Koran Suluh Indonesia Volume III Nomor 17, 20 Agustus-2 September 2018

Koran Sulindo – “Bencana! Bencana! Kenapa para pangeran lantang bicara? Di manakah rasa malunya? Negara sedang menderita, kenapa pemimpinnya saling berperang?” kata Jacosta. Ia adalah istri sekaligus ibu dari Oedipus, Raja Thebes, dalam lakon legendaris karya dramawan Yunani Kuno, Sophocles, yang ditulis berabad-abad sebelum Masehi, Oedipus Rex.

Kutipan di atas diambil dari versi bahasa Indonesia-nya, yang diterjemahkan dan disunting dengan cemerlang oleh penyair besar Indonesia, Rendra.  Ia memberi judul lakon itu Oidipus sang Raja (1976).

Suka atau tidak, apa yang diucapkan Jacosta itu sesungguhnya sedang terjadi di Indonesia belakangan ini, terutama menjelang tahun politik 2019. Padahal, dalam rentang waktu satu semester 2018 saja, begitu banyak bencana terjadi di negeri ini.

Dalam bulan Agustus 2018, Lombok di Nusa Tenggara Barat dilanda gempa, termasuk kawasan sekitarnya. Ratusan orang kehilangan nyawa dan begitu banyak kerugian lain. Di Kalimantan Barat terjadi pula kebakaran hutan. Di Selat Sunda, Gunung Anak Krakatau meletus ratusan kali. Belum lagi di daerah-daerah lain, mulai dari bencana puting beliung sampai tanah longsor.

Semua itu semakin menegaskan bahwa negeri ini memang berada dalam wilayah yang rentan bencana. Bukan saja karena kondisi alamiahnya, tapi juga karena semakin parahnya kualitas lingkungan akibat keserakahan manusia. Kerugiannya pun dalam rentang waktu sepuluh tahun belakangan ini saja mencapai ratusan triliun rupiah.

Yang menyedihkan, dari pengalaman selama ini, banyak dari kita tak menyadari sedang hidup di daerah dengan kondisi seperti apa. Kita pun menjadi abai untuk mempersiapkan diri, padahal bencana bisa sewaktu-waktu datang kapan saja.

Pemerintah juga sepertinya gagap. Pemerintah beraksi tak ubahnya pemadam kebakaran, yang baru datang setelah terjadinya bencana. Itu pun diwarnai dengan kegaduhan demi kegaduhan, yang kerap bisa sangat tidak berhubungan dengan persoalan bencana yang sedang melanda.

Jadinya, pemerintah yang punya begitu banyak fasilitas yang dibiayai oleh rakyat seakan tak berdaya untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”, “memajukan kesejahteraan umum”, dan “mencerdaskan kehidupan bangsa”, sebagaimana diamanatkan konstitusi. Tak jarang, pemerintah malah tergiring masuk dalam perdebatan dengan berbagai pihak, yang memunculkan friksi yang tak perlu dan malah menjauhkan dari substansi persoalan, yang harus diatasi sangat segera karena begitu banyaknya korban bencana.

Padahal, bencana bisa dijadikan momentum oleh pemerintah untuk merekatkan kembali hubungan persaudaraan sesama anak bangsa, yang semakin terpolarisasi dan tersegregasi akibat pandangan dan sikap politik praktis yang berbeda. Dan, kita punya pengalaman untuk itu. Lihatlah bagaimana bencana tsunami di Aceh pada tahun 2004 telah membuat pemerintah Indonesia berunding dengan Gerakan Aceh Merdeka, yang bermuara ke Persetujuan Helsinki pada tahun 2005.

Tambahan pula, masih banyak orang Indonesia yang memiliki simpati dan empati terhadap penderitaan saudaranya sebangsa yang sedang ditimpa bencana. Ini bisa dilihat dari betapa antusiasnya sebagian anggota masyarakat memberikan bantuan untuk meringankan beban para korban bencana, baik bantuan finansial maupun bantuan lain. Ini sesungguhnya modal yang sangat berharga yang bisa dimanfaatkan pemerintah untuk kembali membawa “gerbong” ke “rel” nilai-nilai kebaikan bersama, yang menjadi cita-cita didirikannya negara ini. Bukan malah melihat bencana dengan perspektif “hitung dagang”. Di manakah rasa malunya? [PUR]