Koran Sulindo – Ribuan orang datang ke kantor perusahaan Penanaman Modal Asing asal Jepang di Bantaeng, kota kecil sejarak 125 km sebelah selatan Makasar, Ujung Pandang, hari itu.
“Kami ingin melengserkan Bapak dari kursi kenyamanan,” kata mereka kepada Nurdin Abdulah.
Nurdin memang masih keturunan raja Bantaeng, tapi kaget juga begitu ribuan orang itu memintanya menjadi pemimpin daerah leluhurnya itu, dengan dramatis seperti itu.
Ia tak langsung menyanggupinya. Ia tahu terjun ke dunia politik mau tak mau bergabung dengan partai politik. Saat itu ia masih asyik menjadi pegawai swasta asing.Meloncat menjadi politisi bukan perkara gampang, walau kakeknya adalah ketua PDI Perjuangan yang pertama di Bantaeng.
Nurdin membutuhkan kendaraan.
“Kami siap mengantar Bapak ke Bantaeng,” kata salah seorang warga yang berprofesi tukang becak.
Anekdot itu, dalam acara TV Bukan Empat Mata, bisa dilihat lagi rekamannya di situs Youtube.
Menurut Nurdin, istrinya sempat menolak keputusannya untuk berpolitik itu. Tapi pelan-pelan berubah ketika diajaknya melihat dengan mata kepala sendiri: Bantaeng salah satu daerah tertinggal di Indonesia, sering dilanda banjir, dan miskin.
Resmi menjabat bupati pada 2009, balai kota dikepung banjir tak lama setelah pelantikannya. Ia dan tim mencari solusi dengan membangun cek dam, tanggul untuk mencegah banjir. Kemudian hari cek dam itu menjadi pola sistem irigasi pertanian dan perkebunan wilayah itu.
Singkat cerita, 10 tahun menjadi “Raja Bantaeng”, ia menang 80 persen ketika Pilkada menuju periode ke-2, Nurdin membenahi sumber daya manusia di pemerintahan daerah itu, mencanangkan program Jumat Bersih, Sabtu Menanam, Brigade Siaga Bencana, dan seterusnya. Tiap pagi ia membuka pintu rumah menerima keluhan dari warga.
Statistik Bantaeng ini tak menipu: angka kemiskinan yang awalnya 21 persen menjadi 5 persen. Angka pengangguran dari 12 persen menjadi 2,3 persen. Pendapatan per kapita dari Rp 5 juta, kini menjadi Rp 27 juta. Pertumbuhan ekonomi dari 4,7 persen kini menjadi 9,5 persen. APBD yang awalnya Rp 200-an miliar, kini tembus Rp 800-an miliar. Pendapatan dari sektor pariwisata yang awalnya hanya Rp 34 juta, kini jadi Rp 3,2 miliar.
Rekam Jejak
Tahun ini Nurdin (berpasangan dengan Andi Sudirman Sulaiman) bertarung memperebutkan kursi Gubernur Sulawesi Selatan. Rekam jejaknya di Bantaeng cukup memberikan kepercayaan diri untuk mulai membenahi wilayah lain, tak hanya daerah leluhur intinya. Ia menciptakan slogan untuk kampanyenya, “Prof Andalan.”
Survei Laboratorium Psikologi Politik Univeritas Indonesia (LPP UI), untuk bagian opinion leader (opini pakar) menyatakan Nurdin Abdullah sebagai kandidat terbaik dari kandidat lainnya pada Pilkada Sulsel kali ini.
“Dari keseluruhan aspek, hasil survei ini menunjukkan bahwa Nurdin Abdullah, secara konsisten memimpin dari semua calon yang dinilai,” kata Kepala Pusat LPP UI, Prof Hamdi Muluk, di Makassar, Sulsel, Minggu (15/10/2017), seperti dikutip Antaranews.com.
Survei itu menilai dua dimensi terpenting yang harus dimiliki oleh pemimpin politik, yaitu kapabilitas dan karakter personal yang terbagi menjadi integritas moral dan temperamen. Nurdin unggul di semua aspek itu, dalam simulasi terbuka tanpa memberikan nama orang, Nurdin menjadi Top of Mind dengan elektabilitas 62,9 persen. Pesaingnya jauh di belakang.
“Kami ingin publik dan parpol lebih memahami kualitas pemimpin yang akan dipilihnya nanti, supaya tidak seperti beli kucing dalam karung,”kata Hamdi.
Tak lama setelah diusung PDIP, Nurdin dianugerahi penghargaan dari Perkumpulan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA). Dalam acara penganugerahan di Jakarta, 12 Desember 2017, Nurdin Abdullah dianggap mempunyai komitmen yang sangat tinggi dalam membangun pemerintahan daerah yang bersih dari korupsi dan maju.
“Selama kepemimpinannya, perekonomian Bantaeng tumbuh pesat, pendapatan per kapita warga meningkat tajam, serta angka pengangguran turun drastis,” kata anggota Dewan Juri BHACA 2017, Betti Alisjahbana, seperti dikutip bunghattaaward.or.
BHACA secara konsisten memberikan penghargaan kepada pribadi-pribadi yang terus berusaha menumbuh-kembangkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bertanggungjawab, serta menjadi inspirator bagi terbangunnya upaya pemberantasan korupsi di lingkungannya.
Sejak 2003, Perkumpulan BHACA sudah memberikan anugerah kepada 15 individu.Presiden Joko Widodo pernah mendapatkan anugerah ini pada 2010, ketika masih menjadi Wali Kota Surakarta. Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) juga pernah mendapatkannya pada 2013.
Namun ketika Pilkada semakin dekat, Nurdin kian malah makin terlihat diam, walau lima hasil lembaga survei nasional menempatkannya selalu berada di posisi teratas, baik dari sisi popularitas maupun elektabilitas.
Menurut Nurdin, masyarakat Sulawesi Selatan sudah gerah dengan jualan politik, sudah bosan dengan janji-janji yang hanya berujung pada ekspektasi. Rakyat membutuh pemimpin amanah yang dapat mengembalikan kejayaan Sulsel.
“Jika menjadi pejabat yang hanya ingin duduk dan tanda tangan, menggunakan APBN untuk membangun, tidak akan banyak membawa perubahan, lebih baik tidak usah maju jadi Calon Gubernur,” kata sang profesor. [DAS]