang telah mencetak rekor keuntungan imbas perang Rusia di Ukraina dan krisis energi.

Guterres menyebut pungutan pajak tinggi memang pantas dilakukan karena perusahaan energi sudah menikmati ratusan miliar dolar AS dalam bentuk subsidi dan rejeki nomplok dari lonjakan harga komoditas itu belakangan ini.

“Padahal di saat sama, anggaran rumah tangga menyusut dan planet kita terbakar. Karena itu, hari ini, saya menyerukan kepada semua negara maju untuk mengenakan pajak atas keuntungan tak terduga dari perusahaan bahan bakar fosil,” kata Guterres, Rabu (21/9).

Sebelumnya, Komisi Eropa mengusulkan agar negara-negara Uni Eropa mengambil bagian 33 persen dari keuntungan surplus perusahaan migas. Sementara, Inggris mengusulkan pengenaan pajak tak terduga 25 persen awal tahun ini untuk memberikan bantuan bagi orang-orang yang berjuang dengan tagihan energi mereka.

Di tengah rencana itu, Perdana Menteri Liz Truss mengatakan dia tidak akan memperpanjang pembayaran program subsidi yang jauh lebih besar musim dingin ini dan berikutnya. Sedangkan, pemerintahan Presiden AS Joe Biden mempertimbangkan gagasan itu di musim panas tetapi hanya mendapat sedikit momentum.

PBB menyitir peran berbagai investor migas dunia mulai dari bank, lembaga keuangan dan berbagai perusahaan besar sehingga mengakibatkan krisis iklim.

“Kita perlu meminta pertanggungjawaban perusahaan bahan bakar fosil dan pendukungnya. Itu termasuk bank, ekuitas swasta, manajer aset, dan lembaga keuangan lainnya yang terus berinvestasi dan menanggung polusi karbon,” ujar Guterres.

Perusahaan energi dikabarkan menangguk keuntungan besar saat perang Rusia-Ukraina berlangsung. Pada kuartal kedua tahun ini, raksasa minyak dan gas Shell (RDSA) memperoleh rekor keuntungan US$11,5 miliar atau setara Rp172,75 triliun.

ExxonMobil juga memecahkan rekornya pada periode yang sama, yakni US$17,9 miliar atau setara Rp269 triliun. Angka ini hampir dua kali lipat dari yang dihasilkannya pada kuartal pertama 2022.

Sementara, laba BP (BP) mencapai level tertinggi 14 tahun, yakni sebesar US$8,45 miliar atau setara Rp126,96 triliun.

Namun sayangnya PBB tidak menguak peran negara-negara maju yang selama ini memperkaya diri dari monopoli migas dunia dan mengambil keuntungan dari proyek penanganan bencana dunia. [DES]