Suluh Indonesia – Kerusuhan atau Peristiwa Tanjung Priok yang terjadi di masa orde baru pada 12 September 1984, adalah perseteruan antara tentara dan warga sipil. Berawal dari keributan antara Babinsa (Bintara Pembina Desa) Sersan Satu Hermanu dan warga.
Sersan Hermanu menyuruh orang-orang di Masjid Baitul Makmur (menurut CNN Indonesia) atau Masjd As Saadah (menurut Wikipedia) di Tanjung Priok, untuk mencopot spanduk yang dituding berbau anti-Pancasila. Pada masa orde baru, segala sesuatu yang anti-Pancasila tercatat sangat haram dilakukan.
Sampai beberapa hari, suruhan tersebut tak juga dilakukan warga. Pada 11 September 1984, Babinsa Hermanu datang lagi ke masjid itu, dengan maksud untuk mencopot sendiri spanduk tersebut. Tapi, dia melakukan kesalahan dengan tak membuka sepatu ketika memasuki batas suci masjid. Warga yang marah, lalu mengamuk dengan membakar motor si Babinsa. Akibatnya, 4 orang ditangkap aparat.
Warga meminta bantuan Amir Biki agar teman-teman mereka yang ditahan aparat bisa dilepas. Amir Biki dan sejumlah warga kemudian mendatangi Kodim (Komando Daerah Militer). Tetapi, permintaan mereka agar yang ditahan supaya dilepaskan, tak ditanggapi. Demikian juga dengan ultimatum yang dikeluarkan Amir Biki. Ultimatum yang menyatakan bahwa mereka harus dilepas pada hari itu, 11 September 1984, paling lambat pukul 23.00.
Karena itu, keesokan harinya, 12 September 1984, Amir Biki mengerahkan massa untuk berdemonstrasi. Massa dibaginya menjadi dua kelompok, masih-masing akan mendatangi Kodim dan Polres. Saat bergerak, makin lama makin banyak massa yang bergabung. Mereka yang marah itu berdemonstrasi sambil merusak dan membakar gedung.
Protes dan kerusuhan tak berhasil membebaskan 4 orang yang ditahan. Akibatnya, pukul 11 malam massa mengepung Kodim. Tapi, mereka dihadang oleh personel militer dari Batalyon Artileri Pertahanan Udara ke-6 yahg bersenjata lengkap. Ketika situasi makin memanas, aparat penghadang tak ragu melepas tembakan. Korban berjatuhan; meninggal dan luka-luka.
Lokasi penembakan segera dibersihkan. Mayat-mayat diangkut dengan truk untuk dikuburkan di kuburan tak bertanda. Mereka yang terluka dikirim ke Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto. Amir Biki termasuk yang tewas tertembak. Dilaporkan KontraS, sejumlah warga ditangkap dan disiksa.
Setelah kejadian, Pangdam V Jakarta Raya Mayjen TNI Try Sutrisno, Pangkopkamtib Jenderal TNI L.B. Moerdani, dan Menteri Penerangan Harmoko memberi pernyataan. Yang menyebutkan bahwa peristiwa yang terjadi adalah hasil rekayasa orang-orang yang menggunakan agama untuk kepentingan politik. Jumlah korban diumumkan, tapi menurut KontraS jumlah yang disampaikan berbeda dengan yang disebutkan oleh para saksi.
Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 ini merupakan salah satu perseteruan besar yang terjadi di masa orde baru. Jumlah korban tak pernah diketahui dengan pasti. Demikian pula dengan yang hilang atau dihilangkan.
Dalam terbitan daringnya yang berjudul “36 Tahun Peristiwa Tanjung Priok: Negara Masih Abai Seperti Dulu”, 12 September 2020, KontraS menyatakan bahwa:
“Temuan Komnas HAM menujukan setidaknya 79 (tujuh puluh sembilan) orang dalam peristiwa tersebut menjadi korban, 55 (lima puluh lima) orang mengalami luka-luka dan 23 (dua puluh tiga) orang lainnya dinyatakan meninggal dunia, sementara puluhan orang ditangkap dan ditahan tanpa melalui proses hukum yang jelas serta beberapa orang dinyatakan hilang.”
Masih menurut KontraS, Peristiwa Tanjung Priok, merupakan salah satu dari 3 (tiga) peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang berhasil dibawa ke dalam proses Pengadilan HAM. [NiM]
Baca juga: