Koran Sulindo – Menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada tahun ini, kita diingatkan kembali bagaimana rakyat menyambut gembira dengan gegap gempita ketika proklamasi kemerdekaan berkumandang pada 17 Agustus 1945. Hanya berjarak satu jam, seorang wartawan Kantor Berita Domei bernama Syahrudin membawa teks proklamasi kemerdekaan itu untuk diberitakan.
Teks tersebut tiba di kantor berita itu, lalu disiarkan sebanyak tiga kali secara berturut-turut. Teks proklamasi tersebut juga disebarkan melalui radio, pers, dan surat-surat selebaran. Slogan dan semboyan perjuangan “Indonesia Merdeka” ditempelkan dan dicatatkan pada dinding-dinding dan tembok-tembok. Pekik perjuangan “Merdeka” mulai diberlakukan sejak 1 September 1945.
Di samping itu, semboyan “Sekali Merdeka Tetap Merdeka” dan “Merdeka atau Mati” mulai populer. Fakta-fakta itu menunjukkan tekad rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan sekalipun nyawa menjadi taruhannya. Untuk menyatakan tekad rakyat itu, para pemuda yang tergabung dalam Angkatan Pemuda Indonesia (API) bermarkas di Menteng 31 mulai merencanakan memobilisasi massa dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada.
Kendati telah menyatakan kemerdekaan, faktanya pada waktu itu kekuasaan politik masih dipegang Jepang dengan segala perangkat dan persenjataannya. Walau pada waktu itu moral prajurit Jepang sudah mendekati kelumpuhan. Kesempatan tersebut sesungguhnya telah ditunggu sejak lama oleh para pemimpin gerakan kemerdekaan. Akan tetapi, pemerintahan RI yang telah terbentuk pada waktu itu tak bisa bergerak secara konkret untuk mengambil kekuasaan dari Jepang.
Walau demikian, pemerintahan resmi membentuk Kabinet I RI pada 5 September 1945. Presiden Soekarno bahkan menggelar konferensi pers di rumahnya di kawasan Pegangsaan (baca: Proklamasi). Ada banyak orang hadir waktu itu. Selain para undangan, juga para wartawan lokal dan luar negeri.
Walau pemerintahan telah terbentuk, para pemuda merasa keberadaan Jepang yang masih berkuasa secara de facto amat mengganggu. Karena itu, mereka merencanakan memobilisasi massa rakyat untuk menunjukkan kekuatan sebagai rakyat yang telah merdeka. API lalu dibentuk pada 1 September 1945. Para pimpinan pemuda itu adalah Wikana, Chairul Saleh dan Darwis. Para anggotanya adalah DN Aidit, Parjono, AM Hanafi, Kusnandar, Joharnur dan Chalid Rosyidi. Lalu mengikuti pembentukan Barisan Rakyat (Bara, terutama dari kaum tani) di bawah pimpinan Maruto Nitimiharjo, MH Lukman, Suko, Sidik Kertapati; sedang Barisan Buruh Indonesia (BBI) di bawah pimpinan Nyono dan Pandu Kartowiguno. Semua organisasi ini berada di bawah Komite Aksi Menteng 31.
Mengutip tulisan Harsutejo berjudul Rapat Samudra Indonesia Merdeka¸ Komite mengumumkan sebuah manifesto yang berbunyi:
Negara Republik Indonesia lahir pada 17 Agustus 1945, kini rakyat telah bebas dari kekuasaan asing.
Seluruh kekuasaan harus berada di tangan negara dan rakyat Indonesia.
Jepang telah kalah dan tidak berhak memerintah lagi di wilayah Indonesia.
Rakyat Indonesia harus merebut senjata dari tangan Jepang.
Semua perusahaan (kantor, gudang, pabrik dll) harus direbut dari Jepang untuk dikuasai oleh bangsa Indonesia.
Setelah manifesto diumumkan, API kereta api bersama kaum buruh mengambil alih Stasiun Manggarai dan Jatinegara serta menyatakan kereta api sebagai milik RI. Lalu, pada 4 September, kaum buruh trem Jakarta mengikuti jejak buruh kereta api. Besok harinya stasiun radio Jakarta direbut dari Jepang sekaligus mengusir mereka dari sana dan pada 11 September seluruh stasiun radio di Jakarta berhasil dikuasai rakyat.
Di berbagai daerah seperti Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang dan lain-lain, dengan inisiatif mereka sendiri, berbagai kelompok pemuda mempelopori perebutan senjata, instalasi, dan aset-aset penting negara dan rakyat dari Jepang. Walau pemimpin tua merasa khawatir terhadap penguasa Jepang, tetapi rakyat Surabaya telah menunjukkan semangat kemerdekaannya secara konkret dengan mengadakan rapat raksasa yang dimotori para pemuda pada 11 September dan 17 September 1945.
Soal perbedaan sikap pemimpin tua dan muda ini sudah terlihat sejak awal ketika hendak memutuskan untuk memproklamasikan kemerdekaan. Di bulan Agustus 1945, kekuatan fasisme Jepang sudah berada di tubir kehancuran. Bahkan, mahasiswa-mahasiswa di Ika Daigaku atau sekolah kedokteran pada masa Jepang mulai mendengar kabar kekalahan Jepang dari kaum pekerja Indonesia di radio militer Jepang pada 11 dan 12 Agustus 1945.
Berselang dua hari, berita kekalahan Jepang sudah mulai tersiar luas. Sehari kemudian dari 14 Agustus 1945, dibuatlah pertemuan yang diinisiasi Aidit di Badan Perwakilan Pelajar Indonesia, Cikini 71. Setelah pertemuan itu Aidit menghubungi Wikana untuk menghadiri pertemuan lebih besar di belakang Institut Bakteriologi Pegangsaan.
Bertemu Bung Karno
Selain Wikana, dalam pertemuan itu juga hadir Chaerul Saleh, Aidit, Djohar Nur, Pardjono, Armansjah, Subadio, Suroto Kunto, Sudewo, dan lain-lain. Pertemuan inilah yang melahirkan keputusan untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Keputusannya: Wikana, Aidit, Subadio dan Suroto Kunto diutus untuk menemui Bung Karno. Sebagai juru bicara utusan, Wikana mengatakan kepada Bung Karno agar memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus 1945.
Permintaan itu tak serta merta dijawab Bung Karno. Ia meminta waktu untuk merundingkan hal tersebut dengan pimpinan lainnya termasuk Bung Hatta. Sayangnya, permintaan para pemuda tak bersambut. Kelompok tua yang diwakili Bung Hatta mengatakan, pihaknya tidak bisa melangkahi Jepang. Para pemuda kecewa bukan kepalang. Wikana dan kawan-kawan pulang tanpa hasil. Hasil pertemuan itu lalu disampaikan kepada para pemuda yang bermarkas di Cikini 71.
Para pemuda segera membuat pertemuan lebih besar. Mereka sepakat agar proklamasi kemerdekaan harus tetap dilakukan. Bahkan jika itu tanpa pimpinan kaum tua. Proklamasi akan dilakukan atas nama “Rakyat Indonesia”. Akan tetapi, untuk mencegah reaksi Jepang, para pemuda “menculik” Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat yang merupakan basis perjuangan anti-fasis. Tindakan pemuda ini kemudian dikenal sebagai “Peristiwa Rengasdengklok”. Di lokasi ini pula para pemuda menemukan kesepakatan dengan Bung Karno serta Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan RI.
Menurut Harsutejo, tindakan rakyat yang dipelopori pemuda itu merupakan hakikat cara konkret mengisi kemerdekaan. Dengan dipelopori para pemuda juga, maka pada 18 September Komite Nasional Indonesia (KNI) Jakarta di bawa pimpinan Suwiryo mengumumkan akan diadakan rapat samudera di lapanga Ikada (baca: Monas) pada 19 September 1945. Lagi-lagi rencana rapat raksasa itu mendapat tentangan dari golongan tua. Bung Karno dan Bung Hatta berpendapat rencana tersebut harus dibeitahukan kepada Angkatan Perang Jepang.
Tentu saja alasan demikian ditolak oleh para pemuda. Apalagi mereka menegaskan Indonesia merupakan negara yang sudah merdeka. Dan rencana itu sudah pula disebar dan diumumkan kepada massa rakyat untuk hadir di lapangan Ikada. Besok harinya, tepatnya pada 19 September 1945 mulai pukul 10 pagi, kabinet Soekarno mengadakan rapat kabinet. Rapat itu dipimpin langsung oleh Bung Karno. Ada banyak hal yang dibicarakan dalam rapat tersebut antara lain pembentukan Bank Negara Indonesia (BNI).
Akan tetapi, ada satu agenda yang paling penting untuk dibicarakan yakni rapat raksasa yang sedang berlangsung di lapangan Ikada. Sebuah rapat yang diprakarsai para pemuda dan mahasiswa. Awalnya rapat raksasa ini dimaksdukan untuk memperingati sebulan proklamasi kemerdekaan RI. Namun, pemerintah RI tampaknya tidak tegas untuk menyelenggarakan peringatan tersebut karena masih “khawatir” terhadap militer Jepang.
Sikap pemerintah yang peragu itu membuat rakyat yang dipelopori pemuda bertekad mengadakan rapat raksasa sebagai bentuk tanggung jawab rakyat mempertahankan kemerdekaan. Juga sebagai alat kampanye kepada dunia: RI telah merdeka dan mendapat dukungan penuh dari rakyat. Diperkirakan jumlah massa rakyat yang hadir di lapangan Ikada mencapai 200 ribu orang.
Sidik Kertapati salah satu pimpinan pemuda yang ikut memobilisasi massa rakyat dalam bukunya Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945 menceritakan latar belakang, tujuan, dan proses pengorganisasian rapat akbar itu. Pada awal September 1945, tujuh orang tentara sekutu mendarat dengan parasut di lapangan Kemayoran. Mereka mendapat tugas untuk melaporkan keadaan Indonesia selepas kekalahan Jepang.
Sepekan kemudian, kapal perang sekutu juga merapat ke pelabuhan Tanjung Priok. Dalam kapal itu juga ikut bekas gubernur jenderal kolonial di Jawa Timur, Van Der Plas. Tentu saja semua peristiwa ini menjadi perhatian rakyat Indonesia yang baru saja merasakan kemerdekaan. Rasa waswas pun muncul bahwa Belanda melalui sekutu ingin kembali menjajah Republik.
Gelagat inilah yang dibaca para pemuda. Berbagai pertemuan digelar. Hasilnya mereka sepakat memobilisasi massa rakyat pada 19 September di lapangan Ikada. Itu menunjukkan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan. Rapat umum raksasa itu disebut juga akan dihadiri Bung Karno. Jepang mencium rencana para pemuda. Secara sepihak aparat militer Jepang melarang rapat akbar itu. Para pemuda bergeming. Rencana mobilisasi massa rakyat tetap berlanjut.
Rapat Akbar
Lalu, pada pagi 19 September itu massa rakyat dari berbagai daerah mulai tampak memadati lapangan Ikada. Sidik Kertapati bercerita, sejak hari itu berpuluh-puluh gerbong kereta api datang dari jurusan Cikampek, Bogor, Tangerang dan lain-lain mengangkut massa rakyat ke lapangan Ikada. Malahan ada yang datang dari Cirebon, Tegal, Banten, Bandung dan beberapa malam sebelumnya menginap di Menteng 31.

Kendati massa yang berkumpul di lapangan Ikada sudah menyemut, para pimpinan Republik belum juga menampakkan batang hidungnya. Untuk memompa semangat rakyat, Aidit bersama Suryo Sumanto dan juga Sidik Kertapati naik ke atas mimbar dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti Darah Rakjat, Padamu Negeri, Madju Tak Gentar di bawah moncong senjata Jepang. Mereka rela berpanas-panasan dihantam terik matahari.
Harsutejo menuliskan, tidak hanya senapan, tapi juga di bawah ancaman moncong tank dan senjata berat Jepang yang mengepung lapangan Ikada. Setelah perdebatan dalam kabinet yang terbelah dua, Bung Karno memutuskan untuk datang ke lapangan Ikada. Ia ditemani Bung Hatta, Mr. Iwa Kusumasumantri dan Ki Hajar Dewantara. Begitu tiba di lapangan, Bung Karno dikelilingi para pemuda dan langsung membentuk barikade.
Menurut Sidik Kertapati, Bung Karno hanya berpidato sekitar 10 menit dan meminta kepercayaan rakyat bahwa pemerintah akan mempertahankan proklamasi. “….walaupun dada kami dirobek-robek,” kata Bung Karno dengan suara lantang. Ia karena itu meminta rakyat tunduk pada perintah dan disiplin serta meminta rakyat untuk segera membubarkan diri dan pulang ke rumah dengan tenang.
Kendati singkat dan berakhir anti-klimaks, rapat raksasa itu, kata Sidik Kertapati, sukses dan pemerintah mendapat legitimasi dari dunia. Buktinya keesokan harinya, para pemuda yang bermarkas di Menteng 31 ditangkapi tentara Jepang dan dijebloskan ke penjara Bukit Duri. Mereka yang ditangkap antara lain Darwis, Sidik Kertapati, DN Aidit, A Manafroni, Wahidin, MH Lukman, dan Adam Malik. Mereka pada akhirnya berhasil melarikan diri dari penjara karena kekuasaan Jepang yang memang sudah loyo.
Sukses dan pentingnya rapat raksasa di lapangan Ikada juga digambarkan secara apik oleh wartawan Antara Asa Bafagih. Ia menulis artikel dengan judul Atom Rakyat Indonesia Hampir Meletus. Selain di Jakarta, pada saat yang sama di Surabaya terjadi sesuatu yang lebih dramatis yang dikenal dengan sebutan “insiden bendera”. Ketika itu sekelompok tawanan perang Jepang yang telah bebas terdiri atas orang Belanda hendak menunjukkan eksistensinya dengan cara mengibarkan bendera Belanda merah-putih-biru di atap Hotel Oranye.
Maksudnya adalah untuk menyambut tentara sekutu yang disebarkan akan segera tiba. Mereka juga mendapatkan senjata dari tentara Jepang. Sekelompk pemuda dengan keberanian dan senjata seadanya menerobos hotel tersebut. Bentrokan pun terjadi. Beberapa korban jatuh. Sejumlah pemuda berhasil naik ke atas atap hotel dan menyobek warna biru. Maka tinggallah warna merah putih berkibar di angkasa. Dari sekelompok pemuda itu terdengar pekikan “Merdeka!” [Kristian Ginting]