Para Pendekar Pers dari Sumatra

Soetan Maharadja/http://balailamo.blogspot.co.id

Dunia pers pribumi Hindia-Belanda di awal abad 20 heboh. Dua pendekar pers dari Sumatra, Datuk Sutan Maharadja dan Dja Endar Moeda, berseteru hebat. Lewat editorial dan berita di suratkabar milik mereka—Datuk Sutan Maharadja lewat korannya Tjahaja Soematra dan Dja Endar Moeda melalui Pertja Barat—kedua tokoh itu saling tuduh dan berupaya merusak popularitas koran lawannya.

Polemik itu, seperti dicatat Ahmat Adam dalam kitab Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan (2003), berlangsung berbulan-bulan. Dan itu membuat pembaca koran-koran itu jengah. Seorang pembaca menulis di Pertja Barat mengingatkan percekcokan—yang terutama dikarenakan persaingan merebut pasar pembaca– itu hanya akan menghancurkan citra orang pribumi di mata bangsa lain.

Tapi, perseteruan panjang tersebut tidak lantas menafikan arti penting kedua tokoh pers tersebut. Keduanya tetap tercatat sebagai pendekar pers terkemuka dari Sumatra, yang namanya termasyhur hingga ke seantero Hindia-Belanda.

Datoek Soetan Maharadja lahir di Sulit Air, Solok, Sumatra Barat, 27 November 1862, dengan nama Mahjoedin. Ia menjalani pendidikan dasar di Padang. Ia kemudian berkarir sebagai jaksa, selain aktif di berbagai kegiatan sosial kalangan elit di Padang. Ia, misalnya, pernah menjadi Medan Perdamaian, semacam klub sosial, dan anggota Kongsi Anak-Anak Radja. Ketika bertugas sebagai jaksa di Pariaman, ia mendirikan Medan Karemean, semacam klub sosial yang menyediakan surat kabar berkala kepada anggotanya.

Pada tahun 1892, Soetan Maharadja memutuskan berhenti sebagai jaksa, dan bekerja penuh waktu sebagai jurnalis. Ia lantas menjadi editor di sebuah koran terbitan Padang, Palita Ketjil yang beberapa tahun kemudian berganti nama menjadi Warta Berita.

Sepanjang 1901-1904, ia bekerja sebagai koresponden Bintang Hindia—suratkabar berbahasa Melayu yang terbit di Belanda—dan Insulinde. Pada tahun 1904-1910, Soetan Maharadja tercatat sebagai editor Tjahaja Sumatra, koran milik orang Eropa. Meski dituduh sebagai “kaki tangan gubernemen”, ia juga terkenal dan dihargai sebagai “seorang dengan integritas tinggi dan berkaliber di dunia jurnalisme Melayu”.

Di tahun-tahun inilah masa puncak kejayaan Datuk Soetan Maharadja. Tulisan-tulisanya di Tjahaja Sumatra tidak hanya mencerminkan hasratnya agar orang Sumatra mengejar kemajuan, tetapi ketetapan hatinya untuk meyakinkan penduduk Minangkabau akan gagasannya mengenai model modernisasi yang harus mereka pilih. Seraya menganjurkan pendidikan Barat untuk penduduk pribumi, ia menolak penyerapan total budaya dan tata krama Barat (Adam 2003, hal. 227).

Tak puas bekerja di suratkabar milik orang Belanda, di tahun 1911 Datuk Soetan Maharadja memutuskan menerbitkan korannya sendiri:  Oetoesan Melajoe. Dalam surat kabar tersebut tertera : “Achbar ini ditjitak pada pertjitakan orang Minangkabau.” Melalui kalimat ini, ia ingin menunjukkan kemampuan kaum Minangkabau dalam menguasai usaha surat kabar dan percetakan, yang ketika itu banyak dijalankan oleh orang-orang Belanda.

Tak lama setelah terbit, Oetoesan Melajoe segera terlibat polemik dengan Al Moenir, koran yang diterbitkan kaum ulama pembaharu. Oetoesan Melajoe menjadi corong kaum adat Minangkabau. Sebagai “penghulu” kaum adat—yang ayahnya menjadi korban kaum Paderi– Datuk Soetan Maharadja menyerang para pengasuh Al Moenir dengan sengit. Ia, misalnya, menyebut kaum ulama tersebut sebagai pengikut Wahabi atau Paderi.

Sebaliknya, Al Moenir menyebut kaum fanatikus adat—seperti Datuk Soetan Maharadja—sebagai musuh Islam yang harus dilawan. Garis redaksional Al Moenir, yang dipimpin Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah — adalah religius radikal. Koran ini memuat tulisan tentang berbagai topik yang sampai saat itu dianggap tabu oleh kaum adat dan kaum tua ulama.

Demikian kerasnya perdebatan antara Datuk Soetan Maharadja dengan Al Moenir, suratkabar lain di Padang menyebutkan bahwa debat tak berkesudahan seperti itu malah akan berakibat buruk bagi masyarakat. Tapi, Datuk Soetan Maharadja tak mengindahkan peringatan itu. Bahkan, ia kemudian menerbitkan lagi Soeloeh Melajoe dan dwimingguan Soeara Melajoe untuk memperkuat barisan melawan Al Moenir. Melalui kedua koran ini, terutama Soeara Melajoe, kaum ulama tua—yang dipimpin Syech Chatib Ali, yang sempat dicap murtad oleh para ulama reformis– menyangkal pendapat para pengasuh Al Moenir.

Di tengah perdebatan sengit yang berlangsung sepanjang tahun 1911-1912, Datuk Soetan Maharadja menerbitkan Soenting Melajoe, yang dimaksudkan sebagai media untuk meningkatkan peran kaum perempuan Minangkabau di tengah masyarakat. Salah seorang anggota dewan redaksi Soenting Melajoe yang terkemuka tak lain Rohana Kudus—kakak Soetan Sjahrir, Perdana Menteri RI di masa kemerdekaan.

Dja Endar Moeda

Pendekar pers yang satu lagi, Dja Endar Moeda alias Haji Mohamad Saleh, lahir di Padang Sidempuan, Tapanuli, tahun 1861. Setelah tamat sekolah guru (Kweekschool) di Padang Sidempoean di tahun 1884, Dja Endar Moeda diangkat pemerintah Hindia-Belanda sebagai guru di Air Bangis sebagai guru bantu. Kemudian ia dipromosikan sebagai kepala sekolah di Batahan, Natal, tahun 1886. Karena cukup mahir menulis dalam bahasa Belanda, ia ditunjuk menjadi editor-koresponden majalah Soeloeh Pengadjar yang terbit di Probolinggo.

Dalam perjalanan pulang dari menunaikan ibadah haji di tahun 1893, Dja Endar Moeda memutuskan tinggal di Padang. Ia kemudian menerima tawaran pekerjaan sebagai editor di surat kabar Pertja Barat, yang didirikan seorang pengusaha cum jurnalis Tionghoa, Lie Bian Goen, di tahun 1894. Pada 1900, tatkala Insulinde diterbitkan, Dja Endar Moeda ditunjuk sebagai pemimpin redaksi.

Di bawah kepemimpinannya, Pertja Barat menjadi koran yang disegani dan berkembang pesat. Dja Endar Moeda dikenal sebagai redaktur yang berani. Tulisan-tulisannya yang kritis sekaligus tulus terhadap para pejabat pemerintah Hindia-Belanda membuat ia disegani para jurnalis Belanda sekalipun.

Tak hanya sebagai jurnalis, Dja Endar Moeda juga berbakat sebagai pengusaha media. Pada 1905, ia membeli percetakan Insulinde, yang menjadikannya pribumi pertama di Sumatra yang memiliki percetakan. Tak lama kemudian, ia dikenal luas sebagai “Raja Surat Kabar Sumatra” di masa itu.

Ia mendirikan dan menjadi pemilik sejumlah surat kabar yang terbit di Padang, Sibolga, Medan, sampai Aceh. Surat-kabar terkenal di masa itu yang dipimpinnya, antara lain: Tapian Na Oeli (terbit di Sibolga), Pertja Barat (terbit di Padang), Pewarta Deli (terbit di Medan), dan Pemberita Atjeh. Gagasan utama Dja Endar Moeda adalah meningkatkan peran kaum terpelajar dalam memajukan bangsa Indonesia melalui sekolah dan pers.

Pewarta Deli mulai terbit tahun 1910. Dja Endar Moeda tampil sebagai pemimpin redaksinya saat awal terbit. Ia bekerjasama dengan beberapa pedagang yang berasal dari Tanah Batak, dengan mendirikan Sjarikat Tapanuli yang menjadi penerbit Pewarta Deli. Tapi, tak lama kemudian, ia berselisih paham dengan para pemegang saham Sjarikat Tapanuli, dan memutuskan hengkang dari Pewarta Deli. Sepeninggal Dja Endar Moeda, Pewarta Deli berhasil berkembang pesat menjadi suratkabar terkemuka—terutama di masa kepemimpinan Adinegoro (1932-1942)– yang peredarannya mencapai seluruh Sumatra, Jawa, beberapa daerah di Sulawesi dan Kalimantan, bahkan di luar Hindia-Belanda.

Dja Endar Moeda sendiri tak berhenti mendirikan suratkabar. Ia, misalnya, menerbitkan Pemberita Atjeh dan Bintang Atjeh di Kutaraja, meski kurang sukses. Di Padang, ia mendirikan beberapa surat kabar lain. Ia juga masih ikut menangani Pertja Barat, yang merupakan salah satu koran paling berpengaruh di Padang dan Sumatra Barat. Koran ini tak hanya terkenal di Padang, bahkan sampai ke Jawa sekalipun.

Oplahnya relatif  besar untuk ukuran masa itu, mencapai 1.000 eksemplar. Iklannya juga berlimpah: dua dari empat halaman Pertja Barat, penuh berisi iklan. Di koran ini, ia dibantu adik kandungnya yang juga jurnalis andal: Dja Endar Bongsoe. Karena persaingan pasar yang ketat di Padang, sikap Pertja Barat terhadap koran lainnya kadang tidak bersahabat. Tapi, itu tak mengurangi misi utama Dja Endar Moeda untuk memajukan kesadaran anak negeri terhadap kemajuan dan kebangsaan Indonesia.

Mangaradja Salambuwe

Jika di Padang terbit Pertja Barat, maka di Medan pada 1902 terbit suratkabar Pertja Timoer. Pemimpin redaksi suratkabar berbahasa Melayu pertama di Medan ini adalah Mangaradja Salambuwe. Tokoh ini juga berasal dari Angkola Jae, tak jauh dari Padangsidempuan. Ia lulusan Kweekschool Tanobato, sekolah yang dirintis Willem Iskander.

Mangaradja Salambuwe, seperti dicatat Muhammad TWH dalam buku Sejarah Perjuangan Pers di Sumatra Utara, dikenal sebagai tokoh yang tidak mengenal rasa rendah diri. Dibawah kepemimpinannya, Pertja Timoer, milik seorang Belanda bernama J.Hallerman, tampil dengan pemberitaan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Hindia-Belanda, juga terhadap Kesultanan Deli.

Suatu kali, di awal abad 20 itu, Sultan Deli Maimun Al Rasyid—yang memiliki kekayaan berlimpah karena investasi modal asing besar-besaran di wilayahnya—membangun gedung pengadilan atau mahkamah yang megah. Letak gedung mahkamah itu tak jauh dari Istana Sultan Deli. Diatap gedung mahkamah itu dibuat patung neraca sebagai lambang keadilan. Tapi, ternyata patung neraca itu terlihat berat sebelah alias miring.

Nah, neraca miring itupun segera menjadi bahan kritikan Mangaradja Salambuwe. Dalam salah satu tulisannya di Pertja Timoer menyinggung soal kemiringan neraca itu sambil mengemukakan kesangsiannya tentang penegakan keadilan terhadap perkara-perkara yang disidangkan di gedung mahkamah tersebut.

Demi membaca kritikan itu, Sultan Maimun Al Rasyid marah besar. Hanya saja, sang sultan tak berani secara terbuka menentang Salambuwe, karena paham betul bahwa yang dihadapinya adalah seorang “pendekar pena” yang disegani di Kota Medan.

Maka, Sultan Maimun pun mendatangi kantor redaksi Pertja Timoer dengan maksud agar tulisan yang kritis itu dicabut. Tapi, tentu saja Salambuwe tak mau menanggapi permintaan itu. Malah, ia meminta Sultan Maimun agar membenahi patung neraca yang miring itu. Singkat kata, tak dicapai kata sepakat. Sultan Maimun yang merasa dipermalukan di depan publik, akhirnya memutuskan merubuhkan gedung mahkamah nan megah tersebut.

Di lain waktu, Mangaradja Salambuwe melontarkan kritik terhadap pemerintah Belanda. Ceritanya, saat terjadi kerusuhan di Padang, Salemba menulis peristiwa itu dengan gaya satire. Ia menulis bahwa akibat kerusuhan itu akan didatangkan pasukan yang besar ke Padang. Akibatnya, kata Salambuwe dengan nada berolok-olok, kedatangan pasukan dalam jumlah besar akan membuat pasaran menjadi ramai, dan harga ayam pun akan menjadi mahal.

Satire itu membuat pemerintah Hindia-Belanda tersengat. Residen Belanda pun memanggil Salambuwe untuk menegurnya. Tapi, sang jurnalis menjawab bahwa tulisannya itu tak berdosa apa-apa. Dan memang pemerintah pun tak bisa mengenakan pasal hukum terhadap tulisan tersebut.

Mangaradja Ihutan

Sepeninggal Dja Endar Moeda, sejak tahun 1923 Pewarta Deli dipimpin oleh Mohammad Djamil gelar Mangaradja Ihutan selama tujuh tahun lebih. Tokoh ini kelahiran Kampung Sabadolok, Kotanopan, Tapanuli Selatan, tahun 1895. Sebagaimana kaum jurnalis di masa itu, Mangaradja Ihutan adalah wartawan alam alias otodidak.

Karir jurnalistik awalnya tidak tercatat dengan jelas. Tapi, integritas dan keandalannya sebagai jurnalis tentunya sudah diakui masyarakat. Itulah sebabnya ia ditunjuk para pemegang saham Sjarikat Tapanuli sebagai pemimpin redaksi Pewarta Deli di tahun 1923. Dibawah kepemimpinannya Pewarta Deli tampil kritis terhadap pemerintah Belanda. Akibatnya, Mangaradja Ihutan menjadi langganan persdelict, dan berkali-kali masuk penjara karena hal itu. Salah satunya ia pernah dihukum 3 bulan penjara karena dianggap menghina pejabat Hindia Belanda dalam salah satu tulisannya di Pewarta Deli.

Di tahun 1930, tanpa alasan yang jelas, Mangaradja Ihutan mengundurkan diri dari Pewarta Deli. Ia lalu mendirikan korannya sendiri yang diberi nama Sinar Deli. Selama 12 tahun kemudian, hingga pasukan pendudukan Jepang datang ke Indonesia, Mangaradja Ihutan memimpin Sinar Deli, dan seakan identik dengannya. Koran ini cukup berhasil menjadi pesaing Pewarta Deli.

Kebenciannya kepada kaum penjajah sangatlah besar. Itulah sebabnya, di masa perang kemerdekaan, Mangaradja Ihutan langsung turun ke gelanggang pertempuran dengan memimpin pasukan melawan pasukan Belanda yang berniat menjajah kembali Indonesia. Ia tercatat sebagai Ketua Volksfront atau Persatuan Perjuangan di Medan Timur, dengan tugas membentuk pasukan perjuangan rakyat di sekitar Medan Area. [Satyadarma]

* Tulisan ini pertama di muat pada 11 Oktober 2017