Makna Motif Pada Pakaian Prajurit Keraton
Selain dibedakan atas warna, kain yang digunakan untuk bahan dan perlengkapan pakaian prajurit juga memiliki motif. Motif yang ada antara lain batik, lurik, dan cindhe.
Kain dengan motif batik digunakan oleh para Manggala, Wedana Ageng, Pandhega, dan Panewu Bugis. Kain batik digunakan secara simbolik untuk menunjukkan adanya hirarki. Kain batik dengan ragam hiasnya yang bervariasi memiliki lebih banyak makna dan relatif lebih mahal.
Kain dengan motif lurik digunakan sebagai baju luar untuk Prajurit Jagakarya, Ketanggung, Mantrijero, Patangpuluh, dan Langenastra. Filosofinya juga tidak sesarat kain batik. Kain ini cenderung digunakan untuk pakaian sehari-hari seperti surjan dan peranakan. Oleh karena itu, makna kain ini cenderung kepada kesederhanaan, kesetiaan, dan kejujuran. Namun makna yang lebih dalam lagi adalah kesetiaan prajurit kepada rajanya, serta hubungan antar prajurit jangan sampai ada kerenggangan.
Kain dengan motif cindhe digunakan untuk celana panji-panji, lonthong(sabuk), serta bara. Cindhe merupakan motif kain yang terpengaruh dari India. Penggunaan motif ini dapat bermakna teknis sebagai aksen dari kain-kain polos dan batik. Biasanya berdasar warna merah.
Dengan mengamati warna dan motif pakaian, prajurit keraton dapat dibedakan dengan mudah. Prajurit Wirabraja mudah dikenali lewat pakaian yang dominan merah, sehingga disebut sebagai Prajurit Lombok Abang.
Pakaian prajurit keraton memang telah kehilangan fungsi praktisnya dalam peperangan. Hal ini sesuai dengan fungsi prajurit keraton yang sebelumnya sebagai kesatuan militer yang kemudian berubah menjadi pengawal kebudayaan. Walau demikian, simbol-simbol yang diwakili oleh pakaian dan atribut yang dikenakan oleh prajurit keraton tidak lantas pudar. Watak ksatria yang dimiliki oleh prajurit keraton diharapkan tetap dipegang teguh oleh para prajurit dan dapat dipancarkan kepada masyarakat yang lebih luas. [Nora E]