Koran Sulindo – Kartini masa kini bergerak di semua bidang, di berbagai matra. Selain di bidang politik, ada juga Kartini yang membangun listrik di daerah-daerah miskin seperti Tri Mumpuni, atau berjuang membangun kesejahteraan warga di daerah seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, atau bahkan ibu kembar 2 Kartini yang memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak jalanan. Nama-nama akan terus berkembang, tantangan akan bertambah dan berubah. Kita pilih dua perempuan perkasa, dengan jangkauan wilayah yang berbeda tapi sama-sama memimpin perlawanan, dan menang.
Yang pertama adalah kisah anak kedua Bung Karno dari pernikahan dengan Fatmawati, yang terlihat tidak berbahaya ketika memasuki kancah politik pada 1986. Pilihan MegawatiSoekarnoputri saat itu sudah sudah pasti Partai Demokrasi Indonesia (PDI), partai fusi di mana Partai Nasional Indonesia (PNI) bentukan bapaknya bergabung.
Ia terpilih menjadi anggota DPR-RI pada Pemilu 1987. Tahun yang sama ia menjadi Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.Ia terlihat hanya diam selama itu di DPR. Namun diam-diam dan pelan-pelan membangun jaringan politik internal yang kuat. Pemerintahan Jenderal Soeharto tampaknya belum menyadari sosoknya. Megawatimelenggang hingga Pemilu 1992.
Perlahan tapi pasti, Megawati menjadi tokoh besar dalam PDI menjelmakan simbol dominasi kekuatan PNI dalam partai bentukan rezim militer yang berkuasa sejak menjatuhkan bapaknya itu.
Orde Soeharto kaget saat Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya pada 1993, yang awalnya direncanakan untuk menurunkan Soeryadi yang dianggap mbalelo malah berubah haluan. Megawati tiba-tiba menyatakan siap memimpin PDI. Dalam pandangan umum kongres itu, hampir seluruh cabang PDI mendukungnya sebagai simbol kebangkitan PDI dan darah biru Soekarno.
Rezim militer lalu mencoba mengintervensi, dengan cara mengulur-ulur waktu Sidang Pemilihan Ketua Umum PDI, hingga izin acara habis.Namun hanya dalam hitungan menit sebelum kongres dinyatakan berakhir, Megawati mengadakan konferensi pers dan menyatakan secara de facto terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Soal legalitas, akan ditentukan dalam Munas yang akan digelar di Jakarta, yang akhirnya memang menetapkannya sebagai Ketua Umum PDI 1993-1998.
Pemerintah yang berkuasa tak diam. Menjelang Pemilu 1997, mereka menggelar Kongres Luar Biasa PDI di Medan dan mengangkat kembali Suryadi sebagai Ketum.
Megawati melawan, bendera ia kibarkan. Kantor pusat PDI di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat yang dikuasainya dipaksa pemerintah untuk dikosongkan. Ia bergeming. Kantor itu direbut dengan kekerasan, tentara menyamar sebagai PDI pro Soeryadi. Banyak yang tewas dan hingga kini masih hilang setelah peristiwa 27 Juli 1996 itu.
Megawati telah membuat sejarahnya, dan dibantu krisis moneter yang mulai melanda tanah air tahun itu, gelombang perlawanan yang dimulai dari kantor PDI itu merambat ke jalanan.
Dalam sejarah Indonesia hingga saat itu Megawati terbukti adalah tokoh yang dapat membuktikan diri bersih dan tahan banting. Ia satu-satunya tokoh dalam panggung politik saat itu yang pernah mengalami pahit-getirnya penindasan Orde Baru. Tragedi 27 Juli 1996 merupakan klimaks nasib buruk yang dialami Megawati dan orang-orang yang setia mendukungnya. Dan Megawati melawan. Ia kemudian juga menjadi simbol perlawanan rakyat.
Anak kandung Bung Karno itu menjadi simbol perlawanan.
PDI pro-Megawati akhirnya berubah nama menjadi PDI Perjuangan (PDIP) dan meraih 33 persen suara pada Pemilu 1999, jauh lebih besar dari suara yang diraih PNI pada Pemilu 1955. Pemilu 1999 adalah buah perjuangan dan kesabaran Megawati melawan rezim yang menumbangkan bapak kandungnya. Pemilu itu juga kembali melahirkan kaum nasionalis dalam perpolitikan Indonesia.
Hampir 20 tahun kemudian, Megawati masih berdiri kukuh di perpolitikan Indonesia. Ia berhasil mempertahankan kepemimpinannya dalam beberapa tahun terakhir, setelah menyelesaikan ketegangan hubungan dengan kadernya yang kini menjadi Presiden RI, Joko Widodo.
Majalah Globe Asia menempatkan Ketua Umum PDI Perjuangan itu di urutan pertama wanita paling berpengaruh di Indonesia pada 2017 lalu. Megawati dinilai mampu mempertahankan kepemimpinannya yang kuat dalam jiwa nasionalisme, memiliki kecakapan dalam mempertahankan keragaman Indonesia dalam bidang suku, ras, agama, dan kepercayaan di nusantara.
Tahun lalu, Megawati juga menempati urutan pertama, “99 Most Powerful Women 2016” versi majalah itu.
Megawati dinilai majalah itu konsisten mempertahankan Pancasila sebagai benteng menghadapi tantangan dari organisasi keagamaan garis keras. Ia juga berkeras hati mempertahankan cara hidup sesuai dengan prinsip yang ditetapkan oleh ayahnya, Soekarno.
Di dalam internal partai PDIP, Megawati masih tetap menjadi penentu dalam debat apapun, dan hingga saat ini, belum ada fungsionaris partai yang siap mengambil posisi tanpa dukungannya.
Pejuang dari Timur Indonesia
Pada 1999, Aleta Baunmasuk Daftar Pencarian Orang (DPO) KepolisianTimor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. Wanita dari Mollo itu berada di balik penolakan masyarakat adat setempat pada perusahaan tambang marmer di Desa Fatukoto. Hingga 2006 ia terus bermusuhan dengan penguasa lokal setempat. Bersama beberapa perempuan, tahun itu mereka menduduki tambang marmer di Desa Fatumnasi dan Kuanoel, selama 2 bulan. Mereka menuntut penghentian tambang marmer milik pengusaha Jakarta.
Bahkan walau Orde Jenderal Soeharto sudah tumbang, di banyak daerah terpencil raja-raja kecil bertumbuhan dan meniru gaya berkuasanya. Aleta sudah biasa menghdapai kekerasan dan intimidasi dari preman bayaran atau berseragam. Suatu kali ia terpaksa membawa bayinya yang baru 2 bulan bersembunyi di hutan.
Aleta lahir dari keluarga petani di kaki Gunung Mutis, Timor, NTT dan kehilangan ibunya di usia muda, lalu dibesarkan perempuan lain di sukunya. Lama-lama kelihatan Aleta lahir sebagai pemimpin.
Suku Mollo berabad-abad bertahan hidup dari keanekaragaman hayati di Gunung Mutis yang disakralkan. Mereka mengumpulkan makanan dan obat-obatan dari hutan, menanam di tanah subur dan menenun baju dari serat alami.
“Asal muasal leluhur kami akan hilang ketika gunung batu dihancurkan, hutan dan sumber air rusak. Perempuan, seorang ibu seperti saya, adalah yang paling menderita. Kami yang bertanggung jawab menyediakan air dan makanan untuk keluarga,” kata Aleta.
Mengapa menenun? Sejak kecil ia diajarkan ibunya menenun, juga soal tentang kekayaan alam, adat dan tanggung jawab perempuan.
“Perempuan bertanggung jawab menjaga identitas orang timur dan alam, karena mereka yang menenun. Sementara dengan laki-lakinya, kami berbagi peran saat berjuang. Mereka urus rumah, anak, bergantian.”
Sejak Indonesia memasuki reformasi hingga 2012 lalu, Mama Aleta dan warga berjuang menutup tambang marmer. Mereka berikrar tidak lagi membiarkan pembangunan dan ekonomi yang merusak alam.
Ia lalu memperlihatkan segenggam batu.
“Alam itu seperti tubuh manusia. Batu itu tulang, air itu darah, tanah itu daging dan hutan itu kulit, paru-paru dan rambut. Jadi merusak alam sama dengan merusak tubuh kita sendiri.”
Identitas orang Molloidentik dengan gunung batu.
Pada 2013, Aleta menerima penghargaan lingkungan Goldman Environment Award 2013. Ia menerima penghargaan itu di San Fransisco Amerika Serikat pada bulan April.
Perjuangan Aleta yang dimulai sejak 20 tahunan lalu di Gunung Batu Anjaf dan Nausus mungkin kecil kalau dibandingkan skala Indonesia yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Namun ia berhasil mempertahankansumber pangan, identitas, dan budaya Suku Mollo.
Pada 11 Maret 2017 ia meluncurkan Mama Aleta Fund, berawal dari hadiah dengan nominal uang besar yang ia titipkan ke Samdhana Institute,
“Perempuan yang paling mengalami kesulitan saat musim tak menentu akibat perubahan iklim,” katanya. Perempuan yang mengurus pangan keluarga dan masyarakat, perempuan mengakses yang sumber pangan dari alam, dan perempuan lebih dekat dengan alam.
Perempuan yang mampu berdiri menjulang di wilayah timur Indonesia yang lingkungan alamnya kering, panas, curah hujan minim, dan tak banyak tanaman yang bisa tumbuh. Kemiskinan adalah persoalan sehari-hari, sehingga tak sedikit perempuan dari situ keluar daerah atau ke luar negeri, mengadu nasib dengan tenaganya sebagai satu-satunya sumber daya.
Aleta Baun harus meninggalkan keluarga, bergerilya kala malam hari, dan kenyang intimidasi dan kekerasan, hingga akhirnya berhasil menutup tambang marmer setelah lebih 13 tahun berjuang.
“Kami mengenal fautkanaf, haukanaf dan oekanaf atau batu nama, kayu nama dan air nama. Adat kami akan hilang ketika gunung batu dihancurkan, hutan dan sumber air dirusak.”
Setelah itu suku Mollo membentuk kelompok perempuan penenun dan pertanian organik, keompok ternak, menghijaukan daerah sekitar sumber air dengan tanaman asli, membangun lumbung pangan, dan memperbanyak pewarna alami untuk tenun. Namun perjuangan mereka tak akan pernah selesai.[Didit Sidarta]