Ki Hajar Dewantara

Koran Sulindo – Sebuah surat pendek dilayangkan Suwardi Suryaningrat kepada H.J. Abendanon, dari Denhaag, tertanggal 13 Oktober 1913. Beberapa paragrafnya berbunyi begini:

“…. Apabila saya mengerti maksud Anda dengan baik, maksud Anda ialah untuk menyokong studi saya di Belanda tetapi dengan syarat: saya harus mengundurkan diri dari pergerakan yang tidak (atau tidak pantas menerima) simpati Anda.

Apa yang tidak terlalu jelas bagi saya ialah apakah Anda menginginkan saya untuk tidak bergabung dengan gerakan ini selama saya berkuliah, atau apakah Anda ingin mengembalikan saya kepada ‘jalan evolusioner’ seperti yang Anda maksud pada pembicaraan kita”.

Ketika itu baru sebulan Suwardi tiba di Belanda, bersama dua tokoh Indisch Partij lainnya—Ernest Douwess Dekker dan Tijipto Mangunkusumo.

“Tiga serangkai” ini tiba di negeri penjajah itu sebagai “orang buangan” dikarenakan aktivitas politik mereka yang menentang secara terbuka pemerintah kolonial-Belanda.

Sebagai “orang buangan”, kehidupan Suwardi di negeri Belanda tentunya menderita. Ia yang datang ke Belanda bersama istrinya, Sutartinah- dan kemudian lahir anak-anaknya—kerap mengalami kesulitan keuangan. Suwardi hanya mengandalkan honorarium sebagai penulis—yang tidak cukup besar- untuk menafkahi keluarganya.

Ditengah keprihatinan itulah datang tawaran Abendanon untuk melanjutkan studi dengan bea-siswa dari pemerintah Belanda. Tapi dengan syarat seperti yang dikemukakan Suwardi dalam suratnya itu.

Tawaran Abendanon (mantan Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda) itu tidak membuat Suwardi tergiur. Ia lebih memilih tetap menderita daripada harus mengorbankan prinsip perjuangannya.

Bagi saya, sikap yang ditunjukkan Suwardi Suryaningrat (kelak ia lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara) merupakan sebuah bentuk keberanian sejati. Keberanian seperti ini dianggap sebagai salah-satu keutamaan dalam politik.

“Seseorang tidak menjadi negarawan besar hanya karena ia kebetulan memegang jabatan yang besar. Ia harus menunjukkan bukti-bukti lain tentang kebesarannya, dan diantara bukti kebesaran itu adalah keberanian….,” kata John Bright, (1811-1899), negarawan Inggris yang juga orator politik termasyur di zamannya.

Para founding fathers negara-bangsa Indonesia telah memberikan teladan yang gamblang tentang keberanian dalam menentukan sikap politik.

Sejak masa awal kolonialisme, sejumlah kaum bangsawan di seantero Nusantara telah berani mengangkat senjata melawan pasukan VOC Belanda. Yang pantas dicatat, antara lain: Sultan Iskandar Muda, Sisingamangaraja XII, Tuanku Imam Bonjol, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Pangeran Nuku, Sultan Hasanuddin, dan lain-lain.

Selain “tiga serangkai”, generasi perintis pergerakan nasional— seperti HOS Tjokroaminoto, Tirto Adisoerjo, Wahidin Sudirohusodo, Sam Ratulangi, Roestam Effendi, Haji Agus Salim, MH Thamrin—juga menunjukkan keberanian luar biasa dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia yang masih terjajah.

Teladan ini dilanjutkan oleh generasi selanjutnya- Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Amir Sjarifuddin Harahap, Sutan Sjahrir, dan lain-lain– yang mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan.

Semua itu dilakukan dengan keberanian mempertaruhkan kebebasan pribadi, meski harus mendekam di penjara atau mengalami represi. Karena itulah, John Fitzgerald Kennedy, salah satu Presiden Amerika Serikat yang paling terkenal, sangat mengagumi keberanian (courage) dalam dunia politik.

Kekaguman itu tercermin dari sebuah kitab yang ditulisnya di tahun 1954, berjudul Profile in Courage,yang berisikan kisah-kisah keberanian dalam menetapkan sikap politik dari sejumlah Senator Amerika Serikat.

“Tak ada pekerjaan lain, kecuali di lapangan politik, seseorang dihadapkan mengorbankan kehormatan, gengsi, dan karirnya. Para ahli hukum, pengusaha, guru, dokter, semuanya menghadapi keputusan-keputusan pribadi yang sukar berkenaan dengan integritas mereka, tapi hanya sedikit diantara mereka yang menghadapinya di tengah-tengah sorotan publik sebagaimana yang harus dihadapi para politisi yang berkecimpung dalam jabatan kemasyarakatan,” tegas John F. Kennedy.

Orang-orang yang memiliki keberanian sejati seperti inilah yang layak disebut sebagai pahlawan—dari kalangan manapun mereka berasal. Karakter seperti inilah yang membuat kehidupan, terutama dunia politik, menjadi beradab.

Tapi, sayang seribu kali sayang, dunia politik kita hari ini jauh panggang dari api dengan karakter keberanian sejati itu. [Imran Hasibuan]