Koran Sulindo – Pada penutupan pasar spot sesi pertama pada Jumat ini (31/8), nilai rupiah kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat, berada di level Rp 14.710, yang merupakan level terendah setelah krisis moneter 1998 lampau. Kali ini, yang dituding sebagai penyebabnya adalah permasalahan yang terjadi di Argentina.
“Ya, karena ada permasalahan di Argentina. Semua kurs mata uang di Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Thailand, itu biasanya hampir enggak tertekan, tapi kemarin juga ikut melemah mata uangnya,” kata Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution di kantornya, Jakarta, Jumat petang.
Apa yang terjadi di Argentina, tambahnya, cukup memberikan kejutan bagi ekonomi dunia. Karena, Argentina belum lama ini mendapatkan bantuan senilai US$ 50 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF).
“Orang menganggap kan dia mestinya akan survive, akan selamat dengan itu. Tetapi, ternyata, gerakan capital outflow [arus modal keluar]-nya masih sekarat dan makanya dia naikkan tingkat bunga enggak tanggung-tanggung, sampai 60 persen,” tutur Darmin.
Toh, Darmin mencoba membesarkan hati. Katanya, dampak lainnya dari krisis di Argentina tersebut terhadap perekonomian Indonesia tidak akan terlalu besar. Malah, dampaknya jauh lebih kecil dibandingkan dampak krisis di Turki beberapa waktu lalu.
“Lebih sedikit lagi hubungannya dengan Argentina karena dengan Amerika Latin itu hubungannya sedikit sekali, masih lebih kecil daripada hubungan kita dengan Turki,” katanya.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) pernah mengatakan, tekanan terhadap rupiah tak seperti lira di Turki. Penurunan nilai rupiah pada 2018 hanya 7%, lebih rendah daripada Afrika Selatan yang mencapai 13,7%, Brasil yang 18,2%, dan Turki yang sempat melorot sampai 40%.
Pada Jumat ini, Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara juga mengatakan, posisi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih lebih baik jika dibandingkan dengan nilai tukar negara-negara lain. Dia mencontohkan mata uang Swedia yang melemah 10% terhadap dolar sepanjang tahun ini.
Diungkapkan Mirza, seluruh mata uang dunia melemah terhadap dolar Amerika Serikat. Kondisi ini terjadi karena kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat dan perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Jadi, mata uang negara emerging market, termasuk Indonesia, terkena imbasnya. “Mata uang lain juga semuanya melemah, jadi bukan sesuatu yang luar biasa ya. Yang penting, stabilitas ekonomi dan keuangan bisa terjaga dengan baik, ya. Likuiditas terjaga baik,” kata Mirza. BI sendiri telah berkali-kali melakukan intervensi pasar agar nilai rupiah tidak bergejolak.
Masalahnya, persoalan ekonomi di Indonesia juga bukan semata-mata soal melemahnya nilai tukar. Ada defisit transaksi berjalan pemerintah yang cukup besar. Pada semester pertama 2018, defisit mencapai US$ 13,7 miliar. BI memperkirakan angka defisit 2018 bisa mencapai US$ 25 miliar, sementara tahun 2017 lalu mencapai US$ 17,3 miliar.
Darmin Nasution juga sempat menyatakan, defisit transaksi berjalan jika sudah mencapai 3% artinya sudah lampu kuning alias perlu berhati-hati. “Memang kalau sudah tiga persen atau lebih, itu selalu sudah harus mulai menganggap itu lampu kuning,” ujarnya, 22 Agustus 2018.
Pasar saham juga bergejolak beberapa pekan belakangan ini. Bahkan sempat ada aksi aksi jual bersih (nett sell) di lantai bursa. Pada pertengahan Agustus 2018 lalu, investor asing di pasar modal Indonesia tercatat melakukan hingga mencapai senilai Rp 99 triliun hanya dalam rentang waktu sepekan. [PUR]