Koran Sulindo – Selama dua tahun berturut-turut pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia semakin meningkat. Aktornya pun beragam, mulai dari negara hingga aktor non-negara.
Survei Wahid Foundation pada 2016 menabalkan negara menjadi pihak yang paling banyak melanggar praktik kebebasan beragama dan berkeyakinan di masyarakat. Itu terungkap lewat survei yang meliputi 204 peristiwa dan 313 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang 2016.
Aktor yang melibatkan negara meliputi 159 tindakan atau 50,5 persen. Sisanya, 156 tindakan atau 49,5 persen melibatkan aktor non-negara. Menurut Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, jumlah pelanggaran meningkat tujuh persen dibanding 2015 yang hanya 190 peristiwa dan 249 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Data ini juga menunjukkan, meningkatnya intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama serta berkeyakinan disebabkan penerapan Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan pasal 156a dalam KUHP. Atas dasar ini, penegak hukum dan massa acap terlibat dalam masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Survei Wahid Foundation ini lantas menegaskan apa yang ditemukan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) pada 2015. Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM Imdadun Rahmat menyebutkan, pengaduan atas kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan meningkat menjadi 87 pengaduan dengan 93 tindakan dari tahun sebelumnya hanya 74 pengaduan.
Suremasi Intoleransi
Sedangkan SETARA Institute menyebutkan 2016 sebagai tahun supremasi intoleransi. Sepanjang tahun itu SETARA mencatat ada 208 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan serta 270 tindakan yang tersebar di 24 provinsi.
Pelanggaran terbesar terdapat di Provinsi Jawa Barat dengan 41 peristiwa. Hal yang sama juga terjadi di DKI Jakarta dengan 31 peristiwa dan Jawa Timur dengan 22 peristiwa. Pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan di Jawa Barat terjadi lantaran pemerintahnya cenderung membuat aturan daerah yang mengarah pada politisasi agama.
Dari 270 tindakan pelanggaran, SETARA menyebut 140 melibatkan penyelenggaran negara sebagai aktor. Dari jumlah itu 123 merupakan tindakan aktif dan sisanya merupakan tindakan pembiaran.
Berdasarkan hasil survei Wahid Foundation, jenis tindakan pelanggaran negara sebagai aktor semisal diskriminasi berdasarkan keyakinan (36 tindakan) dan penyesatan agama atau keyakinan (26 tindakan). Sedangkan jenis tindakan dengan aktor non-negara meliputi pembatasan/pelarangan penyiaran agama, intimidasi dan ancaman, pelarangan simbol dan atribut keagamaan, pemaksaan keagamaan, pengusiran, ujaran kebencian, pelarangan aktivitas.
Survei ini juga menyebutkan aktor negara yang kerap melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan teratas adalah Kepolisian RI, kemudian diikuti pemerintah kabupaten/kota serta Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat.
Fakta ini menunjukkan bahwa masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan kini berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Karena itu, pemerintah harus secara serius menyelesaikan persoalan intoleransi ini. [KRG]