Koran Sulindo – Presiden Joko Widodo telah menetapkan reforma agraria sebagai bagian dari Rencana Kerja Pemerintah tahun 2017 melalui dalam Perpres No 45/2016 pada 16 Mei 2016. Terdapat 5 program prioritas, diantaranya kepastian hukum dan legalisasi atas TORA dan pemberdayaan masyarakat. Jokowi memerintahkan untuk segera mempercepat program ini, dengan fokus distribusi lahan pada buruh tani yang tidak memiliki lahan dan petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,3 hektar.
Memang sudah lebih seribu hari sejak reforma agraria dijanjikan, program ini tersendat. Program ini ada di nomor 5 dalam Nawacita yang dijanjikan Jokowi sewaktu berkampanye dalam Pemilihan Presiden 2014.
Reforma Agraria Jokowi adalah melalui program tanah objek reforma agraria (TORA), yakni membagikan 9 juta hektare tanah kepada rakyat. Di seluruh Indonesia saat ini tersedia 126 juta bidang tanah, namun baru 46 juta bidang yang bersertifikat. Reforma ini digagas untuk mengatasi kemiskinan, ketimpangan, dan sulitnya lapangan pekerjaan. Selama ini kepemilikan tanah di kalangan petani gurem dan buruh tani menjadi akar persoalan yang melahirkan lingkaran kemiskinan.
Namun sampai kini masing-masing kementerian/lembaga tak memiliki indikator yang sama soal implementasi reforma agraria. Masing-masing memiliki TORA versinya masing-masing. Dari skema Tanah untuk Objek Reforma Agraria (TORA) yang diperuntukkan untuk redistribusi lahan, angka yang signifikan justru didapat dari pelepasan kawasan hutan, yakni sebesar 4,1 juta hektar. Ini salah satu hasil kerja keras Siti Nurbaya. Karena itu program ini masih tergantung pada pelepasan status kawasan hutan yang kewenangannya berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sedangkan TORA dari tanah-tanah terlantar, yang menjadi tugas Sofyan Jalil hanya menyumbang 0,4 juta hektare. Susahnya, sudah sejak awal diputuskan leading sector dalam program ini adalah Kementerian ATR/BPN. Sampai menterinya diganti dalam reshuffle kabinet Jilid I 2 tahun lalu, tak pernah terdengar hal ihwal pembagian tanah dari kementerian itu. Peta indikatif yang memuat objek tanah yang bisa diredistribusi tak pernah dipublikasikan; data tanah-tanah eks-HGU yang terlantar yang bisa dijadikan objek reforma agraria tak pernah tersedia.
Jika dilihat angka itu saja, terlihat Kementerian ATR/BPN dibawah Sofyan Djalil tidak mengerjakan pekerjaan rumah dari Jokowi. Hingga saat ini Kementerian ATR/BPN belum menyiapkan peta indikatif wilayah peruntukan Tanah Objek Reforma Agraria. Sofyan juga belum menelurkan satupun regulasi yang mendukung program ini.
Reforma agraria yang disampaikan Sofyan juga selalu dighubung-hubungkan dengan proyek infrastruktur, perumahan, termasuk pengenaan pajak progresif untuk tanah terlantar yang cenderung membela kepentingan pengusaha. Korporasi-korporasi yang jelas-jelas sedang lapar mengincar objek reforma agraria seolah diberi jalan masuk.
Berikut wawancara dengan Ketua Umum Serikat Hijau Indonesia, Ketua Umum Serikat Hijau Indonesia, Ade Indriani Zuchri, soal program tersebut:
Program reforma agraria sudah lebih 1.000 hari, menurut Anda?
Kami melihat program reform agraria ini berjalan sangat lambat, karena kepentingannya sangat banyak, terutama korporasi besar. Di mana permasalahan terjadi? Kebijakan, koordinasi, atau implemetasinya memang lamban. Soal kebijakan, di kementerian terkait program ini, malah belum selesai dengan rencana anggaran, terutama tupoksi masing-masing. Soal koordinasi, masing-masing kementerian jalan sendiri-sendiri. Masing-masing kementerian terlihat seperti tak rela menjalankan program ini. Sementara Kantor Staf Presiden hanya bertugas menghubungkan antara kementerian, namun tak berwenang memutuskan.
Presiden harus turun ke lapangan?
Presiden Jokowi sebenarnya sudah cukup keras memerintah ke kementerian terkait. Namun hal seperti ini memang harus presiden sendiri yang berbicara, misalnya selalu harus memberi peringatan pada kementerian, harus mengecek terus. Kami harap tahun ini presiden fokus pada program ini, karena tahun depan sudah tahun politik, ada Pilkada, setelah itu Pilpres, khawatirnya program ini akan terlupakan.
Membangun infrastruktur nampaknya lebih menarik hati Jokowi?
Dalam program percepatan pembangunan infrastruktur Jokowi memang sudah seperti megalomaniak. Untuk siapa infrastruktur itu dibangun? Mayoritas masyarakat miskin di desa tak ada kepentingan dengan jalan tol, MRT, LRT, dan sejenisnya. Apakah kesejahteraan warga desa naik berkat ada LRT?
Jadi?
Yang harus dilakukan Jokowi adalah mengatasi kesenjangan di desa dengan menghidupkan perekonomian masyarakat desa, pembangunan infrastruktur di desa harus lebih diutamakan daripada kota. Sekarang ini kesenjangan antara kota dengan desa sudah sangat tinggi. Desa menjadi wilayah kosong yang penlan-pelan bisa diakuisisi organisasi intoleran atau teroris seperti ISIS.
Membangun dari pinggiran?
Ya, seperti konsep dalam Nawacita, Jokowi harus membangun mulai dari desa. Negara harus hadir di desa supaya pertumbuhan ekonomi seiring kota, agar orang desa mempunyai nilai jual. Saat ini pertumbuhan kota diambil dari desa. Selama ini ekonomi kerakyatan belum pernah benar-benar riil ada. Sementara ekonomi liberal sudah merangsek ke desa-desa. Korporasi liberal ini selama ini merusak sumber daya alam desa, dan tak ada tanggung jawab mereka untuk memulihkan lagi. Juga tak ada tanggung jawab negara dalam kasus seperti ini. Reforma agraria harus digunakan sebagai alat mempercepat kesejahteraan desa.
Tawaran dari SHI?
SHI menawarkan pengembangan desa hijau (Green Village Development). Desa sebagai sumber dan tujuan ekonomi, misalnya, sebuah desa menanam tanaman yang seragam, sekaligus membangun jaringan ekonomi ke luar desa dan jaringan pemasaran. Desa lain menanam yang lain. Pengembangan Desa Hijau sebagai tawaran implementasi dan proyek pilot ini sedang kami bicarakan dengan PT Perhutani Jawa dan Banten. Sebagai model, Desa Hijau diharapkan menjadi basis penyelamatan LH dan meningkatkan ekonomi kerakyatan. [DAS]