Koran Sulindo – Tidak menyesali keadaan dan tidak mengeluh dengan kekurangan. Justru, dia berjuang demi kesetaraan. Berjuang demi mendapatkan akses di berbagai bidang kehidupan bagi penyandang disabilitas, khususnya tuli. Itulah yang kini sedang dikerjakan oleh Panji Surya Sahetapy, putra dari pasangan Ray Sahetapy dan Dewi Yul.
Pemuda kelahiran Jakarta pada 21 Desember 1993 ini memang terlahir tuli. Meski begitu dan walau orang tuanya terbilang mampu, Surya tidak ingin hidup bergantung terus pada orang tuanya. ”Saya sejak kecil bergaul dengan teman teman yang normal. Meski sulit berkomunikasi dan kerap gagal, saya terus berusaha,” ujar Surya lewat penerjemah bahasa isyarat-nya, Mine, yang ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, 16 Mei 2016 lalu.
Anak bungsu yang kini kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sampurna Jakarta ini baru saja menyelesaikan film berjudul Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara. Dalam film yang bercerita tentang perjuangan seorang guru yang mengajar di pedalaman Nusa Tenggara Timur itu, Surya berperan sebagai adik dari Aisyah, yang diperankan Laudya Chyntia Bella.
Diakui Surya, awalnya susah sekali berkomunikasi dengan sutradara. Karena, dalam film itu, Surya memerankan orang normal. ”Ya, pengambilan gambarnya diulang beberapa kali, tapi akhirnya bisa dilalui dengan baik. Dan saya lega,” ungkap Surya lewat gerak bibirnya, yang ditafsirkan secara baik oleh Mine.
Bukan kali ini Surya berakting di depan kamera. Sebelumnya, di tahun 2015, Surya pernah bermain dalam film Sebuah Lagu untuk Tuhan, tentang seorang pemuda yang berpacaran dengan gadis tuli yang diperankan oleh Elis Norin kala itu. Surya memerankan pemuda yang tuli dan ia mengaku mudah berakting karena di dialognya menggunakan bahasa isyarat.
Namun, ia menjelaskan, terjunnya dia ke dunia film bukan karena ingin terkenal seperti bapak dan ibunya. ”Saya ingin memperlihatkan kepada para disabilitas tuli bahwa mereka juga bisa melakukan hal yang sama dengan mereka yang normal. Ke depan, saya mengharapkan ada peran untuk orang tuli, jangan menggunakan artis yang normal. Ajak kami yang memang tuli untuk bermain, agar filmnya lebih bagus lagi,” kata Surya sambil tersenyum.
Ketika ditanya profesi apa yang akan ia rengkuh nanti, Surya belum bisa memastikan, apakah dia akan menjadi aktor atau guru. ”Biar saja waktu yang menentukan. Apa pun bidangnya, saya ingin mengajak para disabilitas tuli untuk berkiprah di dalamnya,” ujar Surya, yang kerap memberikan advokasi ke teman-temannya yang tuli.
Untuk menjadi contoh dan penyemangat kawan-kawannya, Surya pernah ikut magang di Pemda DKI Jakarta. Selama empat bulan, Surya mendampingi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam hal transparansi anggaran. ”Padahal, awalnya bidang saya bidang pendidikan, tapi saya terima saja. Dan, saya punya pandangan lain tentang politik setelah magang di Pemda DKI. Dulu saya enggak uka sekali terhadap politik, sekarang saya mengerti, politik tidak seburuk yang saya bayangkan,” kata Surya.
Dalam waktu dekat ini, tepatnya 6 Juni hingga 19 Juni 2016, bersama tujuh teman penyandang disabilitas tuli, Surya akan berkunjung ke Amerika Serikat. Tujuannya adalah ke Gedung PBB di New York, untuk melihat proses berlakunya undang-undang mengenai orang orang tuli. Dari sana kemudian Ke Washington DC ke Senat dan Kongres Amerika Serikat, juga ke universitas-universitas yang ada jurusan dan fakultas berbagai bidang untuk khusus orang tuli.
”Ilmu kedokteran khusus orang tuli juga ada di sana,” ujar Surya.
Sejak tahun 2012, ia juga aktif menulis tentang pengalaman-pengalamannya di blog pribadi, suryasahetapy.com. Media sosial seperti Twitter, Instagram, dan YouTtube pun ia optimalkan penggunaannya. Tidak sekadar berbagi foto, Surya juga membuat video pendek yang menampilkan dirinya sedang berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Melalui video itu, ia berharap masyarakat, khususnya generasi muda, lebih tertarik untuk mempelajari bahasa isyarat.
Konsistensi Surya mulai menunjukkan hasil. Oleh organisasi disabilitas kepemudaan Young Voices Indonesia, ia dipercaya untuk mewakili Indonesia dalam beberapa kesempatan. Salah satunya kompetisi Global IT for Youth with Disabilities di Bangkok, Thailand, Oktober 2013. Di kompetisi itu, ia berhasil menjadi juara ketiga untuk kategori e-tools, setelah berhasil memodifikasi artikel bertema go green dalam waktu 45 menit.
Surya juga terus mempelajari bahasa isyarat. Setelah mengikuti pelatihan calon guru bahasa isyarat di Universitas Indonesia, ia semakin gencar memberikan advokasi mengenai hak-hak hidup penyandang disabilitas kepada para difabel dan masyarakat. “Ketidaktahuan itu sangat berbahaya. Teman-teman penyandang disabilitas banyak yang belum menyadari hak-hak hidup mereka. Selain pendidikan, hak yang sering terlupakan adalah hak untuk memperoleh informasi kesehatan. Misalnya belum ada juru bahasa isyarat di rumah sakit, sehingga banyak yang sering kesulitan menangkap informasi dari mereka,” ungkap Surya dengan mimik wajah serius. [DPS]