OPINI – Bencana banjir yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara dalam beberapa waktu terakhir kembali menyisakan luka mendalam. Ratusan nyawa melayang, ribuan warga kehilangan tempat tinggal, dan kerugian material tak terhitung jumlahnya.
Ironisnya, di tengah besarnya dampak kemanusiaan tersebut, bencana ini kabarnya tidak ditetapkan sebagai bencana nasional. Keputusan itu memunculkan tanda tanya besar, bukan hanya soal empati negara terhadap para korban, tetapi juga tentang keseriusan dalam melihat akar persoalan yang sesungguhnya.
Di balik angka korban dan kerusakan, ada satu hal yang kerap luput dari sorotan utama: hutan yang seharusnya menjadi pelindung justru tampak kewalahan.
Narasi yang berkembang di ruang publik masih berkutat pada faktor alam dan cuaca ekstrem. Hujan deras disebut sebagai biang keladi, seolah bencana datang murni karena kehendak alam. Padahal, penjelasan semacam ini terasa terlalu sederhana untuk tragedi yang berulang dan kian mematikan.
Deforestasi atau penggundulan hutan telah lama menjadi salah satu penyebab utama banjir di berbagai wilayah Indonesia. Deforestasi bukan sekadar berkurangnya pepohonan, melainkan hilangnya tutupan hutan secara permanen.
Lahan yang sebelumnya berfungsi sebagai kawasan resapan air berubah menjadi area pertanian, perkebunan sawit, pertambangan, atau pembangunan infrastruktur. Proses ini kerap dipicu oleh aktivitas manusia, mulai dari penebangan liar, pembakaran hutan, hingga pembukaan lahan atas nama pembangunan dan investasi.
Ketika hutan hilang, fungsi ekologisnya ikut lenyap. Pohon-pohon yang dahulu menahan air hujan dan mengikat tanah tak lagi ada. Air yang turun dari langit tidak sempat meresap ke dalam tanah, melainkan langsung mengalir deras di permukaan. Tanah yang kehilangan pegangan menjadi mudah tergerus dan runtuh. Akibatnya, banjir dan longsor bukan lagi peristiwa luar biasa, melainkan ancaman rutin setiap musim hujan tiba.
Gambaran kerusakan hutan itu nyata dan bisa dilihat secara telanjang. Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan dan Pertambangan (Satgas PKH) mengungkap kondisi memprihatinkan Taman Nasional Tesso Nilo.
Dalam konferensi pers di Gedung Utama Kejaksaan Agung pada Senin (15/12), Ketua Pelaksana Satgas PKH Febrie Adriansyah menyebutkan bahwa dari total luas kawasan sekitar 81 ribu hektare, hutan yang tersisa hanya sekitar 12 ribu hektare. Lebih mengkhawatirkan lagi, hutan primer yang tersisa tinggal sekitar 6.500 hektare.
Febrie, yang juga menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, bahkan memperingatkan bahwa jika kerusakan tersebut tidak segera ditangani, sisa hutan Tesso Nilo diperkirakan akan habis dalam waktu satu hingga dua tahun ke depan. Pernyataan ini bukan sekadar alarm birokrasi, melainkan peringatan serius tentang rapuhnya benteng ekologis yang masih tersisa.
Kehadiran Satgas PKH di kawasan Tesso Nilo diharapkan menjadi langkah mitigasi untuk mencegah bencana serupa seperti yang telah terjadi di Sumatera dan Aceh. Namun, fakta bahwa taman nasional, kawasan yang seharusnya paling dilindungi bisa rusak sedemikian parah, menunjukkan betapa lemahnya pengawasan dan penegakan hukum selama ini. Jika kawasan konservasi saja tak mampu dijaga, bagaimana dengan hutan-hutan lain yang statusnya lebih rentan?
Dampak deforestasi jelas tidak berhenti pada banjir. Ketidakseimbangan alam semakin nyata yang menyebabkan erosi meningkat, keanekaragaman hayati hilang, dan perubahan iklim lokal makin terasa. Bencana yang melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara seharusnya dibaca sebagai sinyal bahaya, bukan sekadar musibah alam. Alam sedang memberi peringatan keras atas kerusakan yang terus dibiarkan.
Sayangnya, kepentingan ekonomi kerap menutup mata nurani. Jika deforestasi terus dilakukan tanpa pertimbangan ekologis dan hanya demi keuntungan bisnis atau praktik penambangan ilegal, hutan Indonesia benar-benar terancam tinggal kenangan.
Bukan tidak mungkin, kawasan yang dahulu hijau akan berubah menjadi penginapan mewah seperti vila. Pohon-pohon berganti beton, sungai menyempit, dan bencana semakin dekat dengan kehidupan manusia.
Namun, menyalahkan pemerintah semata tidak akan pernah cukup. Kerusakan hutan juga lahir dari pembiaran kolektif. Masyarakat yang menutup mata, lembaga yang lalai menjalankan fungsi pengawasan, hingga sistem yang longgar terhadap pelanggaran, semuanya ikut berperan.
Menjaga hutan seharusnya menjadi tugas bersama. Reboisasi, pemeliharaan kawasan hutan, serta kebijakan ketat terhadap setiap aktivitas di kawasan hutan mutlak diperlukan untuk mencegah penebangan ilegal dan eksploitasi berlebihan.
Indonesia pernah dibanggakan sebagai paru-paru dunia. Namun, gelar itu kini terdengar semakin ironis ketika hutan ditebang tanpa kendali. Jika negara dan masyarakat terus menormalisasi kerusakan atas nama pembangunan, maka banjir dan longsor akan terus menagih korban.
Pada akhirnya, yang tersisa bukan hanya duka, tetapi juga penyesalan karena gagal menjaga hutan, sang penjaga terakhir kehidupan.[UN]