Koran Sulindo – Pakar Hukum Yenti Garnasih merasa heran dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang melayangkan pemanggilan terhadap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri terkait tes wawasan kebangsaan pegawai KPK.
“Saya juga tidak tahu, kenapa sih begitu? Apa sih kaitannya Komnas HAM, harusnya kan berkaitan dengan apa yang dilakukan seseorang atau lembaga lain yang melanggar HAM. Nah ini apa dong? Ketua KPK melanggar HAM-nya di mana?” kata Yenti Garnasih dalam keterangannya, Kamis (10/6).
Terlebih, TWK kata Yenti, merupakan produk dari Badan Kepegawaian Negara. Kemudian, BKN memiliki tim dalam merumuskan pertanyaan tes tersebut.
“Kalau menurut saya, apa urgensinya memanggil, apalagi Pak Firli itu kan sedang bekerja, kok bolak balik dipanggil,” kata Yenti.
Yenti menilai sudah tepat Firli tidak memenuhi panggilan Komnas HAM tersebut. Harusnya Komnas HAM memanggil bila terjadi pelanggaran HAM.
“Benar lah tidak usah datang. Pak Firli melanggar HAM yang mana, mau ditanya apa ke Pak Firli, kan harusnya berkaitan. Misal policy, di dalam policy itu ada pelanggaran HAM. Pak Firli tidak mengeluarkan policy apa-apa,” kata Yenti.
Menurut Yenti, kebijakan yang dikeluarkan pimpinan KPK merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Kalau TWK dianggap melanggar HAM, Komnas HAM seharusnya memanggil si pembuat undang-undang, itu pun kalau memang ada konten yang dianggap melanggar HAM.
Sehingga, Yenti menilai Komnas HAM tidak tepat memanggil Firli Bahuri jika mempermasalahkan undang-undang tersebut.
“Kalau itu mau dipermasalahkan, yang dipanggil bukan Firli, yang dipanggil ya DPR dan pemerintah yang waktu itu membuat Undang-undang KPK. Kalau berkaitan dengan apa yang dipertanyakan di dalam tes-tes itu, itu yang dipanggil BKN,” kata Yenti.
Yenti pun mengingatkan bahwa BKN memiliki standarisasi dalam tes yang dibuat. Komnas HAM tentunya tidak bisa langsung menduga ada pelanggaran dalam TWK.
“Penguji itu kan punya sertifikasi, tidak boleh diinterupsi seperti itu. Coba Komnas HAM melihat sendiri, berkaitan dengan apa Firli dipanggil, Pelanggaran HAM apa yang dilakukan Firli,” ucap Yenti.
Yenti khawatir segala sesuatu jadi dipolitisasi. Menurut Yenti ruang politik ada di DPR, saat undang-undang dibuat dan seharusnya nuansa politik sudah berakhir.
Saat undang-undang diimplementasikan, menurut dia jangan ada lagi sentuhan politik. Dia menyarankan Komnas HAM, organisasi yang selama ini dikenal independen harus bisa melepaskan diri dari nuansa politik.
“Ya kalau independen seharusnya tidak boleh sampai menimbulkan praduga mereka berpolitik. Jangan juga malah tambah gaduh,” ujar Yenti. [Wis]