Orang Rantai (foto: arcgis.com)

Suluh Indonesia – Orang rantai adalah sebutan bagi para pekerja tambang batu bara di Sawahlunto.

Mereka dikirim dari berbagai daerah di Hindia Belanda, termasuk Batavia. Mereka adalah pesakitan, yakni tahanan kriminal atau politik dari wilayah Jawa dan Sumatera. Dibawa ke Sawahlunto dengan kaki, tangan, dan leher diikat rantai, mereka dipaksa bekerja sebagai kuli tambang batu bara dengan kondisi kaki, tangan, dan leher yang masih dirantai.

Dalam bahasa Belanda, para kuli disebut ketingganger atau orang rantai. Diceritakan, orang rantai yang bekerja di lubang tersebut berjumlah  hingga ratusan orang. Mereka diperlakukan dengan tidak manusiawi dan bekerja siang hingga malam serta tidak mendapatkan makanan yang layak.

Orang rantai adalah pekerja paksa yang didatangkan Belanda ke Sawahlunto untuk menggali tambang batu bara dan menyiapkan infrastruktur untuk keperluan tambang. Belanda mendatangkan orang rantai dari penjara-penjara di Batavia, Makassar, Bali, Madura, dan sebagian besar dari daerah Pulau Jawa lainnya.

Mereka didatangkan pada kurun 1892-1938 dengan kapal-kapal penumpang yang mengangkut orang-orang Belanda dan Eropa. Sepanjang perjalanan, kaki dan tangan para tahanan itu diikat dengan rantai besi. Selama pelayaran yang memakan waktu 3-5 hari, orang rantai ditempatkan di dek-dek pengap di bagian lambung kapal dan berdesak-desakkan. Mereka yang melawan diancam hukuman cambuk atau diceburkan ke laut.

Penderitaan selama pelayaran ini memunculkan tekad bersaudara di antara sesama orang rantai, terutama yang berasal dari Jawa. Orang rantai ini dibawa menuju pelabuhan kecil Teluk Bayur di kota Padang. Di sana mereka kemudian membangun pelabuhan besar untuk keperluan batu bara yang kemudian dikenal sebagai pelabuhan Emma Haven.

Orang rantai juga dipekerjakan untuk membangun jalur kereta api dari Teluk Bayur ke Sawahlunto. Tahanan orang rantai ini kemudian digiring menuju Sawahlunto untuk masuk ke lubang-lubang gelap perut bumi Sawahlunto guna menggali batu bara di tambang Ombilin (Sawahlunto).

Arang hitam itu diangkut dengan kapal-kapal ke Belanda dan sebagian dikirim ke luar Sumatera untuk keperluan kapal-kapal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan kapal perang Belanda untuk menyerang Aceh.

Selama bekerja di luar tambang, orang rantai ini tetap memakai rantai besi di tangan dan kaki mereka. Sebagian diikat rantai pada tubuhnya karena dianggap memiliki kesaktian. Orang rantai baru dilepaskan ikatan rantainya ketika mereka masuk ke terowongan tambang batu bara. Mereka dijaga dengan senapan di pintu masuk tambang sehingga tidak mungkin melarikan diri.

Salah seorang warga di Sawahlunto masih ingat bagaimana ayahnya, dibuang ke Sawahlunto dari Yogyakarta dan menjadi orang rantai. Ayahnya ditahan Belanda karena membunuh orang. Ia dan ibunya kemudian ikut dibawa ke Sawahlunto. Namun, sang ibu kemudian dibawa Belanda ke perkebunan teh di Kerinci dan tidak pernah kembali lagi. Si kecil selalu ikut ayahnya bekerja. Ia masih memendam ingatan, bagaimana ayahnya mengangkat-angkat baja berat untuk membuat rel kereta api. Jika jatuh, ayahnya dipukuli opsir Belanda dengan tali tebal terbuat dari getah karet.

Baca juga Tambang Batu Bara Ombilin (Seri Sawahlunto Bagian 1)

Baca juga Jalur Kereta Api (Seri Sawahlunto Bagian 2)

Baca juga Mak Itam: Lokomotif Legendaris (Seri Sawahlunto Bagian 3)

Tambang batu bara memunculkan eksploitasi anak. Ada seorang saksi lain yang juga keturunan orang rantai mengatakan, kakeknya bercerita bahwa anak-anak dari Jawa ini diculik oleh orang kampung mereka sendiri yang menjadi kaki tangan Belanda. Mereka kemudian menyebarkan rumor bahwa anak-anak mereka dibawa makhluk halus. Kondisi Jawa masa itu yang masih berupa hutan ditambah masyarakatnya yang bodoh membuat mereka begitu mudah percaya dengan rumor itu. Dulu banyak anak-anak di Sawahlunto yang tidak mengetahui siapa orangtuanya.

Goedang Ransoem, bangunan yang dijadikan dapur untuk memberi makan buruh tambang, menjadi saksi keberadaan anak-anak buangan di Sawahlunto ini. Di salah satu foto di Goedang Ransoem yang kini sudah menjadi museum, terpampang foto anak-anak yang berebut makan di satu piring. Anak-anak itu ikut bekerja untuk bisa mendapatkan makan di dapur.

Goedang Ransoem melayani makan sekitar 7.000 buruh tambang di Sawahlunto. Namun, mereka yang mendapat jatah makan di situ hanyalah para pekerja paksa dan buruh kontrak saja. Hingga sekarang, museum itu masih menyimpan perangkat memasak berupa kuali-kuali besar yang terbuat dari baja. [Nora E]

Baca juga Bahasa Tansi, Sebagai Bahasa Kreol di Sawahlunto (Seri Sawahlunto Bagian 5)

Baca juga Tambang Batu Bara Ombilin sebagai Warisan Dunia Indonesia (Seri Sawahlunto Bagian 6)