Pemerintah memutuskan mulai 20 Maret 2023, subsidi pembelian kendaraan listrik akan mulai diberlakukan di Indonesia. Subsidi itu akan mengurangi biaya pembelian kendaraan jenis motor listrik dengan nominal Rp 7 juta per unit.

Subsidi tersebut merupakan kebijakan Pemerintah terbaru sejak Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Subsidi telah disiapkan dari tahun 2022.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, subsidi tersebut direncanakan oleh pemerintah untuk mendorong penjualan kendaraan listrik dan memperkuat ekosistem elektrifikasi di Indonesia.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita sudah mengumumkan pemberian subsidi untuk pembelian mobil dan motor listrik. Ada 35.900 mobil listrik dengan nilai subsidi kabarnya hingga Rp80 juta per unit. Serta 200.000 sepeda motor dengan nilai subsidi sebesar Rp7 juta per unit.

“Itu akan berlaku sampai Desember 2023. Sehingga harga jual lebih terjangkau di masyarakat,” kata Agus di Jakarta pada 6 Maret lalu.

Skema Subsidi

Pemberlakuan subsidi ini tidak serta merta bisa berjalan karena ekosistem kendaraan listrik di Indonesia masih belum terbangun menyeluruh. Maka Insentif untuk motor listrik diprioritaskan pemerintah sebab pembelian mobil listrik masih inden sampai 1 tahun.

Subsidi akan diberikan untuk motor listrik baru dan juga motor listrik konversi yang mengubah satu unit sepeda motor listrik di bengkel yang telah ditentukan. Kuota pemberian subsidi ini dibatasi sejumlah 200 ribu unit untuk motor listrik baru dan 50 ribu unit untuk motor listrik konversi. Jumlah tersebut berlaku hanya untuk tahun 2023.

Mengenai pemberian insentif rencananya akan diberikan kepada produsen kendaraan listrik tidak kepada pembeli. Insentif ini pun hanya diberikan untuk motor listrik yang diproduksi di Indonesia dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40 persen.

Hingga kini baru tiga produsen yang memenuhi syarat ini, yakni Gesits, Volta dan Selis. Cara kerja insentif melibatkan para produsen menerima bantuan dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Himbara akan membayarkan penggantian klaim insentif pada produsen.

Adapun Konsumen yang berhak untuk mendapatkan insentif ini adalah pelaku UMKM, penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR), penerima Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM) dan pelanggan listrik 450-900 VA. Insentif diberikan untuk satu kali pembelian setiap satu Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Diperkirakan anggaran khusus untuk insentif motor listrik sekitar 1,75 triliun rupiah. Anggaran untuk insentif disediakan oleh Kementerian Keuangan, meski belum tercantum di Daftar Isian Pelaksanaan (DIPA) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Selain sepeda motor listrik, pemerintah juga mempunyai rencana untuk memberikan bantuan untuk 35.900 unit mobil listrik dan 138 unit bus listrik. Namun rancangan skema subsidi untuk mobil diperkirakan berupa diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menjadi 0 persen dan juga bea masuk mobil listrik yang dijadikan 0 persen.

Mengenai Persyaratan untuk subsidi mobil listrik direncanakan sama dengan motor listrik, TKDN minimal 40 persen. Saat ini baru dua produsen mobil listrik yang memenuhi syarat, yakni Hyundai dan Wuling.

Subsidi dinilai tidak tepat

Rencana pemerintah untuk menggelontorkan dana besar untuk subsidi kendaraan listrik mendapat tanggapan beragam, terutama terkait dukungan pemerintah kepada pengguna kendaraan pribadi dibandingkan dengan fasilitas transportasi umum.

menurut pakar transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Sony Sulaksono Wibowo merupakan langkah tidak tepat. Alih-alih menggerakkan penggunaan transportasi umum, pemerintah justru mendorong masyarakat menggunakan kendaraan pribadi.

Bertolak belakang dengan semangat menghidupkan kembali transportasi umum. Lebih baik, nilai subsidi sebesar Rp1,75 triliun digunakan untuk pembangunan sarana prasarana transportasi massal perkotaan.

“Toh tujuan yang dicapai tetap sama. Kalau masyarakat sudah mau beralih, beban kebutuhan BBM (bahan bakar minyak) pasti berkurang, polusi juga berkurang, bahkan lebih efektif hasilnya kemacetan juga dapat teratasi,” kata Sony sebagaimana dilansir VOI (9/3).

Lagipula, kalau kekhawatirannya terhadap penggunaan BBM yang cukup tinggi dan nilai subsidi BBM yang semakin berat kenapa tidak melanjutkan kembali program bahan bakar gas. Terlebih, Indonesia merupakan produsen gas terbesar dunia.

“Kenapa ujug-ujug ke listrik?” tuturnya.

Pemerintah dihimbau agar lebih mengambil peran dalam infratruktur kendaraan listrik seperti memperbanyak SPKL (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik). Tidak harus menggunakan APBN untuk mensubsidi pembelian kendaraan, seolah pemerintah turut berjualan kendaraan listrik.

“Ini malah diberi keistimewaan, mobil listrik bebas tol, bebas ganjil genap, bebas parkir, dikasih subsidi pula enggak benar itu. Sama saja nyuruh orang pakai kendaraan pribadi,” tambah Sony.

Sony mengakui negara-negara Uni Eropa memang memberikan banyak insentif untuk kendaraan listrik, tetapi infrastruktur negara-negara tersebut sudah siap, sistem transportasi umumnya juga sudah berjalan efektif.

“Kalau Indonesia dibalik. Mendorong dulu kepemilikan kendaraan listrik. Terus transportasi umum nasibnya bagaimana? Jadi kalau mau meniru, lihat juga sejarahnya, jangan ujungnya saja. Belum saatnya seperti ini. Permasalahan yang harus dibenahi kemacetan terlebih dahulu,” ucap Sony.

Selain penggunaan APBN, subsidi dinilai tidak tepat karena kendaraan listrik dianggap tidak memiliki pijakan dalam ekosistem transportasi di Indonesia. Maka dana subsidi lebih bijak dialihkan untuk Selain untuk pembenahan transportasi umum ataupun mobilitas di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal, serta daerah kepulauan. [DES]