Ilustrasi : Sulindo/KS
Ilustrasi : Sulindo/KS

OPINI – Pemerintah menyiapkan dana jumbo untuk pelaksanaan program makan siang gratis tahun 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, telah disiapkan anggaran sebesar Rp 71 triliun untuk pelaksanaan program andalan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo-Gibran.

“Untuk tahun pertama pemerintahan beliau (Prabowo-Gibran) tahun 2025 telah disepakati alokasi (makan gratis) sekitar Rp 71 triliun di dalam RAPBN 2025,” ujar Sri, Senin (24/6/2024).

Program makan gratis, yang jadi unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang, mulai mendapatkan bentuknya. Progam ini paling gencar dikampanyekan. Idenya, anak-anak Indonesia kurang makan makanan yang bergizi yang akan berdampak pada masa depan mereka.

Tetapi program ini bakal dimodifikasi dari apa yang semula dijanjikan. Awalnya adalah makan siang gratis untuk anak-anak sekolah. Sasarannya adalah 83 juta anak-anak sekolah. Selain makan, anak-anak sekolah juga akan mendapat susu gratis. Namun progam ini bakal diubah, tidak diberikan makan siang tapi sarapan. Susu juga akan diganti dengan telur.

Program seperti ini pernah ada di masa awal Orde Baru. Pada tahun 1970-an, pemerintahan Soeharto membagi-bagikan susu bubuk dan bulgur. Bulgur ini adalah sejenis gandum yang lebih keras dan alot ketimbang gandum biasa. Di tanah asalnya bulgur sebagai pakan ternak.

Selain itu, pemerintah Orde Baru juga melancarkan program makanan sehat untuk anak balita. Lewat program Posyandu, yang banyak dipuji karena keberhasilannya mengatasi gizi buruk di kalangan balita, pemerintah Orde Baru memberikan makanan tambahan kepada ibu dan bayinya. Ibu juga menjadi sasaran karena ibu yang menyusui bayinya.

Jadi, program kesejahteraan ini sebenarnya tidak aneh untuk Indonesia. Yang aneh adalah ambisi program ini — yang ingin memberi makan 83 juta lebih anak-anak sekolah.

Tentu saja, ini menjadi program mahal. Khususnya bila semua anak mendapat makanan. Ada banyak persoalan yang belum kita tahu dari program ini. Pertama, apakah semua anak Indonesia membutuhkan? Mengapa tidak membuat program dengan target sasaran tertentu saja? Seperti menargetnya hanya anak-anak yang paling membutuhkan.

Soal kedua adalah apakah benar semua anak Indonesia kekurangan makan? Di beberapa wilayah, di Jawa khususnya, problem anak-anak sekolah justru sebaliknya – obesitas! Mereka kelebihan nutrisi.

Pola makan generasi muda sekarang berbeda dengan generasi sebelumnya. Makanan Indonesia sekarang mengalami “westernisasi” dalam pengertian banyak memakai gula dan keju atau produk turunan susu lainnya. Westernisasi kuliner ini tidak hanya melanda Indonesia namun hampir semua negara, khususnya di Asia.

Ketiga, hampir bisa dipastikan, makanan yang akan disajikan adalah makanan yang seragam. Padahal setaip orang seleranya berbeda-beda. Makanan seperti ini disebut ‘cadong.’ Ia dibuat sama supaya ekonomis dan memudahkan alokasi dana. Tidak mungkin melayani selera semua orang. Apalagi dengan bujet Rp 15 ribu per orang.

Apa yang terjadi bila orang bosan? Makanan ini akan menjadi mubazir dan berujung di tempat sampah. Kita tahu persis orang memilih lapar ketimbang makan makanan yang mereka tidak doyan. Tidak semua orang doyan telur. Juga tidak semua orang doyan daging. Dan lebih dari itu, tidak semua orang doyan sayur.

Keempat, siapa yang akan mengelola pengadaan makan siang ini? Tentu kita hitung ini adalah pekerjaan yang sangat besar. Ini adalah tindakan yang memberi makan siap saji untuk 83 juta anak.

Tindakan/pekerjaan  macam ini memerlukan organisasi dan manajemen yang luar biasa rumitnya. Sanggupkah kita? Jawabannya tidak bisa dengan menggembungkan dada nasionalisme! Ini adalah skala operasi rumit dan raksasa.

Anda mungkin berpikir, serahkan saja pada militer. Kan mereka punya kemampuan mengelola logistik. Betul bahwa militer punya kemampuan itu. Namun dengan skala operasi seperti ini? Bahkan orang-orang militer pun akan kewalahan menanganinya.

Kelima, siapa yang akan menjadi supplier dari kebutuhan makan gratis ini? 83 juta butir telur dibutuhkan setiap pagi. Jika makan pagi adalah nasi, dan setiap anak mengkonsumsi 100 gram beras saja, maka akan diperlukan 8.300 ton per hari; 240.000 ton per bulan; 2,9 juta ton per tahun!

Itu baru nasi dan telur. Belum sayur dan lauk pauk lainnya.

Pertanyaannya: siapa yang menjadi supplier semua kebutuhan itu? Kita tidak usah berpikir bahwa akan ada penyelewengan atau kebocoran. Bahkan jika prinsip pertukaran yang adil saja diberlakukan, operasi ini akan melibatkan jumlah uang yang fantastis.

Dan kita tahu, di negeri ini, tikusnya banyak! Dari yang level tikus garong, tikus wirok hingga ke cindil-cindil. Semuanya siap mengerat!

Siapa yang akan mengawasi operasi sebesar ini?

Begitulah. Makan gratis itu indah di kampanye. Namun sangat rumit pelaksanaannya. Sepertinya nanti bakal dinegosiasi ulang. [KS]