OJK: Biaya Isi Uang Elektronik Terserah Industri Perbankan

ilustrasi

Koran Sulindo – Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) Wimboh Santoso mengatakan penerapan biaya isi saldo untuk uang elektronik (e-Money) harus dilakukan secara terukur dan tidak boleh dilaksanakan sembarangan.

“Bank mencari profit harus terukur, makanya dia kalau memberikan fee, tidak boleh sembarangan,” kata Wimboh saat ditemui di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Jumat (22/9), seperti dikutip Antaranews.com.

Idealnya penerapan biaya isi saldo untuk e-Money ini ditentukan oleh industri perbankan agar pelaksanaan gerakan non tunai dapat berlangsung sesuai mekanisme pasar.

“Kalau pricing memang industri yang menentukan, mau ada fee, mau nggak ada fee, biar mekanisme pasar. Saya rasa BI kan juga tidak mengatur pricing,” ujarnya.

Konsumen bisa mendapatkan kesempatan untuk memperoleh layanan yang memadai dari pelaksanaan gerakan non tunai, apabila penentuan biaya isi ulang saldo diupayakan oleh industri perbankan.

Kontradiktif

Sebelumnya, Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai keputusan Bank Indonesia yang memperbolehkan industri perbankan memungut biaya isi saldo uang elektronik kontradiktif dalam upaya menggencarkan transaksi non tunai.

Pengenaan biaya itu bisa menjadi disinsentif, terlebih menjelang penerapan elektronifikasi 100 persen pembayaran jasa tol pada 31 Oktober 2017. Pengenaan biaya isi saldo dikhawatirkan justru membuat masyarakat enggan menggunakan uang elektronik dan kembali memanfaatkan transaksi tunai.

Seharusnya, BI dan industri perbankan memberikan insentif bagi masyarakat, karena bank-bank sudah mendapat keuntungan dari marjin penjualan kartu perdana uang elektronik.

“Harusnya dengan keuntungan dari penjualan kartu perdana e-Money tidak perlu lagi memungut biaya isi saldo meskipun hanya Rp1.000 sekali transaksi,” kata Bhima.

Konsumen

Sementara itu Badan Perlindungan Konsumen Nasional mendukung Gerakan Nasional Non-Tunai, namun jangan memberatkan konsumen.

“Masyarakat yang ingin isi ulang e-money harus dibebani biaya yang menurut kami cukup memberatkan,” kata Ketua BPKN, Ardiansyah Parman, saat jumpa pers di Jakarta, Jumat (22/9), seperti dikutip Antaranews.com.

BPKN mengusulkan pemerintah tidak mengenakan biaya isi ulang karena pembayaran non-tunai bertujuan untuk efisiensi dan memperkenalkan sistem perbankan kepada masyarakat.

Tarif Rp1.500 untuk pengisian ulang saldo di luar bank penerbit kartu dianggap memberatkan konsumen.

BPKN menyatakan sudah menyampaikan rekomendasi kepada Gubernur BI bahwa kebijakan e-money perlu mempunyai daya jangkau terapan jauh ke dapan dan tidak cepat obsolete (tertinggal).

Kebijakan e-money juga perlu mengarah kepada efisiensi dan kepraktisan sebagai alat transaksi masyarakat, termasuk integrasi dengan kartu sejenis. BPKN mengharapkan satu kartu dapat memiliki banyak fungsi sehingga masyarakat tidak perlu memiliki banyak kartu untuk bertransaksi.

Mengenai pengaturan isi ulang uang elektronik, mereka mengharapkan konsumen memiliki alternatif akses berbayar maupun tidak berbayar dengan ketentuan bebas biaya bila isi ulang di bank/lembaga penerbit/afiliasinya dan pembebanan biaya seringan mungkin, agar tidak membebani masyarakat.

Selain itu, untuk transaksi yang berlangsung di wilayah Indonesia, konsumen terjamin tetap memiliki akses pembayaran tunai sesuai UU Nomor 7/2011 tentang Mata Uang.

Terakhir, BKPN merekomendasikan peraturan mengedepankan kepentingan dan keadilan bagi konsumen, termasuk pengaturan aplikasi uang elektronik pada transaksi di jalan tol.

“Penyedia jalan tol, berikan opsi pembayaran tunai,” kata Ardiansyah.

BI menetapkan tarif maksimum isi ulang saldo uang elektronik sebesar Rp 750 melalui bank atau lembaga penerbit kartu bila mengisi saldo di atas Rp 200.000. Untuk pengisian saldo di bawah Rp 200.000 tidak dikenakan biaya. Tarif maksimum Rp 1.500 dikenakan bila mengisi ulang di luar bank penerbit kartu. [DAS]