Oleh Dr. Ir. Indra Iskandar
Sekretaris Jenderal DPR RI
Koran Sulindo – Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, Maluku mempunyai posisi unik. Di satu sisi, banyak pemuda dari wilayah ini yang menjadi tentara di KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger, Angkatan Bersenjata Belanda). Bahkan konon, di masa-masa sebelumnya banyak juga warga Maluku yang menjadi tentara bayaran Belanda.
Namun di sisi lain, jangan dilupakan juga bahwa Maluku menyumbangkan gagasan yang krusial terhadap teks Pancasila. Tokoh-tokoh Maluku pun banyak yang berperan penting dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Masyarakat Maluku, melalui tokoh-tokohnya, terutama Johanes Latoeharhary, ikut mempersiapkan Proklamasi Kemerdekaan dan turut hadir pada saat perumusan naskah Proklamasi. Latoeharhary melakukan lobi secara personal kepada Soekarno untuk menyampaikan gagasan bahwa rumusan terbaik dari sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Titik tanpa koma. Bung Karno setuju.
Kelak terbukti, gagasan Latoeharhary tersebut sangat krusial dalam rumusan teks Pancasila. Bayangkan, bagaimana jika rumusan sila pertama dalam Pancasila berbunyi: “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”?
Menurut Bapak Bangsa dari Maluku itu alasan rumusan “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya” kurang ideal, karena hanya berlaku untuk kelompok tertentu. Sementara sebuah Konstitusi harus berlaku untuk semua kelompok, semua agama, semua etnis, dan seluruh rakyat Indonesia tanpa pengecualian.
Baca juga: Anak Muda Indonesia Diajak Berjuang Agar Indonesia jadi Negara Besar
Selain itu, rumusan sila pertama tadi juga dianggap menyulitkan bagi wilayah tertentu untuk ditarik ke dalam wilayah Republik Indonesia. Ia kuatir menjadi wilayah yang dianaktirikan dalam segala aspek kehidupan, karena tidak termasuk dalam rumusan sila pertama: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Belanda sudah pasti sangat menyukai rumusan sila pertama yang panjang tadi, karena bisa digunakan untuk melakukan politik devide et empire, pecah belah, lalu kuasai. Di sekitar tahun 1945-1950, bahkan sampai kini, pecah-belah berdasarkan sentimen agama cukup efektif untuk menceraiberaikan persatuan di Tanah Air. Sebagai bangsa yang baru bersatu dan belum mengenal secara mendalam satu sama lain, sudah pasti provokasi karena perbedaan agama untuk melakukan devide et empire akan mudah terealisasikan.
Namun, berkat lobi tokoh-tokoh dari Maluku dan Indonesia bagian timur lainnya, celah untuk menghancurkan Proklamasi Republik Indonesia menjadi tertutup. Sehingga sampai kini, Negara Kesatuan Republik Indonesia masih berdiri kokoh dan tegak.
Sumbangsih penting lain dari Maluku dalam upaya mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah “Deklarasi 6 September 1945”. Pada hari dan tanggal itu, orang-orang Maluku yang ada di Jawa berkumpul di Jakarta lalu menghadap Presiden Soekarno untuk menyatakan tekad bahwa seluruh rakyat Maluku mendukung penuh Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Kebulatan tekad ini memberikan pengaruh besar, terutama secara politik.
Misal, orang-orang Maluku yang menjadi anggota KNIL, karena adanya deklarasi tersebut, tidak bisa mewakili dan tidak bisa mengatasnamakan Maluku. Tapi bersifat oknum perseorangan. Karena itu, mereka tidak berhak untuk membuat pernyataan politik, misalnya, menginginkan agar Maluku berdiri sendiri dan terpisah dari Republik Indonesia.
Deklarasi 6 September 1945 juga memicu perpecahan internal di kalangan KNIL. Ini terjadi karena, dengan “Deklarasi 6 September 1945” banyak tentara KNIL khususnya yang berasal dari Maluku, kemudian bergabung dengan saudara-saudaranya, warga Maluku, berjuang bersama mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Berkat deklarasi tadi, upaya-upaya untuk menjadikan Maluku sebagai negara sendiri yang merdeka, seperti dilakukan Soumukil dengan mendeklarasikan RMS (Republik Maluku Selatan) tidak bisa bertahan lama. RMS tidak mendapatkan dukungan dari rakyat Maluku Selatan, apalagi dari rakyat Maluku seluruhnya.
Baca juga: Cara Belanda Melihat Perang Kemerdekaan Indonesia
Memang, sampai kini tidak ditemukan literatur yang menyebutkan bahwa pernyataan tekad masyarakat Maluku di hadapan Presiden Soekarno sebagai “Deklarasi 6 September 1945”. Media dan berbagai literatur menyebutnya sebagai peristiwa biasa saja. Namun dampak politis dari peristiwa itu bagi masyarakat Maluku sangat besar, sehingga layak untuk disebut sebagai deklarasi. Seperti Kongres Pemuda II Tahun 1928, bagi Belanda adalah peristiwa biasa saja. Namun dengan adanya Sumpah Pemuda yang dihasilkannya, maka peristiwa itu menjadi luar biasa. Sumpah Pemuda sangat berpengaruh di masa itu. Bahkan sampai kini.
Nah, peristiwa 6 September 1945, saat itu barangkali hanya dianggap pernyataan biasa oleh Belanda. Namun bagi masyarakat Maluku, pengaruhnya seperti Sumpah Pemuda terhadap kebangkitan nasionalisme di seluruh Indonesia. Kalau Sumpah Pemuda berpengaruh terhadap pemuda di seluruh Indonesia, maka “Deklarasi 6 September 1945” berpengaruh terhadap seluruh masyarakat Maluku di masa itu. Bahkan sampai sekarang. [GAB]