Koran Sulindo – Perempuan dan perjuangan ibarat dua sisi mata uang. Tak ada dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa manapun di dunia yang tak melibatkan peran serta perempuan, tak terkecuali bangsa Indonesia.
Di medan perang, bangsa ini memiliki Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia hingga Pocut Baren di Aceh yang kebesaran namanya saja sudah membuat marsose Kompeni jerih. Dari Maluku, bangsa ini memiliki Christina Martha Tiahahu atau Nyi Ageng Serang yang gigih di Jawa.
Tak cuma di palagan perang, di lapangan politik bangsa ini juga memiliki Kartini atau Dewi Sartika di bidang pendidikan yang perannya ibarat membuka kotak Pandora kesadaran kebangsaan.
Sejarah perjuangan Indonesia menulis nama mereka dengan hati-hati menggunakan tinta emas pada lembar-lembar sejarahnya.
Sebenarnya tak cuma mereka saja perempuan-perempuan terhormat yang berjasa menyumbangkan baktinya pada bangsa ini. Tak terhitung perempuan lain, bernama atau tak bernama terlibat begitu aktif dalam perjuangan.
Bahkan beberapa dari mereka berasal dari kelompok-kelompok yang dianggap marginal dan dilirik dengan sebelah mata, para pelacur.
Hanya saja tak seperti para perempuan ‘terhormat’ yang jasanya ditulis tinta emas, nama-nama mereka tak pernah disebut atau dicatat di buku-buku sejarah resmi.
Mereka umumnya menggunakan tipu muslihat untuk mengeksploitasi kelemahan alamiah laki-laki dan memanfaatkannya bagi keuntungan perjuangan.
Bung Karno dalam bukunya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia menceritakan setelah runtuhnya Pemberontakan PKI di tahun 1926, PNI mengorganisir pelacur dan memanfaatkan mereka untuk kerja-kerja politik.
“Pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia. Aku telah membuktikannya di Bandung. Dalam keanggotaan PNI di Bandung, terdapat 670 orang perempuan yang berprofesi demikian,” kata Bung Karno. “Kalau menghendaki mata-mata yang hebat, berilah aku seorang pelacur yang baik.”
Dalam tersebut Bung Karno bahkan menyebut di Bandung, PNI memiliki ‘tentara khusus’ yang berprofesi sebagai pelacur yang telah dibekali dan mendapatkan pendidikan serta latihan khusus.
Sebagai mata-mata untuk meyakinkan apakah mereka jujur dan bisa dipercaya sekaligus menutup rapat-rapat mulutnya, PNI menguji mereka selama enam bulan sampai setahun untuk menjadi ‘calon anggota’.
Mereka baru diangkat sebagai mata-mata jika lolos serangkaian ujian dan diakui kecakapannya serta mendapat kepercayaan penuh.
Pada saatnya ketika Bung Karno atau PNI memerlukan informasi penting dari seorang polisi Belanda, itu adalah tugas utama pasukan khusus tersebut.
“Aku perlu rahasia apa saja yang bisa kau peroleh dari dia. Buka lebar-lebar kupingmu,” kata Bung Karno. “Dan betul-betul dia memperolehnya.”
“Polisi-polisi yang tolol ini tidak pernah mengetahui, dari mana datangnya informasi yang kami peroleh. Tak satu pun laki-laki anggota partai yang terhormat dan sopan itu dapat mengerjakan tugas ini untukku!” kata Bung Karno.
Tak hanya jago mengorek informasi rahasia, manfaat lain yang diperoleh PNI dengan mengorganisir para pelacur itu adalah sumbangan keuangan partai. Bung Karno menyebut merekalah satu-satunya anggota PNI yang selalu mempunyai uang.
Selain membayar iuran rutin mereka acap kali memberikan sumbangan ekstra yang bisa dipergunakan untuk keperluan lain.
Di sisi lain mereka juga menjadi magnet bagi PNI setiap kali menggelar rapat umum. Anggota pria banyak yang tertarik datang rapat meski hanya untuk bisa melihat wanita-wanita cantik itu.
Sebagai pelacur jalanan, tentu saja mereka kerap berhadapan razia dan terancam hukuman berupa kurungan selama tujuh hari atau denda lima rupiah. Kepada mereka Bung Karno meminta agar menjalani hukuman dibanding membayar denda.
Kali ketika mereka benar-benar terjaring razia di persidangan kompak ogah membayar denda. Alhasil 40 orang pelacur berbaris masuk bui yang membuat penjara kantor polisi langsung penuh sesak.
Di dalam penjara mereka wajib mengenal dan mengingat satu persatu polisi Belanda yang menangkap mereka. Tujuannya tak lain agar setelah bebas mereka merayu polisi-polisi atau mengganggunya saat bersama istrinya.
Taktik itu seringkali membuat polisi-polisi Belanda dalam kesulitan. “Istri mana yang tidak menjadi gila menghadapi keadaan ini. Muslihat ini termasuk dalam perang urat saraf kami,” kata Bung Karno.
Dalam The PETA and My Relations with the Japanese: A Correction of Sukarno’s Autobiofraphy, yang dimuat dalam jurnal Indonesia, Vol.5 tahun 1958, Gatot Mangunpraja mengkoreksi keterangan Bung Karno.
Ia menyebut tidak benar pelacur yang menjadi anggota PNI jumlahnya mencapai 670 orang.
Menurutnya, memang ada satu atau dua pelacur yang menjadi anggota PNI. Namun mereka adalah pelacur yang sudah ‘memperbaiki’ diri dan berhenti dari profesinya serta menikah dan menjadi anggota bersama suami mereka.
Gatot juga membantah bahwa PNI menggunakan pelacur sebagai daya tarik bagi anggota menghadiri kursus-kursus politik.
“Kami sangat berhati-hati memasukkan para wanita tuna susila dan penjudi, yang mungkin membahayakan dengan memberi nama buruk bagi organisasi,” tulis Gatot.
Terlepas dari bantahan Gatot, di masa pendudukan Jepang Bung Karno nyatanya kembali memanfaatkan ‘jasa’ pelacur sebagai ‘tindakan-tindakan darurat’.(TGU)