Polisi berjaga di depan LBH Jakarta dan melarang peserta seminar sejarah peristiwa 1965 memasuki gedung [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Negara hari-hari ini semakin menunjukkan sikap represifnya terhadap rakyat. Di Jakarta, negara melalui mesin aparat keamanannya melarang dan membubarkan seminar mengenai peristiwa 1965 yang sedianya digelar di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada Sabtu (16/7) kemarin.

Dengan arogan, aparat kepolisian melarang para peserta dan penyintas peristiwa 1965 untuk memasuki gedung. Bahkan untuk menggunakan toilet gedung tersebut pun, polisi melarang para penyintas yang sebagian adalah orang tua lanjut usia menggunakan toilet gedung LBH Jakarta.

Aparat bahkan sempat mengepung serta merangsek masuk ke gedung tersebut hingga lantai empat. Polisi menuduh mereka yang masih berada di gedung tetap melaksanakan seminar yang sudah dilarang itu. Walau sesungguhnya telah ada kesepakatan antara aparat dan panitia untuk menunda seminar tersebut. Akan tetapi, polisi tidak percaya dan itulah alasan mereka merangsek masuk ke lantai empat gedung tersebut.

Setelah masuk ke dalam gedung, benar saja, orang-orang yang berada di dalam gedung adalah para pengurus LBH Jakarta dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Seperti kasus-kasus sebelumnya, polisi yang notabene adalah penegak hukum justru tidak mengerti hukum karena memasuki gedung perkantoran tanpa izin dan surat apapun. Polisi bergeming dan menyatakan tindakan mereka sudah sesuai dengan hukum.

Jurang Koak
Di hari yang sama, di seberang Pulau Bali, pasukan gabungan yang terdiri atas personel Kepolisian Daerah NTB dan jajaran Kepolisian Resort betugas sebagai “mesin” penggusur kaum tani dan masyarakat adat Jurang Koak, Lombok Timur. Dengan kekuatan sekitar 550 personel – mereka menjadi garda terdepan dari Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) menggusur rakyat Jurang Koak dari tanahnya yang telah didiami secara turun temurun.

TNGR melalui aparat kepolisian ingin mengosongkan lahan sekitr 200 hektare yang ditempati sekitar 900 kepala keluarga petani Dusun Jurang Koak, Desa Bebidas. Lombok Timur. Kepolisian akan merobohkan gubuk masyarakat baik yang semi permanen maupun yang permanen. Personel kepolisian juga dibantu prajurit TNI, TNGR dan juga mereka yang menjadi kaki tangan TNGR.

Masyarakat Jurang Koak, Lombok Timur menghadang aparat gabungan bersama TNGR [Foto: AGRA]
Masyarakat Jurang Koak, Lombok Timur menghadang aparat gabungan bersama TNGR [Foto: AGRA]
Operasi aparat gabungan itu tentu saja mendapat penolakan dan tentangan keras dari petani dan masyarakat. Penggusuran paksa ini – jika bukan perampasan – akan menyebabkan kaum tani dan masyarakat Jurang Koak kehilangan sandaran utama penghidupan mereka.

“Kaum tani dan masyarakat di sana sebenarnya sudah beberapa kali mengalami pengusiran. Namun, masyarakat tetap bertahan. Mereka tidak ingin sejengkal pun tanah mereka diambil,” kata Zuki Zuarman Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) NTB seperti dikutip dari situs resmi AGRA pada Sabtu (16/7).

Zuki bercerita, lahan pertanian sekitar 300 hektare yang terletak di kaki Gunung Rinjani itu telah dikelola masyarakat sejak zaman kolonial Belanda. Klaim TNGR disebut hanya berdasar klasiran 41 yaitu penunjukan sebagai kawasan suaka margasatwa berdasarkan pemerintah kolonial yang faktanya hanya 40 ribu hektare. Bukan seperti klaim TNGR seluas 41.330 hektare yang berdasarkan Keputusan Menteri 1997. Untuk memastikan klaim TNGR itu, kaum tani seringkali meminta pengukuran ulang, namun diabaikan TNGR.

Berdasarkan fakta itu, AGRA lantas mengecam aksi TNGR bersama aparat gabungan yang menggusur paksa kaum tani dan masyarakat Jurang Koak dari tanahnya. Masyarakat akan tetap mempertahankan tanahnya dari TNGR.

Menyikapi hal tersebut, Ketua Umum AGRA Rahmat menegaskan, pengusiran kaum tani itu adalah sebuah ironi ketika pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla sedang gencar-gencarnya mempromosikan reforma agraria dan perhutanan sosial. Dan boleh jadi pengusiran kaum tani Jurang Koak itu sebagaiĀ  wujud dari program reforma agraria Jokowi.

Itu sejalan dengan sikap pemerintah untuk mengontrol tanah seluas-luasnya demi menarik investasi asing, hibah dan utang sebanyak-banyaknya. Maka, sikap AGRA bersama dengan masyarakat Jurang Koak untuk mempertahankan tanahnya. Juga meminta agar pengusiran paksa itu dibatalkan karena rencana tersebut bahkan bertentangan dengan program reforma agraria pemerintah. [KRG]