Koran Sulindo – Pertengahan tahun 1920-an, dunia pergerakan kebangsaan mengalami masa-masa paling sulit. Pasalnya, tak lain, pemberontakan sosial yang digalang Partai Komunis Indonesia (PKI) di akhir 1926. Akibat pemberontakan itu pemerintahan kolonial Hindia-Belanda mengambil tindakan represif.
Gerakan nasionalisme-radikal bagaikan kehilangan induk. Di masa itulah Bung Karno dan kawan-kawan mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia. “Waktu telah tiba bagiku untuk mendirikan partai sendiri. …Pada 4 Juli 1927, dengan dukungan enam kawan dari Algemeene Studieclub, aku mendirikan PNI. Rakyat sudah siap, Bung Karno sudah siap. Sekarang tidak ada yang menahan kami, kecuali Belanda“, kata Soekarno, seperti ditulis dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Setahun kemudian perserikatan itu berubah nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
PNI adalah anak kandung pergerakan nasional. Asas PNI adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang didasarkan pada Marhaenisme. Program PNI disusun sederhana. Dalam anggaran dasarnya dicantumkan tujuan perserikatan, yaitu: mengusahakan kemerdekaan Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu perserikatan akan bekerjasama dengan semua organisasi di Indonesia yang mengejar tujuan yang sama. PNI memilih non-kooperasi dan hidup dengan swadaya sebagai prinsip perjuangannya.
Kehadiran PNI telah memanaskan mesin pergerakan nasional di masa itu. Dibawah kepemimpinan Soekarno, PNI berkembang pesat. Hal itu terutama karena kemampuan Soekarno berpidato dalam rapat-rapat umum di depan khalayak rakyat. Selain itu, para aktivis PNI lainnya—baik di tingkat pusat maupun di daerah—bekerja dengan semangat luar biasa. Untuk mengatasi kesukaran berkomunikasi dengan rakyat banyak, misalnya, diadakan pembinaan kader-kader yang bertugas menghubungi rakyat jelata secara langsung. Untuk itu diadakan kursus-kursus kader secara teratur di kota-kota kabupaten. Dan sedapat mungkin, calon-calon kader diambil dari pemuda-pemudi dari kampung dan desa, terutama mereka yang pernah mendapat pendidikan di sekolah.
Rapat-rapat umum dan kursus-kursus kader dengan segera menarik perhatian rakyat untuk bergabung dengan PNI. Kursus-kursus itu mengajarkan sosialisme, anarkhisme, komunisme, dan sebagainya, supaya orang-orang dapat menjunjung “nasionalisme“ nya sendiri dengan sadar dan supaya orang dapat memisahkan diri dari salah-satu isme-isme (aliran-aliran) yang lain itu. Berkat kursus-kursus para kader PNI cakap dalam menyebarkan cita-cita partai kepada masyarakat luas.
Kesuksesan PNI itu ternyata membuat gerah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Maka, akhir Desember 1929, aparat pemerintah jajahan melakukan penggeledahan semua kantor dan rumah para pemimpin PNI. Sukarno dan tiga tokoh PNI lainnya (Maskun, Supriadinata, Gatot Mangkupraja) ditangkap dan diajukan ke pengadilan, dengan tuduhan melakukan penghasutan. Oleh Landraad di Bandung, Soekarno dihukum empat tahun penjara, dan tiga tokoh PNI lainnya masing-masing dua tahun.
Setelah Soekarno masuk penjara, kegiatan PNI pun praktis berhenti. Pada 25 April 1931 digelar Kongres Luar Biasa, yang memutuskan pembubaran PNI. Pemrakarsa pembubaran PNI ini adalah Mr. Sartono, yang berpendapat bahwa dengan ketetapan hukum terhadap keempat pimpinan partai, maka PNI bisa dianggap sebagai partai illegal. Untuk melanjutkan pergerakan sebaiknya dibentuk partai baru. Dan memang hanya beberapa hari kemudian, 29 April 1931, Sartono memprakarsai pendirian Partai Indonesia (Partindo).
Saat bebas dari penjara, Desember 1931, Soekarno pun bergabung dengan Partindo, yang lebih sejalan dengan gagasan-gagasan pergerakannya, terutama dalam hal aksi-massa. Bergabungnya Soekarno segera menghidupkan Partindo. Pada Juli 1933, Partindo menyatakan telah mempunyai 20.000 anggota.
Motor Kemerdekaan RI
Kalangan nasionalis juga merupakan motor kemerdekaan Republik Indonesia. Hal itu tampak dari dua proklamator RI, Soekarno-Hatta, yang berasal dari kalangan nasionalis.
Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, PNI dibentuk lagi pada 29 Januari 1946 sebagai hasil fusi tujuh kelompok nasionalis: Serikat Rakyat Indonesia (Serindo), PNI Madiun, Partai Republik Indonesia (yang dididirikan di Madiun oleh Dr. Soeradji), PNI-Pati (yang dipimpin Sarino Mangunpranoto), Partai Kedaulatan Rakyat (yang didirikan Sujono Hadinoto di Yogyakarta), PNI-Sumatra (yang dipimpin Dr. A.K. Gani), dan PNI-Sulawesi (dibawah pimpinan Manai Sophiaan). Pembentukan PNI itu dideklarasikan dalam Kongres Serindo yang diselenggarakan di Kediri, Jawa Timur, 28 Januari sampai 1 Februari 1946. Dari komposisi pimpinan partai, falsafah, dan program partai tersebut, tampak jelas bahwa PNI 1946 mewarisi ideologi PNI 1927.
Sebagai ketua dipilih Sarmidi Mangunsarkoro, yang sebelumnya menjabat Sekjen Serindo. Dalam jajaran pimpinan partai hasil kongres tersebut tercatat sejumlah tokoh nasionalis terkemuka, seperti: Mr. Sartono, Mr. Wilopo, Sidik Djojosukarto, A.K. Gani, Manai Sophiaan, Mr. Sumanang, dan Sudiro. Ideologi PNI dirumuskan sebagai sosialisme-nasionalisme-demokrasi atau sosio-nasional-demokrasi, mengikuti dasar-dasar PNI 1927 dan Partindo yang dirumuskan Soekarno.
Pada tahun 1955 pemerintah menyelenggarakan pemilihan umum yang pertama untuk memperebutkan 257 kursi parlemen. Pemilihan umum ini diikuti 36 partai politik. Hasil pemilu menunjukkan PNI dan Masjumi sebagai partai politik utama pada masa itu. Kedua partai ini masing-masing memperoleh 57 kursi di parlemen, meski perolehan suara PNI mengungguli Masjumi.
Dua partai besar, PNI dan Masjumi, kemudian memegang peranan penting dalam perpolitikan nasional pasca Pemilu 1955. Hal tersebut tampak dari komposisi parlemen (party politics), juga dalam posisi-posisi kunci dalam pembentukan kabinet (cabinet politics). Pada masa demokrasi parlementer ini ditandai dengan jatuh-bangunnya kabinet. Akibatnya sistem politik Indonesia di masa itu dipenuhi ketidakstabilan. Banyak pihak menyalahkan perilaku partai-partai politik sebagai sumber dari kegagalan berjalannya demokrasi parlementer.
Masa demokrasi parlementer tak berlangsung lama. Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya adalah membubarkan Konstituante. Pada hakekatnya pembubaran Konstituante ini ditujukan untuk menegaskan kekuasaan yang dimiliki Presiden Soekarno. Pemicu pembubaran adalah gagalnya Konstituante merumuskan undang-undang dasar negara.
Peran PNI di pentas politik nasional bangkit kembali setelah Kongres IX di Solo, Juli 1960. Dalam kongres ini yang terpilih sebagai ketua umum adalah Ali Sastroamidjojo. Dengan segera DPP PNI dibawah kepemimpinan Ali Sastroamidjojo melakukan perubahan organisasi. Partai juga membuka peluang bagi para aktvis muda yang berhaluan nasionalis-radikal untuk berkiprah di jajaran DPP, DPD, hingga ke tingkat cabang. Dengan begitu, perwakilan ormas dalam pimpinan partai meningkat pesat.
Dalam masa kepemimpinan Ali Sastroamidjojo, PNI berhasil menyelenggarakan perayaan ulang tahun partai secara besar-besaran pada bulan Juli 1965. Acara yang digelar di Stadion Senayan itu berhasil menghadirkan sekitar 100.ooo hadirin, yang bahkan mengalahkan acara yang digelar PKI sekalipun. Ketika Bung Karno hadir untuk memberikan pidato dalam acara tersebut, kata pertama yang diucapkannya saat melihat lautan manusia yang hadir adalah: “Bukan main!“
Tapi, beberapa bulan kemudian, meletus Peristiwa Gerakan 30 September 1965, atau yang oleh Bung Karno disebut sebagai Gestok. Peristiwa ini merupakan titik balik kekuasaan Bung Karno. PNI, sebagai pengikut setia ajaran Bung Karno, terkena imbasnya.
Selama 32 tahun di masa rezim Orde Baru, kaum nasionalis—terutama PNI garis radikal– ditekan dan tidak mendapat tempat dalam perpolitikan. Baru setelah Partai Demokrasi Indonesia (PDI)—kemudian diteruskan PDI Perjuangan– dipimpin Megawati Soekarnoputri, kaum nasionalis bangkit kembali. [Satyadarma]