Koran Sulindo – Rumah toko yang beralamat di RW 2, Duri Pulo, Gambir, Jakarta Pusat, itu tak menyolok, persis sama dengan banyak ruko yang dipakai untuk perkantoran atau mini market di seantero Jakarta. Tapi dari ruko kecil bermula pembobolan 14 bank hingga Rp 14 triliun.
Ruko itu menjadi kantor lembaga pembiayaan kredit PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (PT SNP), induk perusahaan pengkreditan PT Cipta Mandiri Prima yang dikenal dengan nama Columbia. Awal mOktober 2018 lalu Bareskrim Polri menaikkan status kasus pembobolan raksasa ini ke penyidikan.
Dari bangunan ruko 4 itu polisi membawa 3 unit CPU dari ruang PT SNP di lantai 3. Sunprima diketahui menumpang di sana setelah sebelumnya dinyatakan pailit. Di ruang itu terpampang foto salah satu daftar p[encarian orang (DPO) polisi, Leo Chandra, pendiri Columbia sekaligus pemilik saham PT SNP.
Terungkapnya kasus pembobolan bank ini berawal dari laporan Bank Panin pada awal Agustus 2018. Penyidikan polisi menemukan PT SNP diduga melakukan dugaan tindak pidana pemalsuan dokumen, penggelapan, penipuan, dan tindak pidana pencucian uang.
“Modusnya dengan menambahkan, menggandakan, dan menggunakan daftar piutang fiktif, berupa data list yang ada di PT CMP. Total kerugian berkaitan dengan fasilitas kredit sekitar Rp14 triliun,” kata Kasubdit Perbankan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Daniel Tahi Monang Silitonga.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) konon sudah mencium anomali perusahaan, yang mempunyai cabang hampir semua supermarket di seluruh Indonesia itu, sejak setahun lalu. Pada Juli 2017.
“Yang bongkar ini awalnya pengawas di 2017 tertangkap angka beda antara CAPS itu suatu aplikasi connecting SNP. Ada selisih saldo di sana. Kami minta Bank Mandiri melakukan pemeriksaan dan pembenahan,” kata Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK, Slamet Edy Purnomo.
OJK melakukan evaluasi atas langkah-langkah yang dilakukan oleh Bank Mandiri, dan hoppla: ada tunggakan dalam jumlah sangat besar hingga triliunan.
Gigih
Kasus di atas hanya contoh apa yang dilakukan lembaga yang berdiri atas amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan itu. OJK lahir melalui perjalanan yang cukup panjang. Butuh waktu 12 tahun untuk mempersiapkan kelahirannya, dengan berbagai kendala yang menghadang, termasuk adanya penolakan dan kesangsian dari berbagai pihak.
Kendati prosesnya pembentukannya relatif panjang, masih banyak anggota masyarakat yang belum mengetahui tugas dan peran OJK ketika institusi ini resmi berdiri. Mungkin hingga kini.
Sejak itu OJK gigih memperkenalkan diri, bersosialisasi termasuk berkoordinasi dengan Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan banyak instansi lain, ke seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang hingga Merauke. Yang utama adalah memperkenalkan apakah OJK itu dan bagaimana konsep dan tata kelolanya.
Sebagai lembaga baru, mahfumlah jika menghadapi kendala waktu, minimnya sumber daya manusia, dan anggaran yang sangat terbatas. Padahal lebih dari 100 buah kegiatan sosialisasi harus dilaksanakan dalam setahun.
Sekarang ini, masyarakat pelan-pelan mulai mengenal OJK. Namun masyarakat kecil, khususnya orang awam mungkin masih banyak yang tak tahu tugas dan fungsi yang diemban OJK.
Apalagi salah satu tugas pokok OJK adalah mewujudkan masyarakat yang “melek keuangan” sesuai dengan tugas yang dibebankan Pasal 28 huruf a. UU No 21 Tahun 2011 itu; yaitu memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya.
Tugas Berat
Pada Juni 2017 lalu Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diemban Wimboh Santoso. Ia mendapat banyak pekerjaan rumah yang mesti dibenahi, terlebih industri perbankan sedang menghadapi sejumlah tantangan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menaruh harapan besar kepada Wimboh. Salah satunya adalah agar bunga bank turun. Darmin dan Wimboh pernah bersama-sama di Bank Indonesia pada periode 2010 hingga 2013.
Tugas berat yang menanti Wimboh antara lain rasio kredit macet (NPL), likuiditas, dan teknologi perbankan. Tak lupa, soal surat berharga komersial yang selama ini disebut nyaris tidak digunakan.
Tapi barangkali yang juga tak kalah penting dan bisa dihadapi konsumen dan masyarakat kecil di zaman ketika teknologi internet dan komunikasi sudah meresap di masyarakat: investasi bodong dan perusahaan investasi yang menggunakan teknolgi untuk menipu orang.
Pada akhir September 2018 lalu OJK merilis data terdapat 227 entitas financial technology (fintech) yang melakukan kegiatan usaha peer to peer (P2P) lending secara tidak terdaftar. Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 penyelenggara fintech P2P lending wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan ke OJK.
“Mereka tidak memiliki izin usaha dalam penawaran produk fintech, sehingga berpotensi merugikan masyarakat,” kata Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi (Satgas WI), Tongam L. Tobing.
Satgas WI telah memanggil semua entitas tersebut dan meminta mereka menghentikan kegiatan P2P lending. Juga meminta mereka menghapus seluruh aplikasi penawaran pinjam-meminjam uang.
“Kami juga meminta mereka menyelesaikan segala kewajiban kepada pengguna. Kami meminta mereka segera mengajukan pendaftaran ke OJK,” kata Tongam.
OJK juga sudah berkoordinasi dengan Google sebagai penyedia platform aplikasi fintech P2P lending untuk menghapus semua aplikasinya. Satgas WI akan secara rutin menyampaikan informasi perusahaan fintech tidak berizin.
Kini di Indonesia ada 63 fintech P2P lending yang terdaftar di OJK. Masyarakat bisa melihatnya di website resmi OJK, yaitu www.ojk.go.id. “Jika menemukan tawaran fintech P2P lending yang mencurigakan, masyarakat dapat melaporkan ke layanan konsumen OJK 157, email konsumen@ojk.go.id, atau waspadainvestasi@ojk.go.id,” kata Tongam.
Financial technology atau fintech merupakan hasil gabungan antara jasa keuangan dengan teknologi. yang akhirnya mengubah model bisnis dari konvensional menjadi moderat. Yang tadinya dalam membayar harus bertatap-muka dan membawa sejumlah uang kas, kini dengan fintech dapat dilakukan transaksi jarak jauh dengan melakukan pembayaran yang dapat dilakukan dalam hitungan detik saja.
Fintech hadir seiring perubahan gaya hidup masyarakat yang saat ini didominasi oleh pengguna teknologi informatika, dengan tuntutan hidup yang serba-cepat. Dengan fintech, permasalahan dalam transaksi jual-beli dan pembayaran—misalnya tidak sempat mencari barang ke tempat perbelanjaan atau ke bank/ATM untuk mentransfer dana–dapat menjadi lebih efisien dan ekonomis sekaligus tetap efektif.
Selain peraturan OJK, dasar hukum penyelenggaraan fintech dalam sistem pembayaran di Indonesia adalah Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran; Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/22/DKSP perihal Penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital, dan; Peraturan Bank Indonesia No. 18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik.
Untuk fintech, Bank Indonesia memiliki kewajiban menjaga ketertiban lalu-lintas pembayaran. Bank Indonesia juga memastikan perlindungan terhadap konsumen, khususnya mengenai jaminan kerahasiaan data dan informasi konsumen lewat jaringan keamanan siber. Bank Indonesia melakukan pemabatuan dan penilaian (assessment) terhadap setiap kegiatan usaha yang melibatkan fintech dan system pembayarannya menggunakan teknologi.
Investasi Bodong
Masyarakat jelas juga sering tertarik dengan investasi yang memberikan keuntungan tinggi dalam waktu pendek. Begitu ada tawaran yang memberikan keuntungan tinggi tersebut, mereka tidak mempertimbangkan faktor risiko.
Padahal, seharusnya masyarakat memahami, keuntungan yang tinggi akan diikuti dengan risiko yang tinggi pula. Masyarakat juga harus mewaspadai kemungkinan adanya investasi yang ditandai dengan rekrutmen anggota baru. Yang paling sering terjadi pada investasi semacam itu adalah penyelenggara kabur dengan membawa uang investasi milik para anggota.
Sebagai antisipasi atas kemungkinan tersebut, OJK bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Kejaksaan Agung RI, Kepolisian RI, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menandatangani nota kesepahaman mengenai pembentukan satuan tugas waspada investasi.
OJK menemukan ada empat modus baru investasi bodong dan rata-rata menawarkan keuntungan yang sangat tinggi: melebihi 30 persen tanpa risiko.
Pertama, adalah investasi uang. Investasi pasar uang tersebut dibuat seakan-akan berjangka. Mereka akan menawarkan keuntungan yang melebihi 30 persen. Kedua, investasi emas. Modusnya menawarkan emas tapi tidak dilepas. Keuntungannya ditawarkan lima persen per bulan.
Selanjutnya, modus investasi berkedok properti. Modusnya mirip dengan CPRO Indonesia yang menawarkan keuntungan lima persen per bulan. Untuk modus ini, masyarakat diminta membayar Rp 6,5 juta lalu mendapat uang tunai Rp 800 juta.
Terakhir, OJK juga mendeteksi modus berupa pengkloningan laman situs perusahaan tertentu. Yang diubah adalah domainnya. Berdasarkan empat modus investasi bodong ini, masyarakat menjadi lebih waspada atas berbagai tawaran investasi dengan keuntungan yang tidak masuk akal dan tanpa risiko. Dan dari sini terlihat kerja OJK masih akan berat ke depan. [DAS]