Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ketika menjadi juru kampanye dalam Pilpres 2014.

Koran Sulindo – Bagaimana mungkin negara demokrasi tanpa partai politik atau parpol? Parpol memainkan peran yang sangat strategis dalam hubungan pemerintahan dengan warga negara. Tak mengherankan jika ahli ilmu politik dari Columbia University, Elmer Eric Schattschneider, bahkan mengatakan partai politiklah yang menciptakan demokrasi.

Namun, bebeberapa waktu lalu, di negeri ini mencuat wacana de-parpol-isasi ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai gubernur dalam Pilkada 2017 melalui jalur perseorangan. Tidak sampai di situ, kemudian muncul juga hujatan kepada parpol, terutama ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Padahal, PDI Perjuangan punya andil yang besar dalam mengangkat Ahok menjadi tokoh yang dikenal luas secara nasional, terutama ketika disandingkan dengan Joko Widodo alias Jokowi sebagai calon kepala daerah di Jakarta. Bahkan, bisa dikatakan, Ahok dan Jokowi dapat mencapai posisinya yang sekarang karena mendapat “berlian” dari PDI Perjuangan.

Namun, yang menakjubkan, kendati ada yang mencoba mengembuskan angin jelek untuk memojokkan parpol, preferensi pilihan parpol oleh masyarakat-banyak tidak berubah secara siginifikan. Dalam survei yang diselenggarakan Litbang Kompas pada 31 Maret hingga 9 April, elektabilitas PDI Perjuangan justru malah naik tajam. Pada survei rutin tiga bulanan itu, pada pertanyaan “partai apa yang dipilih jika pemilu diselenggarakan hari ini”, jawaban 1.200 responden di 33 provinsi se-Indonesia sebanyak 35,6% memilih PDI Perjuangan. Padahal, partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu hanya memperoleh sekitar 19% popular vote dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 lalu.

Munculnya PDI Perjuangan sebagai parpol dengan elektabilitas yang tinggi dalam survei itu memang mengejutkan—walau dalam survei sebelumnya, Oktober 2015, elektabiltas PDI Perjuangan memang sudah relatif tinggi, 30,9%. Peningkatan elektabilitas PDI Perjuangan dalam survei terakhir tersebut sudah melampaui perolehan suara PDI Perjuangan dalam pemilihan umum pascareformasi 1999, apa kuncinya?

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran persepsi itu terletak pada kenyataan bahwa PDI Perjuangan relatif lebih solid sebagai kekuatan politik dibandingkan dengan parpol lain, yang dilanda konflik internal pasca-Pileg 2009. Soliditas tersebut merupakan buah konsistensi dan konsolidasi ideologis dan organisasi selama sepuluh tahun terakhir. Seperti ditulis dalam buku Gerak Sejarah Partai Banteng (2015) yang diterbitkan DPP PDI Perjuangan, konsolidasi itu terpicu kekalahan partai banteng pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.

“Saya selalu bilang ke teman-teman, ini merupakan cambuk untuk kita. Kita jangan lengah, jangan terbuai, dan jangan bertepuk dada karena apa yang ada ini justru merupakan tugas berat,” kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan, Agustin Teras Narang.

Menurut Teras, PDI Perjuangan sudah menginventarisasi hal-hal apa saja yang mungkin terjadi ke depan. Target PDI Perjuangan adalah berupaya memberikan yang terbaik kepada bangsa dan mempersiapkan kader yang betul-betul paham, yang betul-betul mengerti, yang betul-betul punya naluri.

Teras mencontohkan bagaimana soliditas kader PDI Perjuangan sekarang ini begitu kuat. “Seketika Ibu Megawati bilang A, sampai tingkat yang paling bawah nyata A. Inilah bukti pola koordinasi, pola konsolidasi, dan pola komando kami berjalan. Dengan begitu, keputusan dari ketua umum bisa sampai ke tingkat yang paling bawah,” kata mantan Gubernur Kalimantan Tengah itu.

Diakui Teras, untuk sampai seperti sekarang ada proses yang sangat panjang, selalu berjalan, dan selalu dijaga. “Terus terang saya katakan, ini karena kepemimpinan Megawati Soekarnoputri,” ujarnya.

Yang juga membuat elektabilitas PDI Perjuangan melonjak dalam survei tersebut adalah kemenangan banyak calon kepala daerah yang diusung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2015 lalu, yang melibatkan 264 wilayah. Sekitar 55% atau 160 pasangan calon-calon kepala daerah yang didukung PDI Perjuangan berhasil menang—targetnya 156 pasangan calon. Sebagian besar pasangan kepala daerah terpilih itu adalah kader murni PDI Perjuangan.

“Perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada rakyat Indonesia, terutama yang menggunakan hak pilihnya. Ini pedoman bahwa negara Indonesia mampu dan bisa melaksanakan demokrasi ini di 269 wilayah, minus lima wilayah yang ditunda, secara bersamaan,” kata Teras.

Peran kader-kader PDI Perjuangan di daerah-daerah juga menjadi salah satu kuncinya. Seperti halnya di pusat, kader-kadernya di daerah juga intens melakukan konsolidasi.

Awal Mei 2016 lalu, misalnya, Rapat Kerja Daerah Khusus PDI Perjuangan Kalimantan Timur dihadiri banyak kadernya. Bukan saja pengurus dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan, tapi juga dihadiri kader-kader dari tingkat kelurahan dan rukun warga (pengurus ranting dan anak ranting), yang banyak di antaranya berasal dari wilayah-wilayah terpencil, pelosok, dan pinggir-pinggir hutan. Jumlah pengurus dan kader lain yang hadir hampir 600 orang. Hadir juga Ketua Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan DPP PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira dan politisi senior PDI Perjuangan Emir Moeis.

Mereka rapat dan berdiskusi dengan penuh antusias, mencari solusi atas berbagai persoalan yang ada di tengah masyarakatnya, seperti belum adanya jalan raya dan jalan tol. Juga memilih dan menyeleksi kader-kader yang potensial, sekalipun dari desa terpencil, untuk menjadi pengurus. Sulit membayangkan hal seperti itu terjadi dalam pengorganisasian yang bekerja untuk mengusung calon kepala daerah melalui jalur perseorangan atau independen.

Faktor konsistensi dalam garis perjuangan dan ideologinya juga tak bisa dinafikan memegang peran penting dalam mendongkrak elektabilitas PDI Perjuangan pada survei itu. Sebagai partai dengan perolehan suara terbanyak dalam Pemilu 2014 lalu, yang mendapatkan 109 kursi di DPR, PDI Perjuangan terlihat tidak haus kekuasaan. Bahkan, bisa dikatakan pula, PDI Perjuangan tidak mengambil keuntungan dari kemenangan kadernya yang berhasil didudukkan di kursi kepresidenan. Selain empat kursi menteri, tak ada kader PDI Perjuangan yang menempati posisi sebagai orang nomor satu di BUMN atau menjadi komisaris di BUMN, misalnya.

Sebagai bandingan, Partai Kebangkitan Bangsa yang memperoleh 47 kursi di DPR juga mendapat posisi empat menteri. Partai Nasdem yang mendapatkan 36 kursi di DPR mendapat posisi tiga menteri. Partai Hanura yang mendapatkan 16 kursi di DPR mendapat posisi dua menteri.

Selain itu, beberapa bulan belakangan ini, hubungan PDI Perjuangan juga terlihat tidak terlalu mesra dengan Presiden Joko. Jadi, asumsi yang menyatakan elektabilitas PDI Perjuangan dulu melonjak karena pencalonan Joko sebagai presiden bisa dikatakan hanya sebatas asumsi dan tampaknya perlu direvisi. Tidak ada korelasi yang kuat antara melonjaknya elektabilitas PDI Perjuangan dengan diusungnya Jokowi sebagai calon presiden dulu.

Pandangan yang menilai Jokowi di bawah kekuasaan Megawati juga tampaknya perlu dievaluasi. Karena, fakta di lapangan justru memperlihatkan: Jokowilah yang “menjauh” dari PDI Perjuangan setelah menjadi presiden.

Dari sana bisa dikatakan juga: PDI Perjuangan adalah partai yang unik. Ketika 10 tahun menjadi kekuatan oposisi, partai ini semakin solid. Begitu pula sekarang ini, soliditasnya mengukuh ketika terkesan “ditinggalkan” oleh kadernya yang telah menjadi orang nomor satu di republik ini. Padahal, secara finansial, kondisi keuangan PDI Perjuangan sekarang ini tidak lebih cerah daripada periode 2004-2014.

Akankah PDI Perjuangan menjadi partai oposisi seperti dulu lagi agar semakin dekat dengan wong cilik? Kita tunggu saja.

Yang pasti, kalau diputuskan menjadi oposisi, peristiwa itu bisa menjadi guncangan politik besar, bukan saja bagi pemerintahan sekarang, tapi juga bagi Indonesia secara umum. Karena, konsekuensinya, PDI Perjuangan akan menarik kader-kadernya yang sekarang menjadi menteri di Kabinet Kerja.

Posisi kader-kader PDI Perjuangan di pemerintahan pasti bisa digantikan oleh kader-kader dari parpol lain. Namun, karena parpol lain itu masuk di “tengah jalan”, “ongkos politik” yang harus dikeluarkan pemerintah tentu tidak murah. Padahal, selama ini, seperti telah diungkapkan di atas, PDI Perjuangan relatif “tidak meminta apa-apa” dari pemerintah yang berkuasa sekarang. Jadi?

Jempol untuk Kaderisasi PDI Perjuangan

Survei yang dilakukan Kompas pada 31 Maret hingga 9 April juga memperlihatkan, persepsi publik umum terhadap parpol terlihat masih ambivalen. “Pandangan mereka relatif terbelah, antara yang menganggap citra parpol buruk dengan yang berpandangan sebaliknya. Hal ini mengindikasikan, parpol saat ini masih perlu melakukan reposisi strategis untuk memperoleh kepercayaan publik,” kata Rahardi Wiratama, peneliti senior di LP3ES dan redaktur majalah Prisma.

Dalam survei itu, menjawab pertanyaan “partai apa yang menurut Anda konsisten menjalankan  program sesuai ideologi”, sekali lagi persentase suara responden yang memilih PDI Perjuangan melejit hingga 57%, jauh di atas Partai Gerindra, misalnya, yang hanya memperoleh suara 11,8% atau PKB yang sebesar 21,3%.

PDI Perjuangan juga dinilai sebagai partai yang paling baik kaderisasinya, menurut 63% responden. Lagi-lagi hanya PKB yang mendekati, dengan suara sebanyak 21,3%.

Dalam survei itu, sebanyak 54,6% responden puas terhadap kinerja parpol yang mereka pilih pada Pemilu 2014. Hanya 27,7% yang menyatakan tidak puas. Angka persentase kepuasan kepada parpol ini terbilang besar, mengingat gaung de-parpol-isasi belakangan ini.

Konfigurasi elektabilitas parpol pada survei kali ini menunjukkan kesamaan dengan hasil survei sebelumnya. Kelompok tiga besar parpol masih sama selama enam kali pelaksanaan “Survei Evaluasi Pemerintahan” itu. PDI Perjuangan di tempat pertama, disusul Gerindra dan Golkar.

Dengan berbagai beban sosial dan beban organisasi yang disandang parpol, pada dasarnya tetap ada masa depan bagi parpol. Pandangan mayoritas publik menyatakan parpol tetap merupakan kebutuhan mendasar dalam era demokrasi saat ini. Terlepas dari munculnya kekhawatiran tentang de-parpol-isasi akibat citra yang negatif, parpol tetap dibutuhkan masyarakat. Gambaran kebutuhan terhadap parpol itu juga tercermin dalam survei tersebut: pilihan terhadap parpol merupakan sebuah gejala sosio-psikologis yang cukup kuat.

Dari survei itu terungkap, sebagian besar responden cenderung mengidentifikasi pilihan parpol pada Pemilu 2014 dengan preferensi atau kesukaan subyektif mereka sebagai alasan untuk memilih. Persentasenya mencakup 45% hingga 56% di partai-partai papan atas. Kesukaan kepada partai merupakan bagian dari konsep “party-id”, yaitu kondisi ketika pemilih melihat partai secara keseluruhan sebagai cerminan dirinya atau direlevansikan terhadap pandangan dan kondisinya sendiri.

Penyebab kesukaan ini bisa didasarkan kepada faktor kesamaan etnis, keagamaan, ideologi (nonagama), atau kekuatan figur ketua umum parpol. Adapun identifikasi secara rasional pada program parpol menempati urutan kedua sebagai alasan memilih. [DIS/PUR]