Suluh Indonesia – Keraton Kasultanan Yogyakarta sampai saat ini masih memiliki kelompok pengawal. Ada sepuluh kelompok pasukan yang disebut sebagai bregada. Jumlah keseluruhan prajurit cukup kecil, hanya sekitar 600 orang. Setiap pasukan atau bregada dipimpin oleh perwira berpangkat Kapten. Kecuali bregada Bugis dan Surakarsa yang dipimpin oleh seorang Wedana.
Pakaian yang dipakai para prajurit sebenarnya telah dikenal dalam sejarah Kasultanan Yogyakarta, bahkan sejak Pangeran Mangkubumi masih berperang melawan pemerintahan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Pakaian keprajuritan ini kemudian berubah dari waktu ke waktu hingga yang kita kenal saat ini.
Pakaian Prajurit pada Awal Kesultanan
Gubernur VOC Nicolaas Hartingh pernah mendeskripsikan pakaian yang dikenakan Pangeran Mangkubumi saat pertemuan pribadi mereka di Pedagangan, Grobogan, saat menegosiasikan tuntutan Pangeran Mangkubumi atas bumi Mataram. Diceritakan bahwa Pangeran Mangkubumi menggunakan pakaian putih dan kain, memakai dua keris, tutup kepala ulama yang dibalut dengan ikat kepala linen halus berjahit benang emas. Para pengiring Pangeran Mangkubumi juga mengenakan pakaian yang mirip.
Deskripsi mengenai pakaian yang dikenakan Pangeran Mangkubumi dalam berperang menunjukkan bahwa pakaian keprajuritan pada awal Kasultanan Yogyakarta telah dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Namun menilik beberapa lukisan tentang prajurit Jawa pada masa-masa awal Kasultanan Yogyakarta, tidak dapat dikatakan juga bahwa corak Islam pasti ada dalam tiap seragam prajurit.
Masuknya Pengaruh Eropa pada Pakaian Prajurit Keraton Yogyakarta
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana IV (1816-1823), desain Eropa mulai dipakai pada pakaian prajurit keraton. Hal ini bersamaan dengan diterimanya pengaruh-pengaruh Eropa pada beberapa hal, termasuk pemberian pangkat Mayor Jenderal tituler pada Sultan yang berkuasa.
Selepas kekalahan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830), pemerintah Hindia Belanda memangkas kewenangan militer Kasultanan Yogyakarta, sehingga prajurit keraton hanya berfungsi sebagai kesatuan pengawal istana dan upacara keraton saja. Mulai masa itulah pakaian prajurit keraton berkembang menjadi yang dikenal sekarang. Saat ini kita melihat unsur-unsur Eropa tersebut diselipkan secara bijaksana dalam bentuk kaos kaki, sepatu, maupun topi.
Makna Warna Pada Pakaian Prajurit Keraton
Desain dari pakaian prajurit keraton tidak sekadar mengejar keindahan semata. Mulai warna hingga motif kain memiliki muatan filosofisnya. Dalam dunia simbolik Jawa terdapat istilah mancapat dan mancawarna. Segala sesuatu dalam dunia dibagi ke dalam empat bagian yang tersebar seusai arah mata angin, dan satu lagi bagian di tengah sebagai pusatnya. Begitu juga dengan empat macam nafsu manusia, yaitu aluamah, amarah, supiyah, dan mutmainah.Keempat nafsu ini kemudian diwujudkan dalam empat macam warna, yaitu warna hitam, merah, kuning, dan putih.
Warna hitam terletak di utara. Warna merah berada di selatan. Warna putih di timur. Warna kuning bertempat di barat. Sedang sebagai pusat adalah perpaduan berbagai warna tersebut. Masing-masing warna tersebut memiliki asosiasi dengan berbagai macam hal. Seperti sifat benda-benda, maupun titah alus (mahluk halus).
Pada pakaian prajurit keraton, warna-warna ini juga memiliki makna maupun asosiasinya masing-masing.Warna hitam digunakan secara dominan pada baju, celana, dan topi Prajurit Bugis, baju prajurit Prawiratama, baju sebagian Prajurit Nyutra Ireng, dan topi mancungan dari Prajurit Dhaeng. Warna hitam adalah warna tanah.Dalam masyarakat Jawa, warna ini dapat diartikan sebagai keabadian dan kekuatan.
Warna wulung, yaitu hitam keunguan, digunakan oleh hampir semua prajurit. Misalnya untuk blangkon Prajurit Dhaeng atau untuk dodot yang dikombinasikan dengan warna putih. Warna wulung dekat dengan warna hitam sehingga bermakna sama.
Warna biru digunakan secara terbatas. Misalnya pada kaos kaki Prajurit Jagakarya, lonthong (sabuk) Prajurit Dhaeng. Makna dari penggunaan biru dekat dengan makna warna biru yang berkonotasi teduh.
Baca juga Menurut Raffles, Poligami Tak Laku di Pedesaan Jawa