Pasola (Wikipedia)

Indonesia, sebuah negeri yang dikenal bukan hanya keindahan alamnya yang memukau, tetapi juga kekayaan budayanya yang luar biasa. Setiap daerah memiliki cerita, tradisi, dan warisan yang menjadikannya unik. Salah satunya adalah Pasola, sebuah tradisi yang berasal dari Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dalam kehidupan masyarakat Sumba, Pasola tidak hanya dianggap sebagai acara seremonial, tetapi juga sebagai simbol yang memadukan aspek spiritual, sosial, dan budaya. Tradisi ini menjadi cerminan betapa kaya dan beragamnya adat istiadat di Nusantara, yang sering kali mengandung pesan moral dan filosofi mendalam. Tidak mengherankan, Pasola telah menarik perhatian dunia sebagai salah satu bentuk warisan budaya takbenda yang menggambarkan hubungan manusia dengan alam dan komunitasnya.

Selain daya tarik budayanya, Pasola juga menyimpan banyak cerita yang menjadi bagian penting dari identitas masyarakat Sumba. Dengan latar belakang sejarah yang berlapis, tradisi ini tidak hanya memperlihatkan keberanian para ksatria yang ikut serta, tetapi juga menggambarkan harmoni antara manusia, adat, dan lingkungan. Maka, mari kita telusuri lebih jauh asal-usul, pelaksanaan, hingga makna yang tersimpan di balik tradisi ini.

Asal Usul dan Sejarah Pasola

Pasola berasal dari kata “soal” atau “hola,” yang berarti kayu lembing. Tradisi ini melibatkan dua kelompok penunggang kuda yang saling berhadapan dan melemparkan lembing kayu sebagai bentuk permainan ketangkasan. Meskipun tampak sebagai adu kekuatan, Pasola sebenarnya memiliki akar sejarah dan simbolisme yang dalam.

Menurut laman Pemkab Sumba Barat, semua berawal dari kisah yang diwariskan secara turun-temurun, Pasola bermula dari legenda cinta segitiga di kampung Weiwuang. Kisah ini dimulai dengan tiga bersaudara dari kampung Weiwuang, yaitu Ngongo Tau Matutu, Yagi Waikareri, dan Ubu Dulla. Mereka memutuskan untuk berlayar ke Negeri Muhu Karera untuk mencari ikan sebagai persembahan bagi istri-istri mereka. Namun, setelah beberapa hari berlayar, ketiganya tidak kunjung kembali ke kampung. Kekhawatiran melanda para istri dan warga desa.

Istri Ubu Dulla, yang bernama Rabu Kabba, sangat terpukul dan sering pergi ke tepi pantai untuk melihat apakah suaminya kembali. Suatu hari, ia melihat sebuah perahu yang akan bersandar di tepi pantai. Namun, ternyata perahu itu bukan milik Ubu Dulla atau kedua saudaranya, melainkan milik seorang pemuda dari Kodi bernama Teda Gaiparona.

Karena sering bertemu dan berinteraksi, Rabu Kabba dan Teda Gaiparona akhirnya saling jatuh cinta. Namun, hubungan mereka terhalang oleh adat setempat yang tidak memperbolehkan hubungan tersebut. Akhirnya, mereka memutuskan untuk kawin lari.

Tidak lama setelah peristiwa itu, Ngongo Tau Matutu, Yagi Waikareri, dan Ubu Dulla kembali ke Weiwuang. Ubu Dulla terkejut mendapati kenyataan bahwa istrinya telah pergi bersama pria lain. Awalnya, ia sangat marah dan merasa dikhianati, tetapi setelah melalui proses panjang, ia akhirnya merelakan istrinya bersama Teda Gaiparona. Namun, Ubu Dulla mengajukan syarat kepada Teda Gaiparona untuk mengganti belis (mahar adat) yang sebelumnya diterima keluarga Rabu Kabba saat pernikahan mereka.

Teda Gaiparona menerima syarat tersebut dan memberikan belis baru. Sebagai simbol kemakmuran, Ubu Dulla juga diberi sebungkus cacing nyale untuk dibawa pulang ke Weiwuang. Selain itu, mereka sepakat untuk mengadakan Pasola sebagai penghormatan atas kebesaran hati Ubu Dulla yang mampu menerima kenyataan pahit dengan lapang dada. Dari sinilah Pasola bermula, tidak hanya sebagai tradisi permainan, tetapi juga sebagai simbol perdamaian dan penghormatan terhadap adat istiadat setempat.

Pelaksanaan Pasola

Pasola diawali dengan upacara adat Nyale, yaitu tradisi memanen cacing laut di pantai saat bulan purnama. Cacing nyale dipercaya sebagai pertanda baik untuk kesuksesan panen dan kehidupan masyarakat. Apabila cacing yang ditemukan sehat dan gemuk, masyarakat yakin bahwa tahun tersebut akan penuh keberkahan.

Setelah prosesi Nyale, Pasola dimulai dengan melibatkan lebih dari 100 ksatria yang terbagi dalam dua kelompok. Mereka bersenjatakan tombak kayu berdiameter 1,5 cm yang ujungnya tumpul. Para peserta menunggang kuda dengan kecepatan tinggi sambil melemparkan lembing ke arah lawan. Derap kuda, teriakan semangat, dan interaksi antarpenonton menambah suasana menjadi sangat dramatis.

Meskipun tombak kayu digunakan, Pasola bukan tanpa risiko. Cedera bahkan kematian bisa terjadi dalam permainan ini. Namun, masyarakat Sumba menganggap darah yang tumpah selama Pasola memiliki makna simbolis sebagai persembahan bagi kesuburan tanah dan keberkahan panen.

Pasola bukan sekadar permainan ketangkasan. Tradisi ini mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Percikan darah yang tumpah diyakini memperbarui keseimbangan alam dan menciptakan kemakmuran. Dalam kepercayaan Marapu, setiap tetes darah menjadi simbol penghapus dosa masyarakat yang telah melanggar norma adat.

Kematian dalam Pasola dianggap sebagai tanda adanya pelanggaran adat di wilayah pelaksanaannya. Oleh karena itu, tradisi ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat untuk mematuhi aturan adat selama persiapan hingga pelaksanaan Pasola.

Pasola diselenggarakan setiap tahun pada bulan Februari dan Maret di berbagai wilayah di Sumba, yaitu Kodi, Wanokaka, Gaura, dan Lamboya. Waktu pelaksanaannya ditentukan oleh para rato (pemuka adat) berdasarkan kemunculan cacing nyale. Puncak perayaan biasanya berlangsung enam hingga delapan hari setelah bulan purnama.

Selama satu bulan sebelum Pasola, masyarakat diwajibkan mematuhi berbagai pantangan, seperti tidak mengadakan pesta atau membangun rumah. Aturan ini bertujuan menjaga kesakralan dan ketenangan selama persiapan tradisi.

Pasola tidak hanya menjadi atraksi budaya tetapi juga simbol identitas masyarakat Sumba. Keunikan tradisi ini mengundang banyak wisatawan untuk menyaksikan langsung keindahan budaya dan keberanian ksatria Sumba. Selain itu, Pasola juga menjadi momen refleksi akan pentingnya harmoni dan penghormatan terhadap tradisi.

Sebagai warisan budaya yang berharga, Pasola memerlukan upaya pelestarian agar tetap relevan bagi generasi mendatang. Keberlangsungan tradisi ini bukan hanya tanggung jawab masyarakat Sumba, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia untuk menjaga kekayaan budaya yang mendunia ini. [UN]