Koran Sulindo – Konferensi Asia Afrika dengan kesepakatan Dasasila Bandung yang menjadi cikal bakal Gerakan Non-Blok dianggap sebagai titik balik bangsa-bangsa Asia-Afrika atas struktur lama dunia internasional.
KKA kemudian Gerakan Non-Blok menjadi upaya bangsa-bangsa di Asia-Afrika mematahkan dominasi blok-blok negara adikuasa, baik di PBB, maupun forum-forum internasional lainnya.
Dihadiri oleh wakil-wakil dari 28 negara peserta dan 1 peninjau dan 1 utusan, ratusan tamu asing yang tiba di Bandar Udara Kemayoran, Jakarta lantas menempuh jalan darat menuju Bandung.
Tercatat setidaknya 1.500 orang asing hadir di konferensi puncak itu dan ditempatkan di 14 hotel besar serta 31 bungalo di sepanjang Jalan Cipaganti, Jalan Lembang, dan Jalan Ciumbuleuit.
Pada puncak KAA yang digelar 18 -24 April 1955 itu, KAA dilipus 377 wartawan baik dalam dan luar negeri yang diinapkan di Hotel Swarha Islamic dekat Alun-alun Bandung.
Bagi Bung Karno, duduk bersama dan membahas kepentingan bangsa-bangsa Asia dan Afrika di tanah mereka sendiri benar-benar menjadi kebanggaannya.
Dalam sambutan selamat datang pada pembukaan KAA, Bung Karno menyebut Bandung khususnya dan Indonesia merasa terhormat menjadi tuan rumah bagi konferensi pertama yang diselenggarkan antar benua oleh bangsa-bangsa kulit berwarna.
Menurut Bung Karno, sebelumnya bahkan untuk membahas nasib mereka sendiri dalam ‘Liga Melawan Imperialisme dan Kolonialisme’ pemimpin Asia dan Afrika mesti datang ke Brussel, di Eropa. Tempat yang bahkan menjadi nenek moyang kolonialisme dan imperialisme itu sendiri.
Meski tajuknya melawan imperialisme dan kolonialisme, menurut Bung Karno pertemuan di Brussel itu tidak diselenggarakan karena pilihan sendiri tapi oleh keharusan.
“Jika kita hendak mencari pelopor dari pertemuan besar ini, kita harus menengok ke Kolombo, ibu kota Sri Langka yang merdeka, dan melihat ke Konferensi Lima Perdana Menteri yang diadakan di sana tahun 1954,” kata Bung Karno.
Selain menyampaikan pikiran-pikirian optimistisnya tentang kebangkitan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika, dalam kesempatan itu Bung Karno menyebut bahwa pikirannya suram oleh hal-hal lain.
“Anda tidak berkumpul di dalam dunia yang damai, dan bersatu dan bekerja bersama! Jurang-jurang besar menganga di antara bangsa dan golongan bangsa. Dunia kita yang malang ini terpecah belah dan teraniaya, dan rakyat dari semua negeri berada dalam ketakutan, apabila di luar kesalahan mereka anjing-anjing peperangan akan lepas lagi dari rantainya,” kata Bung Karno.
Menurut Bung Karno beban yang terletak pada pundak anggota delegasi dalam KKA jelas tidak ringan. Ini soal hidup atau mati dari peradaban manusia itu sendiri. Bung Karno menambahkan, meskipun semua yang bisa dilakukan bangsa-bangsa telah dilakukan sementara perang tetap pecah, lalu bagaimana? Apakah yang akan terjadi dengan kemerdekaan yang baru kita peroleh itu? Apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita dan orangtua-orangtua kita?.
“Itulah bagian dari kewajiban dalam kemerdekaan itu sendiri. Itu adalah harga yang dengan rela kita bayar untuk menebus kemerdekaan kita,” kata Bung Karno.
Menurutnya, selama ini bangsa-bangsa Asia-Afrika adalah bangsa yang tidak bersuara di dunia, bangsa yang bahkan tidak terpandang di mata orang dengan pilihan-pilihan yang ditentukan oleh bangsa-bangsa lain dan bangsa yang hidup dalam lembah kemiskinan serta tak punya apa-apa.
Namun dengan berjuang untuk kemerdekaan dan memperolehnya bangsa Asia-Afrika sudah saatnya punya tanggung jawab berat pada diri sendiri, pada dunia, dan pada generasi yang akan datang.
Garis Hidup Imperialisme
Dalam pidato itu Bung Karno juga menyampaikan pemikirannya tentang ‘Garis hidup imperialisme’. Garis ini menurutnya membentang mulai dari Selat Gibraltar melalui Laut Tengah, Terusan Zues, Laut Merah, Samudera Hindia, Laut China Selatan hingga Laut Jepang.
Menurut Bung Karno di sepanjang garis itu hampir semuanya adalah bangsa jajahan atau setidaknya pernah di jajah. Rakyatnya tidak merdeka sementara masa depannya tergadai kepada sistem asing. Di sepanjang garis ini terpompalah daerah kehidupan kolonialisme dari urat nadi imperialisme.
“Dan pada hari ini, di dalam aula ini berkumpulah pemimpin bangsa yang telah disebutkan tadi. Mereka bukan lagi korban penjajahan. Mereka bukan lagi korban dari permainan kekuasaan yang tidak dapat mereka pengaruhi. Hari ini anda telah menjadi wakil bangsa-bangsa yang merdeka,” kata Bung Karno.
Bung Karno menyebut Sturm uber Asien dan juga atas Afrika telah mendorong perubahan-perubahan hebat. Bangsa-bangsa di wilayah ini bangun dari berabad-abad tidurnya dengan mengenyahkan sikap pasif menjad sikap perjuangan.
Kekuatan dahsyat yang mengganti wujud mental, spiritual dan politis Benua Asia dan Afrika dan proses tersebut menurut Bung Karno masih akan terus berjalan dengan syarat baru, konsepsi baru, masalah baru dan cita-cita baru. Badai kebangkitan nasional dan pembangunan kembali mengamuk di penjuru duni, dan merombaknya supaya menjadi lebih baik.
Abad kedua puluh menjadi masa-masa dinamis yang dahsyat. Lima puluh tahun terakhir dunia telah menjadi saksi bagi perkembangan dan kemajuan material yang lebih baik dibanding masa 500 tahun yang lalu.
Selain berhasil mengekang bahaya yang dulu mengancamnya, kata Bung Karno, manusia juga berhasil memangkas jarak sekaligus memproyeksikan gambar dan suara melalui samudera dan benua. Manusia juga berhasil menyelami rahasia alam dan mampu membuat padang pasir berbunga sekaligus melipatgandakan hasil tanaman di atas bumi. Manusia telah belajar untuk melepaskan kekuatan hebat yang tersimpan dalam bagian zat yang justru paling kecil.
“Akan tetapi, apakah kecakapan politik manusia berbanding lurus dengan kepandaian teknis dan ilmiahnya? Manusia dapat mengekang petir, namun dapatkah ia menguasai masyarakat tempat ia hidup? Jawabannya; tidak!” kata Bung Karno
Kepandaian politik manusia, menurut Bung Karno sangat jauh terbelakang daripada kepandaian teknisnya, dan apa yang ia buat belum tentu dapat ia kuasai. Lalu apa hasilnya? “Hasilnya adalah ketakutan. Dan manusia megap-megap mencari keamanan dan kesusilaan,” kata Bung Karno.(TGU)