Adegan Film "Istirahatlah Kata-Kata".

Koran Sulindo – Tak ada visualisasi atau bunyi berdegup untuk memproyeksikan rasa waswas seorang buron, yang dituduh merencanakan makar terhadap rezim militer yang sedang berkuasa. Tak ada teriakan tuntutan dan adegan demonstrasi serta kebrutalan aparat militer untuk meredam aksi itu. Tak ada pula diskusi ideologis berlarat-larat atau semacam itu, termasuk perbincangan yang mencekam tentang bagaimana melanjutkan pelarian tanpa diketahui aparat militer yang kejam dan punya banyak mata. Tak ada drama.

Bahkan tak ada puisi atau potongannya yang telah menjadi terkenal dalam dunia nyata dan telah menjadi aforisme: Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/Dituduh subversif dan mengganggu keamanan/Maka hanya ada satu kata: lawan!// Begitulah film Istirahat Kata-Kata yang disutradarai Yosef Anggi Noen, yang mengangkat suatu fase dalam kehidupan penyair pejuang Wiji Thukul, fase ketika ia melarikan diri dari kejaran aparat negara ke Pontianak, Kalimantan Barat—setelah Tragedi Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 di Kantor DPP PDI, Jakarta—dan sebentar pulang ke kampung halamannya di Solo, Jawa Tengah.

Juga tak ada konflik yang muncul di permukaan dan suasana yang sangat represif dari rezim penguasa, sebagaimana tergambarkan di banyak puisi Wiji Thukul.  Dalam “Sajak Suara”, misalnya, ia antara lain menulis begini: suara-suara itu tak bisa dipenjarakan/di sana bersemayam kemerdekaan/apabila engkau memaksa diam/aku siapkan untukmu: pemberontakan!//

Yang ada adalah gambaran runtang-runtung keseharian sang penyair dalam pelariannya dan sedikit gambaran ketika bertemu istri serta anaknya setelah dari Pontianak. Informasi tentang kehidupan lain sang penyair, perjuangannya, dan kenapa ia dianggap berbahaya oleh negara hanya sedikit. Itu pun didominasi teks dan sedikit narasi lewat siaran radio.

Mungkin ini yang disebut film “post-dramatic”. Entahlah.

Yang pasti, film ini telah memukau banyak orang dan pada hari pemutaran perdananya di Jakarta saja banyak calon penonton kehabisan karcis. Yang pasti pula, akting pemain-pemainnya memang lumayan memikat.

Namun, jangan berharap mendapat hiburan dari film ini, kecuali kalau tak pernah merasakan atau setidaknya melihat langsung kehidupan keseharian orang miskin—yang jumlahnya sangat banyak di negeri ini. Juga jangan berharap mendapat katarsis atau “pencucian jiwa” dengan air mata yang muncul karena keterharuan yang mendalam akan tragedi seorang manusia.

Sutradara memang tampaknya tak ingin menjangkau sampai ke sana. Ia hanya ingin membuka pintu bagi penontonnya agar menelusuri lebih jauh siapa sebenarnya sosok Wiji Thukul, yang kabar hidup-matinya  tak jelas sejak Mei 1998. Sutradara mungkin ingin mendorong para penonton film ini agar gemar membaca agar paham sejarah bangsanya, termasuk sejarah kelamnya—suatu niat yang mulia kalau memang itu benar adanya.

Namun, niat mulia tersebut perlu mendapat dorongan yang kuat di tengah budaya membaca yang belum mengakar di masyarakat Indonesia. Dan, dorongan semacam itu lewat film ini rasanya belum begitu kuat. Demikianlah. [PUR]