Koran Sulindo – Pemerintah masih saja tampak gembira melihat data Badan Pusat Statistik yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2016 sebesar 5,02%, nomor tiga tertinggi untuk negara-negara G20, di bawah Tiongkok dan India. Pemerintah pun dalam berbagai kesempatan menyampaikan data tersebut, bahkan sempat membuat gaduh karena ruang lingkup perbandingannya tidak disebutkan.
Apalagi, pada kuartal pertama 2017, pertumbuhannya masih tak jauh dari angka itu. Ekonomi Indonesia tumbuh 5,01% (year on year).
Namun, di berbagai tempat, di berbagai daerah, banyak pasar “kehilangan kumandang”, termasuk di pasar-pasar tradisional. Yang bertransaksi tak seramai dulu, karena harga-harga meroket, sementara penghasilan tak juga naik.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) mulai terjadi di mana-mana. “Di anggota kami saja, dari rentang waktu 2009 sampai 2016, rata-rata angka PHK mencapai 20 persen, bahkan ada perusahaan yang PHK-nya sampai 50 persen, artinya ini ada masalah serius. Kalau mau melihat angka PHK keseluruhan, bisa dilihat dari jumlah klaim jaminan hari tua di BPJS Ketenagakerjaan. Situasi sedang sulit, industri saja hanya tumbuh 3,6 persen tahun lalu, banyak PHK,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Hariyadi Sukamdani Hariyadi, awal Mei 2017 lalu.
Sementara itu, hasir survei FT Confidential Research yang dipublikasi Nikkei Asian Review pada 8 Mei 2017 lalu meperlihatkan, 59,7% pencari kerja di Indonesia menilai sangat sulit mendapatkan pekerjaan sekarang ini. Banyak juga warga Indonesia (lebih dari 15%), menurut survei itu, yang merasa mereka akan kehilangan pekerjaan dalam enam bulan ke depan.
Kenyataannya, memang, angka pertumbuhan yang sangat dibanggakan itu tidak merata, bukan untuk seluruh sektor. Yang tumbuh relatif tinggi umumnya kelompok padat modal, yang tak membutuhkan banyak pekerja, seperti sektor jasa keuangan dan asuransi serta jasa informasi dan komunikasi. Sektor padat karya malah tumbuh sangat sedikit. Jadinya, pertumbuhan yang ada adalah pertumbuhan yang menyengsarakan (immiserizing growth).
Ini juga yang menyebabkan angka ketimpangan ekonomi (rasio gini) semakin tinggi. Begitu juga kesenjangan antara desa dan kota, semakin jauh.
Ada yang mengatakan, rasio gini di desa sedikit lebih rendah. Tapi, itu terjadi bukan karena peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, melainkan karena orang-orang yang berada di level menengah atas turun pendapatannya. Artinya, baik level atas maupun menengah ke bawah di desa sedang sama-sama miskin.
Padahal, lebih dari 70% orang miskin Indonesia tinggal di desa dan mayoritas hidup sebagai petani. Dan, petani Indonesia sangat banyak yang tak memiliki lahan alias petani buram alias buruh tani. Jadi, dengan kondisi sekarang sangat jelas terbayang bagaimana tingkat kesejahteraan mereka. Apalagi, buruh tani di Indonesia memiliki upah paling rendah dengan jam kerja tertinggi, peringkat ketiga di dunia.
Lalu, apa sebenarnya yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam dua terakhir ini? Karena, harus diakui, Indonesia kini mengalami krisis bukan hanya di ranah ekonomi, tapi juga di berbagai aspek kehidupan yang lain. Indonesia sedang mengalami multi-krisis, mulai dari ekonomi, keamanan dan pertahanan, ideologi, ketatanegaraan, sampai krisis kerukunan.
Dengan situasi dan kondisi seperti ini, pemerintah benar-benar harus bekerja ekstra-keras agar negara ini tidak menjadi semakin morat-marit. Dalam bidang ekonomi, pertumbuhan jelaslah harus lebih dari 6% agar mampu memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Harus ada teroboson agar dapat meraih angka itu.
Yang juga tak kalah pentingnya adalah memperkuat ekonomi kerakyatan. Seiring dengan itu, agar masyarakat miskin dan rentan tidak semakin terpuruk, pemerintah tak bisa lagi menunda-nunda untuk mengendalikan harga pangan, terutama menjelang Idul Fitri ini. Untuk jangka menengahnya perlu dibuat tata niaga yang efisien dan dapat menciptakan harga paling rendah demi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin.
Upaya penegakan hukum yang benar-benar berkeadilan juga sudah semestilah menjadi prioritas utama pemerintah. Bukan dengan melakukan intervensi di tengah proses hukum, namun dengan menciptakan mekanisme kontrol yang benar-benar efektif sehingga dapat meminimalkan aparat penegakan hukum melakukan penyalahgunaan wewenang.
Upaya ini tak bisa dipandang sebelah mata. Karena, bila rasa keadilan banyak orang terluka, luka itu akan menjadi bara api, yang kemudian dapat berkobar sangat membesar pada “musim kemarau” seperti sekarang. “Kebakaran” bisa terjadi di mana-mana dan itu artinya hanya akan menambah masalah baru, bahkan bisa membuat negara ini koyak-moyak. [Purwadi Sadim, Redaktur Pelaksana Koran Suluh Indonesia]