Pasang Surut Indonesia-Australia dan Pilpres 2019

Presiden Joko Widodo bersama Panglima TNI Gatot Nurmantyo [Foto: rimanews.com]

Koran Sulindo – Selepas Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengeluarkan kebijakan pemutusan kerja sama militer dengan Australia pada awal tahun ini, muncul beragam analisis atas peristiwa itu. Di antaranya apakah kerja sama militer kedua negara yang telah terjalin sejak 1945 akan benar-benar berakhir?

Analisis lainnya menyebutkan apakah Gatot benar-benar menjabat sebagai Panglima TNI sampai masa pensiunnya tiba?  Kendati sempat memicu kontroversi, pada akhirnya kerja sama kedua negara tetap berlanjut. Terutama setelah Presiden Joko Widodo pada pekan lalu sempat menegur Gatot.

Gatot berdasarkan laporan Reuters disebut bertindak di luar kontrol. Tindakannya itu dikhawatirkan memperluas peran militer dalam urusan sipil. Panglima TNI ini juga dikatakan memiliki ambisi politik. Soal teguran itu, Gatot membantahnya. Ia memastikan semua tindakannya tunduk pada presiden yang menjadi pimpinan dan atasannya.

Setelah semua itu, kerja sama militer kedua negara rupanya terus berlanjut. Hubungan yang sempat memanas karena pihak Australia yang dianggap menghina dasar negara Indonesia, hanya menjadi salah satu episode hubungan kedua negara yang telah merentang panjang sejak 1945

Sejak masa kolonial, Australia merupakan salah satu negara yang bersimpati kepada Indonesia. Negeri kanguru ini bahkan pernah melarang kapal-kapal Belanda yang hendak berlayar ke Indonesia untuk bersandar di pelabuhannya. Akan tetapi, selepas 1945, sikap Australia terhadap Indonesia disesuaikan dengan kepentingan nasionalnya.

Australia menunjukkan sikap demikian ketika menentang Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia pada 1950-an. Kemudian, sikap yang sama mereka tunjukkan ketika Indonesia menginvasi Timor-Timur. Selanjutnya, setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998, Australia justru mengusulkan referendum untuk menyelesaikan masalah Timor-Timur.

Referendum ini kemudian memisahkan Timor-Timur dari Indonesia. Karena itu, kerusuhan pun sempat pecah di wilayah tersebut. Australia lantas mengirimkan pasukannya di bawah naungan PBB ke Timor-Timur. Sejak itu pula kerja sama militer kedua negara meningkat drastis.

Indonesia-Australia kemudian saling membutuhkan. Bagi Australia, Indonesia merupakan negara yang penting baik dari sisi keamanan maupun ekonomi. Indonesia dianggap sebagai pintu masuk untuk Asia. Sebaliknya, Indonesia menganggap Australia sebagai mitra strategis terutama dalam hal pelatihan pasukan militer dan modernisasi persenjataan.

Kendati, bukan kali pertama mengeluarkan keputusan yang memicu kontroversi, Gatot nampaknya akan tetap pensiun sesuai dengan masa jabatannya. Pasalnya, Indonesia tidak memiliki tradisi memberhentikan seorang pejabat senior apalagi berasal dari TNI meski tindakannya di luar kendali. Walau saat bersamaan, tindakan Gatot tersebut membuat Jokowi terlihat lemah dan tidak berwibawa.

Karena itu, ada yang menduga tindakan Gatot ini memiliki ambisi tersendiri untuk pemilihan presiden 2019. Ia mungkin belajar dari seniornya, purnawirawan Jenderal Moeldoko yang ujungnya tidak mendapat apa-apa sejak dinyatakan pensiun pada 2015. Apalagi demonstrasi kekuatan Islam radikal seperti Front Pembela Islam tidak hanya menyasar Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, tapi bisa juga digunakan untuk melemahkan Jokowi pada pemilihan presiden 2019.

Gatot mungkin sadar, meski tindakannya menimbulkan kontroversi, tapi tidak akan berdampak luas berkat upaya Jokowi, Menteri Koordinator Politik Wiranto dan Menteri Keamanan Ryamizard Ryacudu. Pertanyaannya: bagaimana Jokowi bisa menjaga stabilitas politik dan mengawasinya secara ketat setelah semua peristiwa itu?

Jika, ia tidak bisa mengendalikan politik dan militer, maka risiko kekalahan pada pemilihan presiden pada 2019 sangat mungkin terjadi. Setidaknya, Prabowo Subianto, seorang pensiunan jenderal yang menjadi saingannya pada pemilihan presiden 2014 sangat mungkin memenangi pemilihan presiden 2019. [KRG]