Papua Diincar Sejak Perang Dingin

Koran Sulindo – Amerika Serikat (AS) lewat PT Freeport Indonesia terus “menggoyang” Indonesia. Persoalannya tetap sama: memindahkan dua gunung di Papua dalam masa kontrak  untuk pemurnian di luar Indonesia. Negeri ini menjadi kehilangan kontrol atas mineral-mineral yang diangkut Freeport dan diambil secara cuma-cuma. Kekayaan negeri ini disedot habis, sedangkan AS mengambil banyak keuntungan dari Papua.

Keinginan AS untuk menancapkan kukunya di Freeport sudah terjadi sejak Perang Dingin. Strateginya mulai dari berbicara langsung dengan Bung Karno hingga ikut campur urusan dalam negeri Indonesia. AS kemudian menggandeng orang-orang yang disebut sebagai komprador untuk menjatuhkan Bung Karno. Dan itu berhasil pada 1965. Sikap politik pemerintah Indonesia sejak itu berubah 180 derajat. Bergantung pada utang dan membuka pintu selebar-lebarnya untuk modal asing.

Puluhan tahun kemudian, seorang penulis tersohor bernama Lisa Pease menyelidiki kaitan peristiwa-peristiwa itu. Penyelidikan itu kemudian dibukukan berjudul JFK, Soekarno, CIA, dan Freeport. Tulisan ini menjadi arsip penting di National Archive di Washington DC. Dalam bukunya itu, Lisa Pease menuliskan Fereport merupakan pertambangan emas terbesar di dunia! Bukan tembaga.

Majalah Minning International melaporkan, Freeport bukan saja tambang emas terbesar, tetapi juga memiliki emas berkualitas terbaik di dunia. Dan, paling murah biaya operasionalnya! Oleh karena itu, sebagian kebesaran dan kemegahan AS sekarang ini hasil perampokan resmi mereka atas gunung emas di Papua. Sebaliknya, rakyat Papua hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Hanya segelintir pejabat, beberapa jenderal, dan para politisi busuk yang menikmati hasil Freeport. “Mereka ini tidak lebih baik dari seekor lintah,” tulis Lisa Pease lagi.

AS melalui Freeport sudah lama mengincar gunung emas di Papua itu. Jauh sebelum penandatanganan kontrak pada  April 1967. Menurut Lisa Pease, ketika Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping sewaktu Revolusi Kuba sberhasil menumbangkan rezim militer Batista pada 1959. Perusahaan ini terkena imbasnya. Itu sebabnya, perusahaan ini berkali-kali merancang pembunuhan terhadap Fidel Castro dan selalu pula mengalami kegagalan.

Dalam situasi yang tidak pasti itu, Direktur Freeport Sulphur Forbes Wilson mengadakan pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan Van Gruisen. Dalam pertemuan itu, Gruisen bercerita kepada Wilson bahwa ia menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy pada 1936. Dozy bersama Collijn melakukan ekspedisi ke puncak Gunung Cartenz pada 20 November 1936. Keduanya  mengumpulkan contoh batu-batuan, yang oleh geolog Dr C Shouten dikatakan mengandung emas dan tembaga.

Laporan itu sempat dilupakan karena Perang Dunia II melanda Eropa pada 1945. Laporan itu bahkan sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di Perpustakaan Nasional Belanda. Ternyata, Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu. Ia pun membaca dengan saksama. Kepada Wilson, Gruisen mengatakan, bahwa kandungan biji tembaga yang ada di seantero tubuh Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah. Mineral itu tidak tersembunyi di dalam tanah.

Wilson begitu antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat yang ketika itu masih dikuasai Belanda. Ia kemudian menghitung jika laporan itu benar adanya, maka perusahaannya bisa selamat dari kebangkrutan setelah diusir castro. Hasil kunjungan dan penyelidikannya itu ia bukukan berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Dilihat dari udara, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari.

Freeport karena itu segera bekerja sama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi pada 1 Februari 1960. Seperti di Kuba, Wilson mengalami hal sama di Papua. Bung Karno dengan semangat membebaskan Papua mulai menerjunkan pasukan di daerah itu. Wilson tak patah arang. Ia mencoba melobi Presiden AS John F Kennedy. Celakanya, Kennedy malah mendukung politik Bung Karno.

Setelah semua itu, Belanda mundur dari Papua. Kerja sama Freeport dan East Borneo Company batal. Tentu saja ini membuat Wilson marah besar terlebih Kennedy disebut akan membantu Indonesia senilai US$ 11 juta, dengan melibatkan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Karena itu, semuanya harus segera dihentikan.

Perubahan politik AS segera berubah setelah kematian Kennedy yang tewas ditembak pada 22 November 1963. Meski sulit dibuktikan, kematian Kennedy disebut berkaitan dengan kepentingan kaum globalis yang hendak menghegemoni kebijakan politik di AS. Pengganti Kennedy, Lyndon B Johnson mengambil sikap yang berbeda dengan pendahulunya. Ia mengurangi bantuan kecuali untuk militer.

Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan Presiden AS pada 1964, adalah Augustus C Long, seorang anggota direksi Freeport. Long dicurigai yang mendesain kejatuhan Bung Karno. Ia memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen dari labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Bung Karno.

Ujungnya Bung Karno jatuh pada 1965. Seperti AS, kebijakan Indonesia di bawah rezim yang baru sungguh berkebalikan. Pada masa Soeharto, Freeport dan perusahaan-perusahaan raksasa AS menikmati keistimewaan untuk berinvestasi di Indonesia. Bahkan hingga hari ini. Buktinya pemerintah dibuat pusing karena berbagai manuver Freeport yang menolak aturan tentang pembangunan pemurnian hasil tambang. Lantas mengapa pemerintah tetap lembek terhadap Freeport? [Kristian Ginting]