PBB: Kekerasan dan Pelecehan Hukum pada Masyarakat Adat Naik Tajam

Ilustrasi: Masyarakat Adat Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan/antarafoto

Koran Sulind0 – Perserikatan Bangsa-bangsa menyatakan kekerasan dan pelecehan hukum terhadap masyarakat adat di berbagai negara naik tajam. Kenaikan itu didorong ekspansi besar-besaran proyek-proyek pembangunan di tanah adat.

Pola kekerasan yang signifikanmuncul di berbagai negara, di mana kekerasan fisik dan penuntutan hukum digunakan terhadap penduduk asli yang mempertahankan hak dan tanah mereka.

Indonesia, di samping Brazil dan Filipina, termasuk 3 negara tertinggi dalam kasus kekerasan terhadap masyarakat adat ini.

Pelapor Khusus PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat Victoria Tauli-Corpuz menyerahkan laporan terbaru tersebut kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Genewa, Senin (27/8/2018), atau Selasa (28/8/2018) WIB.

Laporan sepanjang 19 halaman itu bisa diakses di situs PBB ini.

Laporan ini menjelaskan kepentingan sektor swasta berkolusi dengan pemerintah dalam mengincar tanah masyarakat adat.

“Saya telah diberi tahu tentang ratusan kasus kriminalisasi dari hampir setiap sudut dunia. Ekspansi proyek pembangunan yang cepat di tanah adat tanpa persetujuan mereka memicu krisis global,” kata Tauli-Corpuz.

Kriminalisasi itu termasuk diantaranya serangan-serangan baik fisik maupun hukum, adalah upaya pembungkaman masyarakat adat yang melakukan penentangan terhadap proyek-proyek yang mengancam mata pencaharian dan budaya mereka.

Sejak Juni 2014, ketika baru menjabat sebagai Pelapor Khusus PBB, Tauli-Corpuz telah menyaksikan peningkatan yang signifikan dalam kasus-kasus kriminalisasi dan kekerasan di Filipina, Brasil, Kolombia, Ekuador, Guatemala, Honduras, India, Kenya, Meksiko, dan Peru.

Front Line Defenders mendokumentasikan 312 pembela hak asasi manusia yang dibunuh pada 2017, dan sebanyak 67 persen terbunuh karena membela tanah mereka, lingkungan, atau hak adat, hampir selalu dalam hubungan dengan proyek sektor swasta.

Sekitar 80 persen pembunuhan terjadi hanya di 4 negara yakni Brasil, Kolombia, Filipina, dan Meksiko.

Global Witness bekerja sama dengan The Guardian mendokumentasikan 207 pembunuhan pembela lahan dan lingkungan pada 2017, tahun terburuk dalam sejarah hingga saat ini dalam konteks masyarakat adat.

Agribisnis adalah sektor industri yang terkait dengan sebagian besar pembunuhan itu. Sekitar 25 persen mereka yang tewas adalah orang lokal yang masih belum terkena kemajuan.

Indonesia

Sementara itu, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman, mengatakan terdapat 127 komunitas masyarakat adat mengalami kriminalisasi, 263 orang diproses hukum.

Angka tersebut terdata hanya dari awal Januari hingga Agustus 2018 ini.

AMAN mencatat sekitar 1,2 juta masyarakat adat di Indonesia yang hidup di wilayah konservasi juga terancam dipindahkan.

Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary Herwati mengatakan kriminalisasi yang terjadi pada masyarakat adat kebanyakan akibat perampasan hak ruang termasuk wilayah adat.

Kriminalisasi ini terjadi sejak Orde Baru (Orba) saat banyak bermunculan Undang-Undang (UU) sektoral yang merampas hak masyarakat adat, contohnya UU Desa dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).

Beberapa tindak pidana yang dikenakan ke masyarakat antara lain saat masuk tanpa izin ke kawasan hutan atau perkebunan yang awalnya merupakan ruang hidup mereka. Biasanya tindakan ini dikenakan saat masyarakat adat menghadang aktivitas alat-alat berat milik korporasi yang hendak melakukan aktivitas di wilayah adatnya. Mereka dikenakan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 terkait kepemilikan senjata api atau tajam.

Sementara itu, pada April 2018 lalu, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Human Rights Working Group (HRWG) menyesalkan keputusan pemerintah yang menolak menetapkan peraturan tentang jaminan hak masyarakat adat.

Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz menyesalkan keputusan pemerintah yang tertuang lewat Surat Penyampaian DIM RUU Masyarakat Hukum Adat dari Menteri Dalam Negeri RI yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara.

Dalam surat itu pemerintah menyatakan Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat dianggap belum signifikan untuk dibahas dan diundangkan.

Menurut Hafiz, selama ini tidak ada jaminan atas tanah bagi sebagian besar masyarakat adat di Indonesia. Kondisi ini membuat masyarakat adat menghadapi situasi rentan perampasan lahan, terutama oleh korporasi dan perusahaan.

“Jika pemerintah tidak memberikan jaminan atas apa yang mereka miliki, itu sama halnya melanggar hak atas pangan masyarakat adat,” kata Hafiz, seperti dikutip kantor berita Anadolu Agency. [DAS]