Koran Sulindo – Pemerintah nampaknya belum menanggapi secara serius hasil riset Amnesty International soal eksploitasi buruh anak oleh perkebunan sawit Wilmar International Ltd. Eksploitasi buruh anak itu terutama terjadi di beberapa anak perusahaan Wilmar dan perusahaan yang menjadi mitranya.
Anak perusahaan Wilmar itu adalah PT Perkebunan Milano (PT Milano) dan PT Daya Labuhan Indah. Sedangkan tiga perusahaan yang menjadi pemasok Wilmar adalah PT Sarana Prima Multi Niaga (SPMN), PT Abdi Budi Mulia (ABM) dan PT Hamparan Masawit Bangun Persada (PT Hamparan), bagian dari grup BEST.
Berdasarkan wawancara buruh perkebunan itu, Amnesty International menemukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di perkebunan Wilmar dan pemasoknya. Pelanggaran itu antara lain berupa kerja paksa dan mengeksploitasi anak, diskriminasi gender dan lain sebagainya.
Perusahaan yang diinvestigasi Amnesty International menggunakan sistem kompleks dalam menghitung upah buruh berdasarkan jam kerja dan hasil setiap buruh. Ada target yang ditetapkan dan pekerja harus menyelesaikannya. Perusahaan ABM, misalnya, menargetkan pemanen (selalu laki-laki) 950 kilogram tandan buah segar per hari untuk pohon yang ditanam sejak 2006.
“Jika pemanen memenuhi targetnya, ia menerima upah dasar bulanannya. Jika ia tidak memenuhi target, perusahaan mengurangi sepertujuh gajinya, terlepas dari berapa jam yang telah dia habiskan untuk bekerja,” tulis Amnesty International dalam laporannya yang dirilis pada 30 November lalu.
Lalu, di mana peran anak-anak itu? Untuk memenuhi target tersebut – demi bonus dan menghindari hukuman – para buruh yang semua bekerja di perkebunan tersebut dibantu istri/suami, anak atau lainnya dalam memenuhi pekerjaan tertentu. Padahal Undang Undang Ketenagakerjaa Tahun 2003 melarang siapapun yang mempekerjakan atau melibatkan anak di bawah 18 tahun.
Anak yang berusia 13 tahun hingga 15 tahun hanya bisa mengerjakan kerja ringan yang tidak mengganggu perkembangan fisik, mental atau sosial mereka. Kendati usia minimal untuk bekerja adalah 15 tahun, namun semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak dilarang hingga usia mencapai 18 tahun.
Kebanyakan anak yang diwawancarai Amnesty International mulai bekerja berumur delapan tahun dan umumnya di bawah 15 tahun. Mereka mengangkat beban berat seperti karung berisi biji sawit dan beberapa anak menggunakan gerobak penuh berisi tandan buah segar yang berat melalui jalanan yang tidak rata dan jembatan sempit.
Mereka umumnya membantu para orang tua pada sore hari, setelah jam sekolah dan pada akhir pekan atau saat liburan. Namun, kebanyakan anak putus sekolah dan bekerja di kebanyakan hari. Salah satu buruh anak yang diwawancarai berinisial B (14 tahun) mengakui harus putus sekolah untuk membantu ayahnya sebagai buruh perkebunan sawit.
“Saya telah membantu ayah saya setiap hari selama dua tahun (sejak berusia 12 tahun). Saya belajar hingga kelas enam di sekolah. Saya putus sekolah untuk membantu ayah karena dia tidak bisa bekerja sendirian lagi, Saya khawatir karena belum selesai sekolah. … saya ingin kembali sekolah, saya keluar karena ayah saya sakit dan saya harus membantu,” katanya.
Soal ini, Wilmar International Ltd tidak menjawab secara terperinci. Perusahaan ini hanya memastikan, pihaknya mengakui dan menghormati hak-hak semua pekerja. Mereka mengakui bahwa ada masalah ketenagakerjaan yang sedang berlangsung di industri kelapa sawit dan itu dapat mempengaruhi setiap perusahaan sawit yang beroperasi di Indonesia.
Wilmar oleh karena itu meminta untuk menemukan solusi dari persoalan ini dibutuhkan kerja sama dari semua pihak dari pemerintahan, perusahaan hingga masyarakat sipil.
Dari temuannya ini, Amnesty International menyimpulkan beberapa perusahaan terutama Wilmar diduga melanggar hukum termasuk melakukan pelanggaran pidana. Lalu, negara melalui pemerintah gagal mengawasi secara memadai dan menegakkan hukum ketenagakerjaan. Negara juga disebut melanggar kewajibannya untuk melindungi rakyat dari pelanggaran atas hak-hak mereka. [KRG]