Paradoks Wajah Islam di Tengah Pandemi COVID-19

Ilustrasi/SOPA Images-Sipa USA-Maskur Has

Koran Sulindo – Di tengah hantaman pandemi COVID-19, agama tampil dengan dua wajah yang saling bertolak belakang.

Di satu sisi, karena sifat agama yang tak terpisahkan dari ikatan komunitas dan tindakan berkerumun, di tengah wabah kegiatan keagamaan kerap menjadi medium penularan penyakit. Doktrin teologis yang kaku juga kerap mendorong penganut agama untuk bertabrakan dengan prinsip-prinsip medis. Agama pun menjadi bagian dari masalah.

Kasus Gereja Shincheonji di Korea Selatan; Sinagog Young Israel di New Rochelle, Amerika Serikat (AS); dan Jama’ah Tabligh di India adalah contoh populer bagaimana komunitas agama menjadi pusat penyebaran coronavirus.

Di sisi lain, ketika beragam tekanan mengimpit dari segala penjuru dan kematian datang mengendap-endap amat dekat, agama meringankan beban para pemeluknya. Lewat doktrin, ritual dan dukungan komunitas, agama menyediakan sumber motivasi dan harapan. Ia menjadi bagian dari solusi.

Di tengah wabah ini mayoritas pemimpin, lembaga dan komunitas agama di seluruh dunia mengikuti anjuran dan pedoman medis yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Duni atau WHO dengan menghimbau umat untuk tinggal di rumah dan mempraktekkan social distancing.

Paradoks agama dalam pandemi ini terlihat lebih kompleks oleh jalinan macam-macam faktor: ekonomi, politik, struktur sosial, dan tradisi budaya.

Kompleksitas ini misalnya muncul tegas dalam fenomena mudik lebaran. Pada fenomena Lebaran dan mudik di tengah wabah, agama merupakan bagian dari masalah dan juga solusi.

Paradoks Islam Menjelang Lebaran

Meski akhirnya dilarang, diperkirakan jutaan orang akan tetap nekad mudik lebaran. Kasus COVID-19 pasca lebaran pun diperkirakan naik, terutama di Jawa.

Eksodus jutaan manusia dari ibu kota Jakarta sebagai wilayah paling merah ke berbagai pelosok, berdesakan di tempat dan kendaraan umum, lalu sesampai di rumah melepas rindu bersama keluarga, tetangga dan handai-taulan, belanja di pasar-pasar dan melakukan mobilitas intensif, membuat mudik menjadi peristiwa penyebaran virus yang amat “sempurna”.

Bagi banyak perantau Muslim, bertahan di Jakarta tanpa bekerja, jauh dari keluarga pada saat lebaran sebagai momen agama-budaya terpenting sepanjang tahun memberikan tekanan ekonomi, psikologis, sosiologis, bahkan teologis yang amat berat. Jika momentum setahun sekali untuk menghapus salah, melebur dosa dan silaturrahmi gembira bersama sanak-keluarga sebagai peluang menaruh beban sementara itu tak ada, bagaimana mereka akan memperoleh kekuatan baru untuk menghadapi kerasnya kehidupan ibu kota di hari-hari selanjutnya?

Apalagi dalam masa ketidakpastian seperti sekarang. Itulah sebabnya, meski dilarang, sebagian orang nekad mencuri-curi pulang kampung dan menempuh segala risiko. Bukankah ratusan nyawa juga selalu melayang akibat kecelakaan di jalan ketika mudik?

Orang-orang yang nekat mudik ini mungkin menggunakan keyakinan teologis yang jamak ditemui di berbagai komunitas agama yaitu wabah adalah azab bagi orang kafir dan karenanya kaum beriman selalu dilindungi Tuhan.

Di Indonesia sebagian Muslim sempat percaya bahwa air wudu bisa mencegah coronavirus.

Di sisi lain, dalam ketidakpastian krisis, agama menjadi sumber kekuatan batin dan memberi orientasi makna serta mendorong pengikutnya supaya berikhtiar maksimal menghindari wabah.

Islam, misalnya, mengajarkan bahwa perjuangan menyelamatkan nyawa seperti dilakukan para tenaga medis adalah jihad dan mereka yang meninggal karena wabah dianggap mati syahid, sesuai hadis Nabi.

Selain itu, lembaga, pemuka dan komunitas agama Islam punya peran sangat besar dalam penanggulangan wabah ini. Berkat imbauan efektif Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, dan organisasi Islam lainnya, mayoritas umat Islam tetap beribadah di rumah, termasuk salat tarawih dan Idul Fitri.

Itu adalah bukti keterbukaan agama terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kecilnya persentase pemudik tahun ini mustahil tanpa peran aktif komunitas agama. Banyak aktor, lembaga dan kelompok-kelompok Islam bekerja keras mengumpulkan dana hingga ratusan milyar untuk disumbangkan kepada para korban wabah. Mereka juga giat memobilisasi tenaga medis untuk menolong para pasien COVID-19 di garis depan.

Paradoks dalam Islam ketika Wabah

Dengan mengikuti catatan ahli agama dari AS Michael Dols, kita tahu bahwa dua wajah paradoks umat Islam dalam menghadapi wabah sudah terlihat sejak abad pertengahan.

Mazhab pertama memahami wabah sebagai ketentuan teologis, takdir yang tak bisa ditolak. Umat Islam harus memperbanyak doa, amal, bertobat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Mazhab kedua memahami wabah sebagai kenyataan empiris yang menuntut ikhtiar untuk mengatasinya.

Sambil mendekatkan diri kepada Tuhan, umat Islam wajib melakukan upaya maksimal untuk mencari keselamatan. Dari sinilah lahir sosok seperti Ibnu Sina yang masyhur memiliki keahlian dalam penanggulangan wabah. Meski mazhab ikhtiar terus meraih kemajuan, mazhab takdir tak pernah benar-benar hilang.

Sikap orang Islam hari ini dalam menghadapi wabah tak bisa dipisahkan dari memori kolektif yang mereka warisi dalam bentuk dua pemahaman tersebut.

Wajah yang Lebih Adaptif

Di depan krisis akibat wabah, dua wajah paradoks agama memang muncul lebih tegas. Betapapun, akhirnya versi yang lebih adaptif terhadap perubahan akan memiliki daya tahan lebih besar. Dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang makin menjadi paradigma kehidupan sehari-hari, wajah agama yang lebih adaptif terhadap keduanyalah yang akan diikuti banyak orang. COVID-19 telah memaksa banyak aspek kehidupan berubah secara radikal, termasuk kehidupan beragama.

Sebagai guncangan hebat, krisis ini bisa dilihat sebagai momentum transformasi. Dalam kehidupan beragama, ia bisa menjadi peluang untuk reformasi dan mempromosikan doktrin yang lebih terbuka, membantu berbagai lembaga menjadi responsif dan komunitas yang lebih adaptif terhadap tuntutan alam modern.

Dengan begitu, agama tetap relevan sebagai pedoman moral dan orientasi makna bagi para pemeluknya sehingga mereka pun bisa terus berkontribusi dan memainkan peran sentral di tengah pusaran perubahan zaman yang sering terlihat membingungkan. Terlebih di tengah wabah. [Achmad Munjid, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.