Payung Hukum Pembentukan Holding Pertambangan Segera Rampung

Ilustrasi: Tambang Freeport/wall street journal

Koran Sulindo – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memastikan Holding BUMN Industri Pertambangan segera dibentuk, dengan rampungnya sejumlah regulasi pendukung. Holding Pertambangan ini diharapkan memperkuat penguasaan sumber daya dan cadangan mineral serta batubara oleh perusahaan negara.

“Holding ini juga dipersiapkan menjadi perusahaan kelas dunia,” kata Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno, di Jakarta, melalui rilis pers, Senin (3/4).

Salah satu tujuan BUMN sektor pertambangan adalah menjalankan program hilirisasi dan kandungan lokal. Juga menjadikan BUMN sebagai salah satu perusahaan kelas dunia.

Sinergi BUMN Pertambangan ini juga akan mengerjakan sejumlah proyek bernilai besar, yang membutuhkan biaya besar.

“Holding BUMN Industri Pertambangan adalah solusi atas besarnya pembiayaan tersebut,” katanya.

Sementara itu Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN, Aloysius K. Ro, mengatakan dari rencana 6 holding, sektor pertambangan yang paling siap.

“Sejumlah masalah regulasi yang masih ada akan terus digodok dan dan dibahas dalam rapat kementerian. Begitu juga diskusi lebih lanjut tentang payung hukum holdingisasi PP No 72 Tahun 2016,” katanya.

Proses legalitas Holding Pertambangan sudah pada tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.

“Kami terus melakukan komunikasi yang intensif dengan berbagai kalangan dan pemangku kebijakan terkait dengan Peraturan Pemerintah 72 Tahun 2016 sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik,” kata Aloysius.

Bukit Asam dan Antam

Proyek-proyek  yang akan digarap sinergi BUMN Pertambangan akan dijalankan oleh Bukit Asam dan Antam.

“Untuk meningkatkan kapasitas produksi perseroan yang masih 5 persen dari total produksi nasional menjadi 56 persen, dibutuhkan pengembangan PLTU dengan dana yang besar. Bukit Asam akan meningkatkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2×125 megawatt (MW) di Tanjung Enim menjadi 5.000 MW hingga 2026, Sumsel 8 hingga 2×600 MW dan Sumsel 9 dan 10 akan  ditingkatkan menjadi 3.000 MW,” kata CEO Bukit Asam, Arviyan Arifin.

Sedangkan Finance Director Inalum Ogi Ahmad Kosasih mengatakan pengembangan secara vertikal ke hulu untuk membangun Smelter Grade Alumina (SGA) akan dilakukan bersama Antam.

“Saat ini, Inalum masih mengimpor alumina. Hasil produk SGA itu nantinya akan diserap oleh Inalum,” kata Ogi.

Inalum juga bekerja sama dengan Pertamina dan investor lain dalam membangun Calcine Plant untuk peleburan alumina. Sementara itu, di hilir Holding Pertambangan membangun aluminium palate dan aluminium alloys yang akan selesai pada Mei 2017. Semua proyek ditargetkan selesai sebelum 2020.

Sementara CEO Antam Teddy Badrujaman mengatakan berencana memproduksi emas murni yang berbahan baku bullion. Antam juga akan membangun SGA dan Chemical Grade Alumina (CGA).

Sejauh ini, jelas Teddy, CGA sudah selesai, sedangkan SGA rencananya akan dibangun di Kalimantan Utara dan Kalimantan Barat.

Antam juga berencana membangun pabrik ferronickel di Halmahera Timur dengan kapasitas 13.500 ton ferronickel.

Digugat ke MA

Sebelumnya, Mahfud MD atas nama Majelis Nasional KAHMI, didukung beberapa lembaga dan pakar lainnya semisal Prof Jimly Asshiddiqie, mengajukan gugatan secara resmi pada 10 Maret 2017 ke Mahkamah Agung soal PP 72 Tahun 2016 itu.

Diantara pokok-pokok gugatan yakni mengenai ketentuan barang milik negara pada Pasal 2 ayat (2) huruf (b). Ketentuan ini merupakan pelanggaran terhadap UU BUMN karena akan menjadi dasar hukum pencucian aset negara yang akan dialihkan ke pihak lain dengan melalui penyertaan modal pada BUMN.

Kemudian pasal 2A dinilai bertentangan dengan UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Selain itu juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 dan Nomor 48/PUU-XI/2013.

Ketentuan ini berpotensi sebagai legitimasi privatisasi diam-diam oleh Pemerintah tanpa melibatkan DPR RI. [DAS]